Belakangan, kita kerap menemukan warganet mengkritisi mereka yang melakukan flexing atau pamer kekayaan di dunia maya. Apalagi, banyak dari mereka yang flexing memiliki jabatan. Situasi lainnya, merupakan keluarga dekat dari pejabat di instansi pemerintahan.
Misalnya, media sempat dibuat heboh dengan kekayaan Rafael Alun Trisambodo dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Ada juga Eko Darmanto yang menjabat sebagai Kepala Bea Cukai Yogyakarta. Serta Esha Rahmansah Abrar dari Kementerian Kesekretarian Negara.
Fenomena flexing sebenarnya sudah lama merebak. Ini seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial di Indonesia.
Flexing berasal dari bahasa Latin, flectere, yang artinya menekuk (to bend). Terminologi ini sudah digunakan dalam bahasa Inggris sejak awal abad ke-18. Fenomena ini untuk menggambarkan gerakan tubuh seorang binaragawan yang memperlihatkan atau memamerkan tekukan otot-ototnya. Seiring berjalannya waktu, pemahaman modern membuat istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan kondisi saat seseorang memamerkan kekayaan, status sosial, dan pencapaian lainnya secara berlebihan.
Dalam hemat saya, salah satu dorongan orang melakukan flexing adalah karena baurnya persepsi mengenai kesejahteraan yang membuat orang-orang mencari validasi melalui unggahan media sosial.
Persepsi yang terdistorsi terkait kesejahteraan
Mengapa begitu banyak orang gemar flexing di media sosial?
Sejumlah orang beranggapan bahwa alasannya berkaitan dengan rendahnya self-esteem (persepsi nilai diri) seseorang. Bisa juga akibat pengaruh intensitas penggunaan media sosial untuk tujuan pemasaran, serta kecenderungan narsistik manusia yang haus akan pujian.
Tak ada yang salah dengan jawaban-jawaban ini.
Namun, kita juga perlu melihat fenomena flexing ini dari bagaimana orang-orang mendefinisikan kehidupan yang “sejahtera”.
Baca Juga: Flexing dan Cara Mengatasinya, Belajar dari Kasus Indra Kenz dan Doni Salmanan
Banyak orang percaya bahwa jalan terbaik untuk hidup sejahtera adalah dengan mengumpulkan harta kekayaan terus menerus. Ini dikarenakan hakikat manusia yang lekat dengan keinginan memenuhi kepentingan pribadi (self interest). Bahkan, dalam pemikiran klasik “invisible hand” yang dicetuskan oleh Adam Smith. Yaitu, permintaan barang dan jasa publik akan terpenuhi dengan sendirinya ketika manusia berfokus memenuhi kepentingan pribadinya.
Masalahnya, seseorang kerap tidak tahu apakah ia sudah cukup atau belum sejahtera. Ini karena sulitnya menakar kapan seseorang harus berhenti mengakumulasi kekayaan. Akibatnya, ia cemas dan terus mencari harta lagi dan tentu saja mencari pengakuan dari orang lain bahwa ia telah sejahtera.
Pola pikir tersebut berpotensi menjadi awal mula dari sebuah siklus hidup yang terus berulang: mengumpulkan harta kekayaan sebanyak banyaknya, membandingkannya dengan orang lain, melakukan flexing untuk mendapatkan pengakuan, tidak merasa puas akan kondisi hidupnya, kembali mengumpulkan harta kekayaan, dan berulang.
Tak hanya itu, hal ini juga berpotensi membuat orang untuk bertindak impulsif, termasuk melakukan hal-hal yang melanggar hukum demi memanjakan ego dan hasrat tersebut. Masih lekat di benak kita influencer media sosial Indra Kenz, misalnya, yang terjerat kasus investasi bodong aplikasi perdagangan ilegal, Binomo.
Lalu, hidup yang “sejahtera” itu seperti apa?
Sayangnya, pada tataran akademis saja, terminologi kesejahteraan, khususnya kesejahteraan finansial (financial well-being), tidak memiliki definisi yang baku. Kalaupun ada, pemahaman mengenai kesejahteraan finansial hanya sebatas pemahaman umum saja.
Secara umum, kesejahteraan finansial merupakan kondisi ketika seseorang mampu memenuhi segala kebutuhannya, dan memilih gaya hidupnya tanpa berurusan dengan utang.
Dalam pemahaman ini, saya melihat ada masalah mengenai tolak ukur kesejahteraan.
Misalnya, apa yang dimaksud dengan mampu memenuhi segala kebutuhannya? Bagaimana mendefinisikan kebutuhan, dan apakah keinginan masuk sebagai kebutuhan? Kebutuhan yang mana? Apakah kebutuhan tersebut adalah secara psikologis atau kebutuhan secara sosiologis untuk mendapat pengakuan dari lingkungan?
Baca Juga: Bicara Soal Consent: Niatnya Flexing Foto, Ujungnya Jadi Pelaku KBGO
Memang, sudah ada usaha untuk memberikan ukuran kesejahteraan finansial, misalkan saja skala yang dikembangkan oleh Consumer Financial Protection Bureau(CFPB), badan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang bertugas melindungi konsumen sektor finansial. Skala CFPB ini terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai perasaan subjektif seseorang tentang kesejahteraan finansialnya. Pertanyaannya mencakup berbagai topik seperti keamanan finansial, manajemen keuangan, dan kebebasan finansial.
Atau, ada pula indeks kesehatan ekonomi yang dikembangkan oleh Center for Financial Services Innovation, lembaga penelitian nonprofit asal Swiss. Indeks CFSI ini mengukur kesehatan keuangan individu dalam delapan dimensi. Tujuannya adalah memberikan gambaran komprehensif tentang kesejahteraan finansial seseorang.
Tanpa adanya tolak ukur yang jelas, individu berpotensi terus menumpuk kekayaan dan mencari validasi lewat pandangan orang lain, misalnya flexing lewat media sosial, dan terjebak pada pengeluaran berlebih atau cara-cara ilegal untuk menambah cuan.
Pentingnya literasi keuangan
Tapi, pemecahan masalah tolak ukur ini pun belum tentu menjamin bahwa tren flexing kekayaan akan lenyap begitu saja. Sebab, jika merujuk pada filsuf dan pemikir politik asal Inggris, Thomas Hobbes, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tak pernah puas.
Walau begitu, ukuran kesejahteraan setidaknya dapat membantu kita agar tak tersesat di dunia yang cepat berubah. Apalagi, paparan yang terus menerus terhadap unggahan flexing bisa membuat seseorang terjerumus dalam perilaku konsumtif.
Agar terhindar dari persepsi yang terdistorsi terkait kesejahteraan, kita harus meningkatkan level literasi keuangan kita.
Pertama, literasi keuangan kuat kaitannya dengan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan untuk mengelola keuangan seseorang.
Pemahaman terkait konsep dasar keuangan, seperti investasi, pentingnya menabung, hingga analisis risiko, tentu dapat memudahkan seseorang dalam membuat keputusan finansial yang bijak secara rasional, serta berdasarkan kondisi keuangan dan kebutuhan masa depan – bukan secara impulsif atau didorong media sosial.
Dengan demikian, seseorang tidak akan mudah terbuai oleh tren pamer harta di media sosial.
Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Global Financial Literacy Excellence Centre pada Maret 2023, Annamaria Lusardi, profesor bidang ekonomi dan akuntansi di George Washington University School of Business (GWSB) di AS mengatakan bahwa:
Financial knowledge not only enables us to cope with crises but, in a fast-changing world, it allows us to better plan for tomorrow.
Pengetahuan finansial tidak hanya memungkinkan kita untuk mengatasi krisis, tetapi di dunia yang cepat berubah ini, juga memungkinkan kita untuk merencanakan hari esok yang lebih baik.
Kedua, literasi keuangan dapat menjadi fondasi kita untuk menentukan bagaimana kita bersikap terhadap fenomena di sekitar kita.
Seseorang yang memiliki tingkat literasi keuangan yang baik dapat menghindari jebakan finansial. Misalnya, seseorang yang tidak memahami risiko investasi atau terlalu fokus pada tampilan glamor dapat terjebak pada penipuan hanya karena ingin membangun citra diri di media sosial.
Dengan pemahaman yang komprehensif mengenai tata kelola harta kekayaan melalui literasi keuangan, kita niscaya akan menghindari flexing beserta gaya hidup foya-foya yang tak mendatangkan keuntungan apapun.
Bagaimanapun juga, flexing tanpa diimbangi oleh kesadaran dan level literasi keuangan tertentu hanya akan membawa kita pada kecemasan dan kebangkrutan belaka
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.