Ilustrasi kerja sambil kuliah

Ini Rasanya Kerja Sambil Kuliah: Berjuang Bisa Membagi Fokus

Membereskan pekerjaan di pagi hari, susah banget fokus. Bukan karena memikirkan artis kesayangan, drama yang belum beres ditonton, atau menu makan siang hari ini—tapi karena tugas kuliah untuk malam hari ini belum selesai dikerjakan, sedangkan deadline pekerjaan juga menumpuk. Hal itu hanya satu dari sekian banyak persoalan bagi kita yang kerja sambil kuliah, dua-duanya penuh-waktu. Memadu pekerjaan dan pendidikan rupanya belum tentu sekeren itu.

Selama ini, kita kerap mendengar pengalaman kuliah sambil kerja–ketika menempuh pendidikan tinggi dijalani berbarengan dengan bekerja. Sebagian orang melakukan ini demi dapat meneruskan pendidikan dengan penghasilan mandiri. Tapi ketika situasinya dibalik: apa kabar, kamu yang kerja sambil kuliah?

Pada posisi ini, seseorang mungkin tetap memprioritaskan pekerjaan yang ditekuninya, tapi juga sambil menempuh pendidikan tinggi. Tidak sedikit orang yang sudah memiliki pekerjaan, memilih untuk juga melanjutkan jenjang pendidikan. Inginnya, sih, supaya dapat menambah gelar dan mencari uang sekaligus dalam satu waktu. Ada pula motivasi lain yang jadi dorongan untuk menekuni pekerjaan sambil pula melanjutkan kuliah.

Kerja sambil kuliah mungkin terdengar asik, kalau bukan ‘keren’. Tapi sesungguhnya menjalani kedua hal ini sekaligus tidak mudah dan kadang terasa begitu berat. Buat kamu yang kerja sambil kuliah, pernah menghadapi berbagai dilema berikut ini?

Fokus ke Mana?

Ketika seharusnya kamu bisa fokus pada pekerjaanmu, benakmu malah sibuk memikirkan tugas kuliah yang belum terselesaikan, ujian akhir di ambang pekan, hingga proposal skripsi atau tesis yang gentayangan di pelupuk matamu.

Tidak jarang, situasi ini bikin keteteran. Pekerjaan yang seharusnya bisa selesai dalam waktu dua jam saja, baru bisa diserahkan setelah enam jam berkutat dengan jemari yang sibuk dan pikiran yang buntu. Tugas yang mestinya digarap saat itu juga mengalami penundaan hingga esok hari, atau lusa, atau pekan depannya, dengan sisa waktu kurang dari tiga jam menjelang pengumpulan.

Itu sangat mungkin terjadi ketika seseorang bekerja sekaligus menjadi mahasiswa dan menjalani kuliah. Apa lagi ketika sama-sama menjalani pekerjaan sekaligus kuliah dengan status full-time alias penuh-waktu. Artinya, tidak ada di antara kedua hal tersebut yang sekadar menjadi ‘sampingan’; keduanya dijalani secara utuh, sesuai ketentuan waktunya masing-masing. Seringkali, hal inilah yang membuat fokus bercabang saat hendak menuntaskan pekerjaan sekaligus tugas kuliah.

Pertemuan yang Mana (Lagi)?

Pagi hari, ada jadwal rapat berkala dengan para rekan sejawat di kantor. Hanya 15 menit setelah rapat usai, ada kelas yang mesti dihadiri demi memenuhi presensi. Setelah itu, kembali bertemu orang-orang di sekitar pekerjaan untuk menuntaskan agenda-agenda kerja. Lalu bergabung dengan diskusi kelompok untuk tugas ujian akhir di semester ini. Semua itu rampung dalam satu hari saja. Baru satu hari dalam seminggu.

Kalau bercanda sedikit, rasanya ingin mengatai diri sendiri, “Orang sibuk, nih!” Tapi dilihat kembali, jangankan memperlakukan situasi tersebut dengan sarkastis; kadang hanya ingin mengasihani diri sendiri. Bukan tidak mungkin, sibuk menghadiri pertemuan sana-sini malah menjauhkan kita dari yang terdekat. Ibumu mau menelepon, sekadar menanyakan kabar? Duh, maaf, sedang rapat dan setelah ini ada kelas. Sahabatmu ingin curhat? Nanti, ya, ada diskusi kelompok dulu dan dilanjut dengan bertemu klien. Dirimu butuh berjumpa dengan kasur? Gampang, lah, nanti saja setelah bertemu atasan di kantor dan menghadiri bimbingan dengan dosen di kantornya di kampus.

Ada pertemuan-pertemuan yang bisa menjauhkanmu dari pertemuan lain. Dalam hal bekerja sambil kuliah, hal itu sangat mungkin terjadi.

Prioritas yang Mana?

Deadline tugas ujian tengah semester menghantuimu. Lima jam sebelum pengumpulan. Kemudian kamu ingat; pekerjaanmu belum tuntas juga. Tiga jam sebelum ditagih supervisor. Keduanya sama-sama penting untuk diselesaikan—tapi dari 24 jam waktu dalam sehari, hanya enam jam waktu yang tersisa.

Jadi, mana yang harus diprioritaskan: kerja atau kuliah?

Dalam hal bekerja sambil kuliah, pertanyaan tersebut mungkin tampak lebih dilematis ketimbang pada posisi ‘kuliah sambil kerja’. Tampak serupa, tapi jika dimaknai lebih dalam, jangan-jangan berbeda. Kembali lagi—dalam posisi ‘kerja sambil kuliah’, apakah artinya pekerjaan otomatis menjadi prioritas?

Bagi beberapa orang, hal itu memungkinkan. Tapi pada kenyataannya, tidak ada yang bisa dikesampingkan dalam situasi seperti ini. Mengesampingkan pekerjaan? Kamu, kita, semua butuh pemasukan. Mengesampingkan kuliah? Dosen-dosen dan para tenaga pengajar belum tentu cukup berbaik hati untuk membiarkanmu melakukannya.

Baca Juga: Aku Jadi PRT Sambil Kuliah: Semoga Cita-Citaku Tercapai

Berdasarkan pengalaman, mendengar dosen meminta para mahasiswa untuk senantiasa hadir secara utuh dan aktif di kelas adalah hal yang lazim. Awalnya terdengar oke-oke saja—memangnya bakal hilang ke mana di waktu kuliah, selain ketika sedang aktif-aktifnya berorganisasi atau nongkrong bareng teman-teman?

Tapi saat berada pada posisi sudah bekerja penuh-waktu dan harus hadir sama aktif dan utuhnya di tempat kerja, permintaan dari dosen seperti itu bisa jadi terdengar sangat berat. Bisa dilakukan, tapi ada yang harus dikorbankan. Mengorbankan kehadiran di tempat kerja saat harus hadir di kelas? Jatah absensi yang tidak seberapa itu saat harus menunaikan pekerjaan secara utuh? Sisa-sisa tenaga, materi, dan kewarasan diri demi menjalani keduanya secara adil?

Pada akhirnya, wacana ‘prioritas’ bukan hal yang mudah terwujud saat bekerja sambil kuliah. Mungkin ujung-ujungnya, kamu memprioritaskan keduanya. Mungkin malah tidak keduanya.

Butuh Pengertian

“Tinggal bagi waktu saja, susah amat!”

Barangkali kamu pernah mendengar celetukan seperti itu ketika orang lain mendengar kesulitanmu menjalani kerja sambil kuliah. Atau, “Makanya, suruh siapa ambil dua-duanya?”

Atau malah pernah mendengar jenis tanggapan yang lain terkait pilihan dan aktivitasmu?

Mungkin kadang kamu merasa maklum, mau tidak mau, atas komentar seperti itu. Wajar, pikirmu; kan, mereka tidak merasakannya. Kan, beda generasi. Kan…

Tapi di sisi lain, kamu juga ingin orang lain setidaknya memahami posisimu. Meski bekerja sambil kuliah adalah pilihan yang diambil secara sadar dan mandiri, sangat mungkin perasaan jenuh, lelah, dan stres melanda kapan saja. Ya, kalau ditanya, risikonya memang sudah sangat jelas dari awal.

Baca Juga: ‘Kapan Nikah? Mau Kerja Dimana Habis Lulus Kuliah?’: Pertanyaan Retoris Dan Bikin Tak Nyaman

Lalu, kenapa masih diambil? Kenapa tidak menyerah saja? Jangan-jangan karena memang tidak bisa menyerah. Mau meninggalkan kuliah, kepalang tanggung; biaya yang dikeluarkan sudah sangat tinggi. Mau meninggalkan pekerjaan, jelas berat—dari mana kemudian biaya kuliah berikutnya bisa didapatkan? Maka kita pun memutuskan untuk tetap melakukan keduanya. Terseok-seok, sepertinya. Yang penting tetap maju.

Bisa jadi, ada di antara kita yang bekerja sambil kuliah karena hendak membuktikan sesuatu pada orang lain. Demi pencapaian diri, memenuhi beberapa target dan impian dalam satu waktu. Sekadar mengisi waktu luang. Terpaksa melanjutkan perjalanan yang kadung ditempuh. Ada yang muak, ada yang terpental. Dari semua itu, yakinlah bahwa kita telah melakukan sesuatu.

Yang mana pun kamu dan kita, semoga jalur yang saat ini ditempuh—dalam hal ini, bekerja sambil kuliah—adalah yang terbaik. Meski terjal dan berliku, semoga perjalanan ini tuntas. Entah baik atau buruknya, yang penting sampai pada titik akhir yang dituju. Jika lelah, tarik napas sejenak, sepersekian detik pun tidak masalah. Lalu melangkah lagi, kendati ringkih—kendati perlahan. Setidaknya kamu tahu, kamu sudah berusaha sebaik mungkin.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!