Bikin Acara yang Inklusif Itu Seperti Apa? Pikirkan Aksesibilitas Bagi Minoritas

Jika kamu menjadi penyelenggara sebuah acara, pikirkan ini: apakah penyelenggaraan acara yang kamu bikin sudah inklusif atau belum?

Kehadiran acara publik yang dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat masih kerap kali dilupakan oleh penyelenggara. Mulai dari pembukaan fasilitas publik seperti masjid agung, acara keolahragaan, konser, hingga acara berskala besar. 

Penyisihan tersebut dapat ditemukan dari minimnya bahkan nihilnya tacticle paving atau guiding block yang dapat ditemui di tempat berlangsungnya acara. Selain itu, tidak ramahnya spektrum warna penanda bagi buta warna baik parsial maupun bukan. Hingga absennya ruang menyusui bagi balita juga bermasalah. Hal ini tentu saja semakin mempersempit ruang bersama yang bisa dibangun untuk semua individu tanpa terkecuali.

Dalam perhelatan konser-konser musik di daerah misalnya, tak jarang pengunjung harus menempuh jarak yang jauh demi kamar mandi kubikel yang tak sampai 10 jumlahnya. Kamar mandi juga kadang tidak dipisahkan oleh jenis kelamin serta tidak memiliki fasilitas bagi teman-teman dengan disabilitas. Kamar mandi kerap berjarak jauh dan seringkali berada di kawasan gelap. Hal itu dapat semakin memperlebar kerentanan individu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Baca Juga: Yuk, Pekerjakan Penyandang Disabilitas: Ini Penting Buat Perusahaan Agar Inklusif

Aksesibilitas yang baik dan inklusivitas seolah masih asing bagi penyelenggara acara publik. Seolah audiens tidak memiliki tantangan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Tak heran jika dalam realisasinya, inklusivitas seperti tidak dilibatkan dalam prioritas.

Namun, jika hal itu dimunculkan ke pembicaraan, banyak anggapan yang mengatakan bahwa memikirkan aksesibilitas dan inklusivitas hanya akan mempersulit ruang gerak proses kerja suatu acara. Secara tidak langsung, pandangan ini berbahaya. Karena akan semakin meminggirkan hak-hak baik orang dengan disabilitas maupun kelompok rentan untuk mendapatkan pengalaman yang sama baiknya.

Padahal sudah ada aturan tentang hak penyediaan aksesibilitas bagi orang dengan disabilitas dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2016. Selain itu, pemenuhan terhadap kebutuhan kelompok rentan terutama perempuan dan lansia juga belum mendapat perhatian khusus.

Minimnya Praktik Aksesibilitas di Lapangan

Mari menengok ke belakang. Dari pengalaman pribadi, dalam ruang pemutaran-pemutaran alternatif yang ada di Yogyakarta, saya belum pernah menemukan hingga saat ini terdapat pemutaran film yang menyediakan fasilitas audio description. Audio Description (AD) merupakan penggambaran visual di media maupun produksi langsung yang akan memberikan informasi verbal kepada penonton yang membutuhkan. Bahkan dalam festival film berskala internasional seperti JAFF, hal tersebut absen diperhatikan.

Belum tersedia pula ruang menonton bagi orang dengan disabilitas, baik di dalam venue pemutaran maupun acara lokakarya lain yang diselenggarakan JAFF setidaknya hingga tahun kemarin. 

Beberapa lokakarya juga diselenggarakan di tempat yang mengharuskan menaiki tangga tanpa akses ramp atau jalur landai untuk kursi roda. Nihilnya juru bahasa isyarat menjadikan festival ini semakin eksklusif. Selain itu, hal tersebut telah menutup pintu-pintu kesempatan bagi audiens lain dalam prosesnya sebagai wadah distribusi, tak hanya film, melainkan pengetahuan tentang sinema.

Baca Juga: Survei: Perempuan, Queer, Disabilitas Lebih Rentan Jadi Korban Kekerasan di Dunia Kerja

Selain JAFF, ada pula festival seni lain seperti ARTJOG, salah satu perhelatan seni rupa terbesar di Yogyakarta yang selalu menyedot perhatian baik dari masyarakat maupun wisatawan. ARTJOG agaknya telah berproses dengan keterbukaan untuk semua orang dengan cara memberikan pembekalan dampingan untuk gallery sitter terhadap tamu dengan disabilitas. Namun, perlu dicatat bagi pengunjung dengan disabilitas peraturan tidak boleh menyentuh karya seni dan tidak adanya karya seni yang bisa diraba membuat pengunjung kehilangan ‘sensasi’ seni. Gerak pengunjung dengan disabilitas juga tidak bisa leluasa jika berada dalam venue yang tidak cukup luas.

Pemilihan Gedung JNM sebagai venue selama bertahun-tahun nampaknya harus dikaji ulang. Pasalnya, terdapat ruangan yang dengan level ketinggian yang berbeda dan sempit sehingga tidak semua orang bisa menikmati karya secara utuh.

Baca Juga: Film ‘Tegar’: Ajak Masyarakat Hargai Kesetaraan Penyandang Disabilitas

Tak hanya dari lingkup seni. Dalam lingkup keagamaan seperti Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah yang tahun lalu diselenggarakan di Surakarta, saya mendapati banyak kebingungan. Tidak ada signage maupun banner besar yang menunjukkan denah acara, padahal saya berada di acara bazaar yang semua orang dapat berkunjung. Mushola pun sempit. Hingga ketika saya masuk ke bagian dalam De Tjolomadoe, saya mendapati pengunjung dengan kursi roda yang kesulitan berpindah karena terdapat kabel besar yang memotong jalan.

Tentunya para panitia tidak bisa membatasi siapa saja yang datang ke De Tjolomadoe. Dalam situasi seperti itu pengunjung hanya bisa bertumpu pada markah yang dapat mereka lihat. Poin ini penting mengingat Kevin Lynch dalam The Image of The City (1960) menyebut bahwa manusia familiar dengan petunjuk yang dibuat dari garis atau bentuk khusus yang mudah dikenali sehingga semua informasi harus lengkap dari titik awal hingga titik tuju.

Bagaimana Kita Bisa Belajar?

Banyak ataupun sedikit pengunjung dengan disabilitas bukan menjadi tolak ukur bagaimana sebuah acara publik dirancang, Tetapi, bukan berarti kita pesimis dengan keadaan yang saat ini terjadi. 

Satu persatu acara mulai terlihat menimbang aspek ini. Seperti MyFest.ID pada bulan Juli mendatang yang menggadang bahwa ia akan menjadi festival musik inklusi dengan akses ramah kursi roda. Atau musisi-musisi yang sudah mulai menggunakan juru bahasa isyarat (JBI).

Tentunya, tidak mudah bagi penyelenggara untuk berubah secara seketika. Belajar dari pengalaman penyelenggara lain, berdiskusi dengan orang yang bergelut di bidang aksesibilitas, maupun menggelar dialog bersama dengan kelompok rentan maupun komunitas orang dengan disabilitas dapat membuka penerapan inklusivitas di acara publik.

Baca Juga: Aktivis: Dear Pemerintah, Perjuangkan Anti Diskriminasi Pada Disabilitas dan LGBT di Sidang HAM Jenewa

Setiap orang memiliki tantangannya sendiri, baik terlihat maupun tidak. Landasan empati dan memahami dapat diadopsi ketika memikirkan matang-matang bagaimana user journey setiap audiens yang datang ke acara.

Apakah toilet sudah dekat? Apakah perlu mengadakan acara di ruangan lantai dua jika mengundang lansia? Bagaimana akses kursi roda? Di mana juru bahasa isyarat jika kita ingin mendengar pendapat semua orang?  Jika mengundang perempuan, apakah kita perlu menyediakan ruang menyusui? Dengan mengupayakan hal-hal tersebut, inklusivitas tak lagi hanya sekadar gimik yang diucapkan. Tetapi mulai diterapkan sekarang juga.

(Foto/ ilustrasi: Freepik)

Saraswati N

Mahasiswi film dan fangirl yang bisa ditemui suaranya lewat podcast K-ulture! Masih bermimpi melihat Yoo Ah In dan Kim Tae Ri dalam satu proyek film
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!