Street feeding kucing jalanan

Dilema Street Feeding Kucing, Negara Jangan Cuek

Beberapa orang bersimpati dan rutin memberi makan kucing jalanan karena iba. Beberapa lainnya menganggap kegiatan street feeding kucing buang-buang waktu dan materi. Tapi kerap terlupakan, seharusnya pemerintah juga hadir untuk mengakomodir masalah hewan di jalanan ini.

Saat melewati berbagai halte bus, aku sering menemukan tumpukan makanan kucing di persimpangan atau sisi kanan-kiri jalanan. Kadang kibble, kadang ‘kalengan’ yang basah. Kadang ditempatkan di atas kertas, kadang juga dibuat berserakan tanpa wadah.

Aku pun mengakui, kucing adalah hewan yang lucu dan begitu dekat dengan manusia. Melihat kucing terlantar di jalanan–beberapa dengan keadaan tak sehat–membuat sebagian orang berempati. Mereka sisihkan sebagian uang dan sempatkan waktu untuk memberi makan, mengasihani makhluk malang tak bersalah yang harus ikut menerima penderitaan dunia.

Terkadang, kita juga mengajaknya bicara atau mengelus dengan cinta temporer. Toh, besok belum tentu bertemu lagi. Tidak salah rasanya memberi kasih hari ini. Mungkin apa yang kita berikan ke para kucing jalanan bisa menjadi semangat sementara bagi mereka untuk melanjutkan satu hari hidupnya yang penuh ketidakpastian.

Baca Juga: Pamer Konten Satwa Liar di Medsos Bahayakan Konservasi di Indonesia

Di sisi lain rasa simpati yang tumbuh, ada kondisi dilematis yang ternyata harus dipertimbangkan. Berbagai argumen muncul, menolak aktivitas memberi makan kucing jalanan atau street feeding terhadap kucing. Kegiatan ini dianggap sama saja merugikan baik manusia maupun kucing tersebut jangka panjang.

Kucing jalanan dianggap hama karena mengganggu dan menyebabkan penyakit pada manusia. Mereka yang tidak terawat rentan menjadi sarang kutu, terkena rabies, dan menyebarkan virus lewat kotorannya. Kotoran kucing membawa parasit yang akan berjangkit jika lewat dari 4–5 hari tidak terurus, lalu menjadi penyakit Toksoplasma bagi manusia. Infeksi dapat terjadi jika medium yang terjangkit tidak sengaja tertelan atau lewat transmisi vertikal dari ibu ke janin. Selain itu, kucing ada musim kawin sering kali meraung dan berkelahi di tengah malam sehingga mengganggu ketenangan.

Ada pula argumentasi bahwa pemberian makan kucing yang tidak rutin dapat menurunkan kemampuan bertahan hidup para kucing jalanan ini. Sebagai hewan habitual, kucing cenderung kembali ke tempat ia diberi makan. Pemberian makan dengan waktu yang tidak pasti berdampak negatif pada mereka.

Baca Juga: Sering Dipanggil Betina, Panggilan yang Melecehkan

Namun, semakin tersedia makanan, semakin banyak juga kucing jalanan yang bertahan hidup, beranak cucu, dan buang kotoran lebih banyak lagi di lokasi dekat permukiman warga. Semakin panjang pula masalah yang harus ditangani negara. Polemik memberi makan kucing adalah masalah kompleks yang memunculkan berbagai pendekatan, walau tidak semuanya berdampak positif jangka panjang. Salah satu rekomendasinya adalah untuk setidaknya mengecek terlebih dahulu apakah kucing jalanan yang hendak diberi makan itu sudah disterilisasi.

Dibandingkan street feeding atau memberi makan saja, sterilisasi dianggap menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi urgensi kucing jalanan untuk mengembara. Sehingga risiko terluka atau penyebaran penyakit dapat diminimalisasi.

Penerapan program akan jauh lebih efisien, baik dari segi tenaga, uang, maupun waktu, jika dilakukan secara kolektif. Misalnya, sempat ramai bahwa sejumlah mahasiswa dalam fakultas universitas membangun lingkungan yang ramah kucing. Tidak hanya street feeding atau memberikan makan, mereka juga menyediakan sterilisasi, vaksinasi, dan memberikan kalung refleksi agar kucing tidak celaka di jalan raya.

Mudah untuk Menyerang, yang Sulit adalah Mencapai Keadilan

Beberapa waktu lalu, aku sempat menyaksikan pro-kontra street feeding atau pemberian makan kucing jalanan di antara warganet. Argumentasinya menyerang pemberi makan kucing yang tidak serta-merta mensterilisasi kucing jalanan saat street feeding. Mereka menilai bahwa lebih baik uangnya ditabung untuk sterilisasi daripada digunakan untuk membeli makanan kering yang tidak menyelesaikan masalah. Lebih kasar lagi, para pemberi makan kucing jalanan yang tidak mensterilisasi dicap hanya menyuapi ego dirinya sendiri.

Menurutku, argumentasi kasar yang diarahkan menyerang pemberi makan kucing jalanan tidak adil. Malah, terdengar sebagai jebakan ego bahwa apa yang dilakukan diri lebih unggul daripada orang yang berlaku beda darinya. Alih-alih menyerang satu sama lain–di tengah kondisi sama-sama bertujuan menyejahterakan manusia dan kucing–pembahasan polemik ini seharusnya melibatkan pemerintah. Sebab, permasalahan hewan adalah permasalahan negara juga.

Tahun ini, beberapa pemerintah setempat turut andil melakukan sterilisasi dan vaksinasi massal. Seperti yang dilakukan Dinas Pertanian (Dispertan) Kudus atau Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (DKPKP) DKI Jakarta pada ratusan kucing beberapa waktu lalu. Namun, sejauh apa penargetan itu dapat berjalan efektif?

Baca Juga: Perempuan Mengolah Energi Terbarukan, Sayang Tak Didengar Pemerintah 

Pada 2018, KPKP memperkirakan bahwa setidaknya ada 30.000 ekor kucing di ibu kota, tetapi tidak ada data pasti tentang klasifikasi kucing dan penyebarannya. Tentu pada tahun ini jumlah itu sudah lebih banyak lagi. Mengingat kucing betina biasanya dapat melahirkan 3–18 ekor anak setiap tahunnya, bahkan sejak berusia 6 bulan. 

Berbagai negara menetapkan aturan trap-neuter-release (TNR) yang dinilai setidaknya lebih manusiawi dibanding eutanasia massal. Namun, program ini juga tidak menjadi langkah efektif, khususnya pada proses ketiga, karena kucing tetap berakhir memenuhi jalanan dan terlantar. Mereka yang terpaksa mencari makan sendiri pun sering kali berakhir mengusik ekosistem dengan memangsa hewan-hewan lain. Mereka juga rentan terluka karena diserang sesamanya atau celaka di jalan raya.

Seharusnya ada penegakan hukum tentang perlindungan kucing jalanan. Termasuk regulasi tentang keterlibatan publik terkait kucing peliharaan dan jalanan yang solutif dan menguntungkan seluruh pihak. Pemerintah pun dapat membangun suaka untuk para kucing jalanan yang sudah dinetralisasi untuk dikumpulkan ke dalam satu tempat di setiap daerahnya.

Tidak berhenti di sana, kucing yang sudah dinetralisasi ini diperhatikan secara konstan oleh petugas khusus yang dibentuk oleh negara. Mereka memberikan suplemen yang memadai, melakukan vaksinasi rutin pada kucing, dan menyosialisasikan tentang adopsi yang proaktif. Di suatu pulau kucing di Jepang, Pulau Aoshima, petugas yang dipekerjakan adalah kelompok lanjut usia. Strategi ini pun bisa juga dijalankan oleh negara.

Baca Juga: Selebritis dan Media Sosial Dorong Naiknya Populasi Vegetarian

Untuk menurunkan jumlah kucing secara efektif, setidaknya diperlukan program sterilisasi pada 50 persen total kucing jalanan betina. Memang sulit untuk mencapai itu semua, mengingat kucing cenderung menghindari tempat ramai. Setidaknya, dalam waktu dekat, pemerintah dapat membuat kontak hotline yang mencakup seluruh daerah sehingga dapat dijangkau publik dengan mudah saat menemukan kucing terlantar.

Pemerintah juga dapat membuka pos pemberian makan kucing yang terjaga dan terbuka, serta memperbanyak tong sampah yang tertutup untuk menghindari kucing memakan sampah berbahaya.

Namun, hingga kini, aku menilai bahwa pemerintah belum banyak turun tangan soal perlindungan hewan. Aturan cenderung antroposentris dengan kepentingan kemajuan ekonomi. Tentu masalah kucing yang terlantar dan menambah anggaran terkait itu malahan jadi persoalan baru yang membuang waktu.

Tahun lalu, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak 6 kucing jalanan yang berakibat 4 mati dan lainnya kritis dengan kondisi rahang hancur. Pelaku, Brigjen TNI NA, mengungkapkan alasan ia melakukannya adalah upaya untuk menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan setempat. 

Pidana soal kekerasan pada hewan ini hanya mengancam pemenjaraan dengan maksimal 6 bulan dan denda maksimal Rp5 juta. Terlihat jelas bahwa hukuman pidana penyiksaan pada hewan masih belum ditindak serius dalam aturan negara. 

Berbagai kekerasan dan kejahatan pada hewan membawa kita pada pernyataan ada ide antroposentris yang melihat hewan sebagai makhluk “disposable“. Beberapa dilihat sebagai komoditas yang dapat diperoleh, dibuang, dan diperlakukan seenaknya oleh manusia sebagaimana manusia mau. Mereka bukanlah dekorasi negara sehingga perlindungan dan kesejahteraannya adalah hak yang perlu dipenuhi negara.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!