Nh Dini Sastrawati Feminis, Penulis Pemikiran dan Perasaan Perempuan

Nh. Dini adalah sastrawati feminis yang tak pernah mengaku feminis, padahal ia adalah seorang feminis. Dia menulis soal keadilan dan dia adalah salah satu tokoh pemikir feminis yang ada di Indonesia.

Banyak sastrawati di Indonesia, salah satu yang saya kagumi adalah Nh. Dini. Aku bertemu dengan Nh. Dini tahun 2012 di Gramedia pemuda Semarang, di acara peluncuran buku “Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang.” 

Waktu itu ia sudah memakai tongkat, memakai kain berwarna merah batik. Ia menjelaskan potongan kehidupannya yang kembali ke Indonesia dengan segala susah-payahnya. 

Nh. Dini adalah sastrawati yang sudah bergelut dalam dunia seni sastra bernafas panjang. Ia adalah perempuan yang menuliskan kegelisahan diri, hubungan antar-manusia, dan banyak menuliskan perasaan-perasaan perempuan, pemikiran perempuan dan juga banyak gugatan dalam novelnya. Sebut saja novel terkenalnya yang berjudul “Pada Sebuah Kapal” dan “Namaku Hiroko.”

Sejak sekolah SD, Dini sudah tertarik dengan dunia tulis-menulis. Jika pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. 

Dua Dunia merupakan kumpulan cerpen karya N.H. Dini yang terbit pada tahun 1956 kemudian pada tahun 2002 diterbitkan ulang cetakan ke-3 oleh Grasindo, Jakarta. Dua Dunia (1956) berisi 7 buah judul, yaitu (1) “Dua Dunia”, (2) “Istri Prajurit”, (3) “Djataju”, (4) “Kelahiran”, (5) “Pendurhaka”, (6) “Perempuan Warung”, dan (7) “Penemuan”.

Pendurhaka adalah salah satu cerita pendeknya disorot oleh HB. Jassin karena mempertanyakan posisi perempuan. “Pendurhaka” mengisahkan Jati, perempuan muda yang disuruh pulang dan diminta menikah oleh keluarganya. Disini Dini menuliskan pergulatan seorang perempuan muda.

Nh. Dini, perempuan kelahiran 29 februari 1936 ini terus menulis hingga di akhir hayatnya. Penciptaan karyanya sebagian besar dikerjakan atas pengamatan tajamnya mengenai dunia di sekelilingnya, hal-hal yang dianggap remeh-temeh dan persoalan-persoalan perempuan yang tak kunjung habis. Sebagian karyanya berasal dari cerita kenangan. Cerita-cerita kumpulan semasa kecil hingga dewasa. 

Nh. Dini juga menuliskan keluarga dan aktivitasnya dengan penuh cinta di 4 (empat)seri cerita kenangan pertama, Padang Ilalang di belakang rumah, Sebuah lorong di Kotaku, Langit dan Bumi Sahabat Kami, dan Sekayu adalah 4 Seri cerita kenangannya di mana-mana kanak-kanak hingga usia SMP. Masa-masa dimana ia mempertanyakan hubungan ayahnya yang seorang pecinta seni dan sedikit liberal, dan ibunya yang lebih feodal. 

Kemudian ia juga menceritakan bagaimana ibunya bersusah-payah membesarkan lima anaknya di masa-masa perang, hubungan kakak-adik yang penuh lika-liku, keputusan hidupnya yang selalu menjadi pertimbangan laki-laki yaitu kakaknya ketika ia memilih tidak berkuliah. 

Juga pertanyaan mengenai alam yang membedakan perempuan dan laki-laki. Perihal menstruasi yang hanya dirasakan oleh kaum hawa dan ditulis dengan sebutan Nggarap Sari

Istilah-istilah Jawa dimana ia tumbuh di sebuah perkampungan padat penduduk yang penuh dengan keunikan ceritanya. 

BACA JUGA:

Belajar Feminisme dari Buku Sastra, Bisa Banget!

Lasminingrat, Penulis Sastra Feminis Yang Tak Banyak Diperbincangkan

Dalam karya diluar Seri cerita kenangan, ada Pada Sebuah Kapal yang mengisahkan tokoh Sri dan kekasihnya pelaut dengan banyak lika-liku percintaan, dan hubungan manusia yang sesungguhnya bukan logika saja yang berbicara. Namun di sana garis takdir bekerja. 

Nh. Dini adalah tak pernah mengakui feminis, padahal ia adalah seorang feminis. Dia hanya berbicara keadilan. Tetapi dia sebenarnya adalah salah satu tokoh pemikir feminis yang ada di Indonesia. 

Dia sudah merasakan ketidakadilan yang terjadi pada dirinya sejak kecil seperti kenapa jatah perempuan lebih kecil dari lelaki. Kenapa perempuan harus mengalami menstruasi hingga kram perut berhari-hari yang dirasakan sebagai penderitaan, sedangkan laki-laki tidak. 

Namun darinya kita bisa belajar perenungan. Segala sesuatu memang sak madya (secukupnya saja) segala sesuatu berada pada porsinya, ia juga percaya pada kekuatan illahi yang menuntunnya dan garis takdir yang mempercayakannya untuk menjadi penulis

Dari renungan itu mengajarkan bahwa manusia akan bersusah-payah memang dengan alur kehidupan di dunia ini seberuntung apapun dia. Karena manusia adalah khalifah. Ibu dini juga mengajarkan bagaimana memetakan perasaan menjadi karya fiksi yang baik. 

Jika Ayu Utami (ini juga penulis yang bukunya ku koleksi) mengatakan peta batin. Maka aku mengatakan pada ibu NH. Dini ia memetakan jiwa. Ia berusaha menggambarkan manusia dengan segala hiruk-pikuknya. Maka jangan heran, bila ada manusia jahat, iri, dengki dan berwatak dursasana. 

Karena memang sudah begitulah tugasnya menurut garis takdir kehidupan.

“Menulis adalah pekerjaan jiwa jangan berpikir itu hasil akademik, seberapa jenius akademikmu jika jiwa mu tidak pada penulisan… Ia terbang”

Pada titik itu aku lega, iya aku masih sedikit lega dan memulai lagi dengan kesepuluh jari untuk menuliskan segalanya.

(Sumber Gambar: Gramedia.com)

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!