Seniman perempuan masih belum sepenuhnya mendapat ruang di dunia teater. Posisi perempuan dalam prioritas kebijakan strategis belum optimal.
Koordinator Peneliti Koalisi Seni, Ratri Ninditya, menyebut belum adanya aturan mengenai kuota perempuan dalam Peraturan Gubernur No 4 Tahun 2020 soal Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta.
“Posisi perempuan bukan sebuah prioritas dalam kebijakan Dewan Kesenian, tidak termaktub di dalamnya kuota perempuan,” kata Ratri kepada Konde.co
Di internal pembuat kebijakan pun, Ratri menyebut, masih minim adanya perspektif gender. Ada persoalan struktural dalam seni teater yang lagi-lagi menjadikan perempuan dalam posisi rentan. Budaya patriarki melanggengkan itu.
“Seniman perempuan banyak yang masih menjalankan beban ganda, dan jurinya cenderung bias jika ada sebuah festival atau perlombaan,” imbuhnya.
Keengganan perempuan dalam setiap undangan program teater menurutnya, tidak lepas dengan ketiadaan ruang aman bagi perempuan. “Menurut saya, memang perlu punya ruang khusus selama sistem dan normanya masih sangat patriarkis,” ujarnya.
Membiarkan perempuan ‘mencari jalan sendiri’ merebut haknya di situasi seperti itu, Ratri menegaskan, itu semakin menunjukkan masih nihilnya perspektif gender di tubuh lembaga.
“Kebijakan masih belum berpihak terhadap perempuan,” katanya.
Ia bilang, lembaga seperti DKJ perlu menciptakan sistem pendukung yang berpihak pada seniman perempuan. “Perlu dipahami soal bias gender, ia adalah ketika menganggap kebutuhan dan pengalaman perempuan sama dengan laki-laki,” ujar dia.
Soal perdebatan perlukah memberikan ruang bagi perempuan kemudian hak perempuan merebut ruangnya bersuara, Ia bilang, lembaga bisa melakukan keduanya.”Kami menilai DKJ perlu membuat aturan yang punya perspektif gender, agar membuat perempuan bukan hanya diberi kesempatan tapi juga punya tempat untuk menampilkan karya,” jelasnya.
BACA JUGA: Di Balik Gemerlap Panggung Teater, Pelecehan Menimpa Para Aktrisnya
Ratri menambahkan, jika persoalan perempuan mundur dan tak konsisten berkarya disebabkan faktor ekonomi, maka sebenarnya perempuan yang diberi panggung adalah yang punya privilege.
”Jadi Cuma perempuan yang anaknya siapa dan punya modal besar yang punya panggung, bagaimana dengan grup kecil yang tidak punya modal, Untuk produksi dan latihan saja mahal, bukankah mereka juga seharusnya diberi ruang dan kesempatan yang sama?,” cetus dia.
Kentalnya Maskulinitas di Teater
Di balik sosok Nano Riantiarno yang banyak dikenal sebagai salah satu pendiri Teater Koma, ada Ratna Riantiarno yang tak kalah punya andil besar. Begitulah, isi perbincangan Saya dengan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Bambang Prihadi, beberapa waktu lalu.
Bambang sepakat, perempuan dalam dunia seni masih belum menyediakan ruang memadai bagi perempuan. Ruang kesenian masih maskulin, yang didominasi atribut serta peran para laki-laki. Meski seiring waktu, menurutnya sudah mulai mengalami pergeseran.
“Ini isu lama, kalau di kesenian sebetulnya relatif aman, apalagi belakangan secara jumlah yang ikut di teater sekolah dan kampung kebanyakan perempuan,” ujar Bambang kepada Konde.co, Selasa (28/2).
Dia tidak memungkiri bahwa kebijakan di DKJ memang belum menjadikan perempuan prioritas. Meski begitu, dia menolak pernyataannya disebut sebagai bias gender dan tak berperspektif gender. Dia menganggap hal itu sebagai perbedaan ‘cara baca’ saja sebab sebetulnya pihaknya mengaku akan mensupport perempuan yang menginisiasikan sesuatu untuk saling berkolaborasi dan saling menguatkan.
“Urusan teater perempuan kan bukan cuma misi DKJ, terimalah itu sebagai nurtural dan natural. Tidak semua perempuan gelisah merasa didiskriminasi dan lain-lain, apalagi sistem mulai membaik seiring pendidikan yang semakin membaik,” cetus dia.
BACA JUGA: Belum Jadi Arus Utama: Pentingnya Ruang Aman untuk Perempuan Pekerja Seni
Di satu sisi, Bambang menyebutkan beberapa catatan permasalahan Teater di Jakarta. Seperti, kebanyakan grup teater di Jakarta tidak memiliki visi sebagai organisasi yang inklusif dan keseriusan untuk membangun ekosistem internal yang berkelanjutan hingga minimnya sutradara perempuan.
Beberapa masalah secara umum lainnya, kegiatan teater dinilai masih sporadis, tidak terencana dengan baik dan sulit terukur hasilnya. Kecakapan komunikasi juga kurang dimiliki oleh para pegiat teater dengan pihak eksternal. Dampaknya juga terhadap kurangnya mendapat akses ruang, pendanaan, jejaring dan kesempatan untuk pengembangan karya.
Dia juga mengamini jika selama ini masih minim riset pemetaan teater mutakhir di Jakarta yang jadi pijakan pengembangan program kesenian. Belum ada riset dalam sistem pelatihan teater, minimnya forum-forum alternatif sebagai ruang distribusi pengetahuan sampai minimnya penulis naskah teater dari anak muda.
Kaitannya dengan itu, pihaknya bilang ada rekomendasi solusi yang bisa dilakukan. Mulai dari menguatkan riset dan produksi pengetahuan di teater termasuk kaitannya pada upaya merancang kebijakan yang berperspektif gender, menguatkan jejaring dan komunikasi di ekosistem teater, bekerja sama dengan Disdik DKI Jakarta dan Dikti Kemdikbud (merdeka belajar) dalam penguatan komunitas teater sekolah dan kampus, pengarusutamaan isu difabel, sampai apresiasi yang adil.