Menghadirkan Realitas Depresi Pasca Melahirkan di Panggung Teater

Nurul Inayah, perempuan palugada di dunia pertunjukan sebagai penulis, sutradara, aktor, dan manajer program di Kala Teater, Makassar, menggunakan panggung sebagai media untuk mengangkat suara-suara yang sering kali terpinggirkan, termasuk isu-isu yang berhubungan dengan ibu dan gender. Dengan dukungan Dana Indonesiana, teranyar Nurul Inayah berhasil mementaskan pentas teater berjudul Postpartum (2023) yang mengisahkan pengalaman ibu yang tabu ke dua kabupaten.

Sejak 2008, Nurul Inayah telah merintis jalan di dunia teater. Dimulai dari panggung kampus, hasratnya terhadap dunia pertunjukkan akhirnya membawa ia  ke Kala Teater, salah satu kelompok teater yang berpengaruh di Makassar. Kini, selain berperan sebagai penulis naskah, sutradara, dan aktor, ia juga menjabat sebagai manajer program di Kala Teater. Bertanggung jawab untuk mengurus berbagai aktivitas seni dan budaya.

Naya, begitu ia biasa disapa, mengusung isu-isu sosial yang penting tetapi sering kali dikesampingkan dalam karya pertunjukannya. Salah satu karyanya yang paling signifikan adalah pertunjukan bertajuk “Postpartum”, yang mengeksplorasi fenomena depresi pada ibu pasca melahirkan. Melalui riset mendalam dan wawancara dengan sejumlah narasumber  ibu, ia berhasil membawa topik ini ke atas panggung. Mengajak masyarakat untuk lebih peka dan memahami kondisi yang sering kali dianggap tabu.

Kala Teater, yang berdiri sejak 2006, telah menjadi rumah bagi banyak seniman di Makassar. Dengan berbagai program seperti Studio Aktor dan Festival Kala Monolog, kelompok ini terus berupaya mengembangkan dan menyebarkan seni teater di berbagai daerah, baik di tingkat nasional maupun internasional. Naya, dengan semangat dan dedikasinya, menjadi salah satu pilar utama dalam keberhasilan ini.

Sorot Lampu Nurul Inayah

Ketertarikannya terhadap Kala Teater bermula saat ia menjadi peserta festival monolog bertajuk “Kala Monolog” dan menyandang posisi tiga terbaik. Naya kemudian bergabung dalam program Studio Aktor dan mulai terlibat dalam berbagai kegiatan di kelompok teater tersebut. 

“Jadi, Kala Teater itu ada program namanya Studio Aktor. Program tersebut memberikan pelatihan keaktoran untuk mengasah aktor yang sudah lama atau ingin memetakan aktor yang baru. Nah, saya bergabung di situ 2010, tapi sebelumnya di 2010 itu sebelum masuk pelatihannya saya ikut festival Kala Monolog dan memperoleh terbaik tiga,” kenang Naya.

Ketertarikan Naya untuk membawa isu perempuan di bawah  sorot lampu panggung mulai berkembang seiring dengan pengalamannya sendiri sebagai seorang ibu. Ia mengalami gejolak besar dalam dirinya setelah melahirkan.

“Berawal sebenarnya dari pengalaman pribadi pada saat itu saya baru pasca melahirkan. Jadi pasca melahirkan ada beragam sesuatu perubahan besar yang saya rasakan secara emosi dan banyak hal,” ceritanya.

Rasa ingin tahu yang tinggi membawa Naya melakukan riset, bertanya kepada sesama ibu lain tentang pengalaman mereka pasca melahirkan. Dari sini, Naya menemukan fenomena depresi pasca melahirkan atau postpartum depression, yang sering kali tidak mendapat perhatian yang layak, dianggap sebagai hal yang tabu, atau bahkan  bentuk perasaan nirsyukur seorang ibu yang baru melahirkan.

“Saya mempertanyakan perubahan-perubahan itu sedikit demi sedikit ke diri saya kemudian berupaya mempertanyakan itu keluar juga sehingga saya melakukan riset kecil tentang ini. Jadi saya bertanya kepada ibu-ibu pasca melahirkan, ada kawan-kawan dekat, kemudian narasinya berkembang. Saya menemukan bahwa ternyata ada yang dinamakan postpartum depression,” jelasnya.

BACA JUGA: Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema

Melalui riset tersebut, Naya mulai menyadari pentingnya mengangkat isu ini ke dalam karyanya. Melalui pertunjukan “Postpartum“, ia berusaha membuka mata masyarakat terhadap dampak emosional yang dialami ibu setelah melahirkan. 

Dalam pertunjukan ini, Naya mengeksplorasi bagaimana tekanan sosial dan konstruksi patriarki mempengaruhi kesehatan mental ibu. Ia juga menyoroti bagaimana emosi negatif sering kali tidak tervalidasi karena ekspektasi masyarakat yang mengharapkan ibu untuk selalu kuat dan sempurna.

“Saya mengambil satu payung besar bahwa salah satu kontributor terbesar postpartum depression bisa terjadi adalah karena tentu yang pertama bagaimana masyarakat secara sosial memandang seorang ibu secara patriarki. Ibu adalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak.”

“Kemudian yang kedua juga ada beragam emosi yang tidak tervalidasi karena ibu selalu digambarkan atau dikonstruksi sebagai seseorang yang harus kuat seperti Wonder Woman. Seorang ibu selalu dikonstruksi seperti itu di masyarakat sehingga emosi-emosi negatif yang harusnya dikeluarkan itu tidak tervalidasi. Kemudian yang ketiga saat itu juga beragam orang-orang di sekitar yang merasa punya otoritas untuk mengomentari pengasuhan anak,” tegasnya.

Pentingnya mengangkat isu yang dianggap tabu ini menjadi salah satu motivasi utama Naya. Ia percaya bahwa dengan membuka diskusi tentang hal-hal yang jarang dibicarakan, masyarakat bisa menjadi lebih peka dan peduli.

Pementasan “Postpartum” mulanya hanya dipentaskan di Makassar lewat dukungan dari Union Aid New Zealand. Melalui Dana Indonesiana, pementasan diperluas ke Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Takalar, masing-masing berjarak sekitar 4-5 jam dan 2-3 jam dari kota Makassar.

BACA JUGA: Peran Ibu dalam Pelestarian Anyaman Bambu

Di kedua kabupaten tersebut, penyelenggara pertunjukan bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A). Kolaborasi ini penting untuk menjangkau penonton yang tepat sasaran, memastikan bahwa informasi mengenai risiko pernikahan dini dan pentingnya kesiapan sebelum melahirkan dapat tersampaikan dengan baik.

Dengan dukungan Dana Indonesiana, menurut Naya pertunjukan ini berhasil menjangkau lebih banyak penonton, terutama segmentasi utama di kalangan perempuan dan pelajar. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran mengenai dampak negatif dari pernikahan dini. Khususnya ketika perempuan tidak memiliki kesiapan mental dan fisik yang cukup, yang dapat berujung pada depresi pasca melahirkan.

“Didukung Dana Indonesia ini khusus di kabupaten, kami menyasar perempuan khusus yang pertama, yang kedua juga pelajar sehingga bisa mengetahui bahwa salah satu dampak pernikahan dini ketika tidak adanya kesiapan mental dan fisik bisa berakibat mendapatkan depresi pasca melahirkan.”

“Jadi Dana Indonesiana tentu saja mendukung pertunjukan atau gagasan postpartum dengan isu yang tabu ini untuk dibawa dan didistribusi ke tempat-tempat yang memang tepat sasaran,” kata Naya.

Setelah pementasan, Naya mengadakan diskusi soal depresi pasca melahirkan. Melalui diskusi tersebut penonton diberi kesempatan untuk bertanya dan mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari para ahli. Meski pada diskusi tersebut muncul  beberapa kritik dan pandangan yang berbeda, Naya melihatnya sebagai kesempatan untuk terus memperbaiki dan mengembangkan karyanya.

Pertunjukan Postpartum dan Peran Dana Indonesiana

Bagi Naya, Dana Indonesiana telah menjadi salah satu pendorong utama dalam mengembangkan dan mendistribusikan karya “Postpartum”-nya. Dukungan dana ini tidak hanya membantu dalam hal finansial, tetapi juga membuka akses bagi lebih banyak penonton untuk menikmati pertunjukan teater yang mengangkat isu-isu penting. 

“Dana Indonesiana sangat membantu distribusi karya untuk dilihat masyarakat luas. Penting untuk melanjutkan Dana Indonesiana dan memperbanyak perspektif perempuan dalam penyeleksian karya yang akan didukung,” jelas Naya

Namun, Naya juga memiliki beberapa kritik terhadap pengelolaan Dana Indonesiana. Salah satu masalah yang dihadapinya adalah seringnya perubahan pada format pelaporan. Hal ini menyulitkan dalam proses administrasi dan mempengaruhi kelancaran program. Komunikasi dengan pihak pengelola dana juga dianggap kurang efektif, karena sulit untuk mendapatkan jawaban yang jelas dan cepat terkait pertanyaan seputar administrasi.

Meskipun demikian, Naya memahami bahwa ini adalah tahun pertama implementasi Dana Indonesiana, dan masih banyak ruang untuk perbaikan. Ia menyarankan agar dibentuk suatu  lembaga atau tim khusus yang dapat menjamin  keberlanjutan Dana Indonesiana dan meningkatkan efektivitasnya. Sehingga proses pelaporan dan pencairan dana bisa berjalan lebih lancar dan tidak menghambat program-program yang sedang berjalan.

“Karena ini tahun pertama, distribusi informasi tentang pelaporan atau format administrasi sering berubah-ubah sehingga cukup menyulitkan. Misalnya, format pelaporan yang berbeda beberapa kali sehingga mengganggu kelancaran administrasi.”

“Selain itu, komunikasi juga menjadi masalah, karena sulit menjangkau siapa yang bisa menjawab pertanyaan seputar administrasi. Juga, pencairan dana yang lama dari jangka waktu penandatanganan kontrak hingga pencairan yang menyebabkan program harus mundur atau dikerjakan tanpa menunggu pencairan.”

“Namun, meskipun ada hambatan, secara pribadi saya bisa melaluinya hingga selesai pelaporan. Saya memahami ini baru pertama kali dan formatnya masih dicari yang tepat. Mungkin ada solusi seperti tim khusus untuk mengurus ini secara independen,” jelasnya.

BACA JUGA: Festival Rengkong Wewengkon Kasepuhan Citorek: Mewujudkan Ekosistem Kebudayaan yang Organik dan Inklusif

Program Dana Indonesiana yang saat ini dikelola oleh Kemendikbudristek melalui Ditjen Kebudayaan  meliputi beberapa jenis pendanaan. Pertama, Fasilitasi Bidang Kebudayaan, yang terdiri dari Fasilitasi Bidang Kebudayaan secara umum dan Fasilitasi Bidang Kebudayaan Interaksi Budaya. 

Kedua, Pemanfaatan Dana Abadi Kebudayaan, yang mencakup berbagai kegiatan seperti dukungan institusional bagi organisasi kebudayaan, pendayagunaan ruang publik, kegiatan strategis, stimulan kegiatan ekspresi budaya. Dokumentasi karya atau pengetahuan maestro, penciptaan karya kreatif inovatif, dana pendampingan karya untuk distribusi internasional, serta kajian objek pemajuan kebudayaan. 

Terakhir, terdapat Beasiswa Pelaku Kebudayaan yang ditujukan untuk mendukung para pelaku budaya dalam mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka melalui pendidikan formal. 

Bagi Naya, penting untuk memperbanyak perspektif perempuan dalam penyeleksian karya yang didukung oleh dana ini. Karena masih banyak isu-isu perempuan yang perlu mendapatkan perhatian lebih.

Naya juga mengusulkan agar sosialisasi mengenai Dana Indonesiana lebih diperluas, terutama ke daerah-daerah dan kawasan timur Indonesia. Banyak komunitas kecil yang memiliki karya berkualitas tetapi tidak mengetahui adanya dana ini. Dengan sosialisasi yang lebih mendalam, lebih banyak komunitas yang dapat mengakses dana dan mengembangkan karya mereka. Adanya lembaga mandiri yang secara spesifik menangani sektor kebudayaan juga semakin dirasakan urgensinya guna memastikan manfaat dari Dana Indonesiana dapat dirasakan lebih luas. 

“Dana Indonesiana sangat membantu distribusi karya untuk dilihat masyarakat luas. Penting untuk melanjutkan Dana Indonesiana dan memperbanyak perspektif perempuan dalam penyeleksian karya yang akan didukung.”

“Distribusi informasi ke daerah-daerah atau kawasan timur Indonesia juga penting, karena banyak komunitas kecil yang punya karya tetapi tidak mengetahui Dana Indonesiana. Sosialisasi mendalam perlu dilakukan agar lebih banyak komunitas yang bisa mengakses dana ini,” pungkasnya.

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

Foto: Teater Kala

Luthfi Maulana Adhari

Manajer riset dan pengembangan Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!