perempuan Kartini

Kampanye Digital Perempuan Muda Melesat Jauh, Internet Dipakai untuk Social Movement

Dulu perempuan tak boleh beropini, perempuan hanya boleh menyatakan pendapatnya di ruang-ruang tersembunyi. Bandingkan bagaimana banyak perempuan yang kini menggunakan media untuk kampanye, jauh melesat dibandingkan masa Kartini

“Kami anak-anak perempuan tidak boleh mempunyai pendapat, kami harus menerima dan menyetujui serta mengamini semua yang dianggap baik oleh orang lain.”

Kira-kira begitulah bunyi kutipan yang diambil dari surat-surat R. A Kartini yang diterbitkan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. 

Dalam kutipan tersebut diperlihatkan bahwa perempuan tidak pernah boleh berpendapat dan hanya boleh mengiyakan pendapat orang lain. Pada masa Kartini hidup, perempuan tidak boleh beropini dan menyuarakan pendapatnya. Hal itu dianggap haram, oleh sebab itulah Kartini muda dulu mendapatkan julukan “Kuda Kore” atau kuda liar, sebab Kartini muda adalah orang yang lantang dalam menyerukan pendapatnya. 

Meski hidup sebagai bagian dari keluarga priyayi dan perempuan, ia mendobrak banyak aturan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Satu hal yang diinginkan Kartini, ia ingin perempuan bisa menyuarakan pendapatnya dan mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki, sebab sejatinya laki-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia.

Baca juga: Feminis Seperti Apakah Saya? Berjuang Meneruskan Cita-Cita Kartini

Perjuangan Kartini selama bertahun-tahun tersebut, tentulah membuahkan hasil, sebab jika kita lihat sekarang, perempuan sudah boleh mengenyam pendidikan. Persamaan hak yang diinginkan oleh Kartini berhasil didapatkan. Namun apakah itu artinya perempuan sudah sepenuhnya keluar dari ruang penindasan dan patriarki?

Tidak. Jawabannya tidak. Perempuan masih memiliki stigma di masyarakat sebagai makhluk lemah yang harus manut pada laki-laki. Bahkan ada peribahasa Sunda yang berbunyi, “Awewe teh dulang tinande” yang artinya perempuan harus selalu manut dan menerima pendapat suaminya. Kita belum sepenuhnya lepas dari penindasan dan patriarki.

Media Sosial sebagai Penyampai Aspirasi Perempuan

Meski begitu, di era teknologi ini, kesempatan perempuan untuk speak up atau berpendapat semakin banyak, ada ruang yang bisa digunakan oleh perempuan untuk menyampaikan aspirasinya. Salah satu media yang bisa digunakan oleh perempuan dalam penyampaian opini adalah media sosial seperti twitter, tiktok, instagram, maupun facebook. 

Dengan menggunakan media sosial yang memiliki jangkauan luas perempuan bisa menyampaikan opininya dengan lebih lantang, entah mengenai ketidak adilan yang diterimanya, maupun memberikan edukasi terhadap masyarakat.

Penggunaan sosial media sebagai media penyampai aspirasi perempuan buktinya sangat ampuh untuk mendukung adanya kesetaraan gender. Dengan menggunakan sosial media yang memiliki jangkauan publik yang luas, suatu fenomena bisa viral dengan mudah. Misalnya pada kasus pelecehan seksual yang diterima oleh seorang perempuan di Bogor. Video ketika seorang perempuan di catcalling oleh beberapa laki-laki viral di twitter dan membuat kasus tersebut cepat ditangani oleh kepolisian. 

Baca juga: Yuk, Perjuangkan Media Sosial untuk Ruang Aman Anak dan Perempuan

Selain itu dukungan dari sesama perempuan dan orang lain di media sosial juga terus berdatangan yang membuat banyak orang terinspirasi dan tidak takut untuk bersuara ketika mendapatkan perlakuan yang tidak adil.

Hal ini tentu saja merupakan hal yang baik bagi perempuan karena dengan seiringnya perkembangan teknologi, perempuan kini memiliki ruang aspirasi untuk menyampaikan pendapat yang dulu, ketika zaman Kartini tidak bisa didapatkan. Hal ini menguatkan bahwa perempuan memiliki hak untuk mengutarakan pendapat.

Melanjutkan Perjuangan Kartini di Era Teknologi

Aspirasi yang bisa dibuat oleh perempuan bukan hanya dalam bentuk cuitan atau postingan di sosial media, namun ada media lain yang bisa dijadikan sebagai media untuk melanjutkan perjuangan Kartini di era teknologi ini, beberapa diantaranya melalui iklan dan film.

Kemajuan lain ditandai dengan adanya perubahan pada iklan. Iklan merupakan bentuk komunikasi massa yang bertujuan untuk mempromosikan suatu produk, ide, maupun layanan. Salah satu iklan yang terkenal dengan pesan kesetaraan gender adalah iklan pembalut versi Andra Asmasoebrata, Esther J. Jusuf, dan Irene K. Karisma yang menunjukkan bahwa perempuan dapat berprestasi di kegiatan yang biasanya didominasi oleh laki-laki.

Selain iklan, ada pula film. Film yang selama ini merupakan media yang paling ampuh dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat, sekarang dipenuhi oleh film-film yang mengangkat mengenai feminisme dan isu mengenai perempuan lainnya seperti pelecehan seksual, resistensi perempuan terhadap patriarki, dan isu kesetaraan gender. Beberapa film yang mengangkat isu feminisme diantaranya adalah Penyalin Cahaya, Like & Share, dan Yuni. Dua film terakhir yang disebutkan bahkan ditulis juga oleh perempuan, sehingga isu yang ingin diangkat masih relevan.

Baca juga: Pentingnya Film ‘Like & Share’: Bagaimana Remaja Perempuan Melawan KBGO

Perjuangan Kartini untuk perempuan bisa dilanjutkan melalui berbagai cara di era perkembangan teknologi saat ini, yakni melalui karya yang dipublikasikan di media massa. Karya-karya yang memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu kesetaraan gender kepada khalayak luas.

Perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya sebagai manusia dan memiliki kesempatan yang sama seperti laki-laki belum berakhir. Oleh sebab itulah, sebagai perempuan yang melek dengan teknologi, perempuan cerdas yang memiliki value harus bisa bersuara melalui karya sehingga suatu saat nanti, perempuan bisa mendapatkan haknya sebagai manusia tanpa ada stigma.

Sebab seperti yang dikatakan oleh Kartini dalam suratnya, emansipasi bukan sekadar persamaan derajat, namun juga pembuktian diri bahwa kita sebagai manusia memiliki tempatnya sendiri yang dipantaskan.

“Banyak emansipasi wanita bukanlah untuk persamaan derajat, emansipasi adalah pembuktian diri yang seimbang antara raga yang tangguh, namun hati senantiasa patuh. Emansipasi ada penerimaan. Penerimaan diri bahwa setiap tempat ada empu yang dikodratkan dan dipantaskan.” -R. A. Kartini 

Fannia Yulia Rahmah

Sedang berkuliah di Universitas Bina Nusantara jurusan Ilmu Komunikasi semester 4. Saya senang menjelajah dunia dengan sosial media.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!