Pakar Bicara: Istilah ‘Polycule’ dalam Hubungan Poliamori

Survei YouGov tahun 2020 mencatat, 43% generasi milenial sekarang punya kecenderungan hubungan ideal mereka bersifat non-monogami. Ini lebih mencerminkan pergeseran terkait norma-norma hubungan, ketimbangan penyimpangan seksual.

Setelah kolapsnya bursa mata uang kripto FTX pada akhir tahun lalu, media menyoroti kehidupan pribadi pendirinya. Yakni Sam Bankman-Fried, beserta lingkaran terdekatnya.

Ternyata Bankman-Fried, kemudian pacarnya yang putus-nyambung bernama Caroline Ellison, yang menjabat sebagai CEO anak perusahaan FTX, Alameda. Ada pula beberapa orang lain di lingkar perusahaan tersebut sempat berkecimpung dalam hubungan poliamori. Poliamori adalah salah satu bentuk hubungan nonmonogami yang bersifat konsensual. Artinya, dalam relasi semacam ini, para pasangan mencari berbagai orang berbeda untuk menjalin hubungan romantis atau seksual.

Surat kabar Inggris, The Guardian mencatat menyebut banyak orang di lingkar dalam kekaisaran kripto tersebut, yang berbagi apartemen mewah di Bahama, diperkirakan berada dalam “polycule”. Ini berarti suatu jaringan relasi romantis yang saling berhubungan. Menurut media Coindesk, “Kesepuluh orang itu sedang, atau pernah, berpasangan dalam hubungan romantis dengan satu sama lain.”

Dalam sebuah unggahan tahun 2020 di blog Tumblr miliknya, Ellison merefleksikan pengalamannya menjelajahi poliamori:

“Ketika saya…mulai terjun pertama kali ke dalam poliamori, saya menganggapnya sebagai terobosan radikal dari masa lalu saya yang cenderung tradisional. Namun, sejujurnya, saya memutuskan bahwa satu-satunya gaya poli yang dapat saya terima itu wujudnya semacam ‘harem kekaisaran Cina’…bukan omong kosong selama ini yang hubungannya biasanya bersifat nonhierarkis. Setiap orang harusnya memiliki peringkat terkait pasangan mereka, orang-orang harus tahu di mana mereka berada dalam peringkat tersebut, dan harus ada perebutan kekuasaan secara ganas untuk menaiki peringkat tersebut.”

Sebagai seorang peneliti yang mempelajari media sosial, kencan daring, dan poliamori, saya khawatir bahwa ungkapan Ellison – dan beragam laporan berita yang meliputnya – dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang hubungan poliamori dan polycule. Sehingga, makin melanggengkan stigma terkait gaya hubungan nontradisional.

Serba-serbi Hubungan Polycule

Poliamori – sering disingkat menjadi “poli” – berfokus pada hubungan dan didasarkan pada persetujuan (bersifat konsensual). Semua orang yang terlibat mengetahui pengaturan hubungan mereka seperti apa. Relasi ini pun tidak melulu tentang seks.

Jaringan-jaringan hubungan ini dikenal sebagai polycule atau “konstelasi”, dan jaringannya bisa kompleks dan saling terhubung. Kata polycule merupakan perpaduan dari “poliamori” dan “molekul”. Keduanya ini, mencerminkan konfigurasi hubungannya yang sering kali menyerupai struktur kimiawi molekul.

Dalam polycule yang hierarkis, yang dirujuk Ellison dalam unggahan blognya, ada hubungan pusat yang biasanya disebut sebagai hubungan “primer”. Orang lain di luar hubungan pusat sering disebut sebagai pasangan “sekunder” atau “tersier”.

Ada keberagaman pandangan tentang bagaimana status seseorang dapat beroperasi dalam struktur yang hierarkis. Misalnya, panduan dari situs informasi dan pendidikan seksualitas, Scarleteen, mengatakan bahwa “Pasangan ‘sekunder’ tak serta merta berarti mereka kurang penting. Tapi, bisa jadi merupakan bagian yang lebih kecil dari kehidupan sehari-hari seseorang.

Baca Juga: Melihat Keberagaman Seksualitas dan Identitas Gender secara Humanis

Menulis untuk situs web Polyamory Today, Rachael Hope menggambarkan hubungan poli hierarkis sebagai “Satu Primer Plus”. Artinya, “Pasangan tidak setara antara satu sama lain terkait kuasa dalam hubungan, serta dalam hal-hal seperti interkoneksi dan intensitas hubungan.”

Di sisi lain, hubungan yang non-hierarkis menolak sistem berjenjang. Dalam konfigurasi hubungan seperti ini, pasangan tidak diberi peringkat melalui istilah seperti primer atau sekunder. Hal ini juga berarti bahwa tidak ada satu orang pun yang memiliki prioritas atau hak istimewa yang lebih besar, atau hak veto atas pasangan lainnya.

Hierarki Tidak Berarti Penundukan

Perdebatan tentang hierarki banyak terjadi di kalangan lingkaran poli dan sering kali memunculkan pendapat-pendapat yang keukeuh – seperti yang tercermin dalam blog milik Ellison.

Meskipun Ellison melihat gaya hierarkis lebih unggul, tidak ada bukti bahwa satu gaya poli lebih baik dari yang lain dalam hal kepuasan atau rasa aman dalam hubungan. Saya berpendapat bahwa semua gaya dapat diterima selama semua orang yang terlibat menyetujui pengaturannya.

Gaya hierarkis dapat memperjelas ekspektasi mengenai peran dalam sebuah polycule. Namun, kalaupun Ellison sedang bercanda atau menyindir, saya pikir penting untuk dicatat bahwa “perebutan kekuasaan secara ganas untuk menaiki peringkat” yang dia serukan itu bertentangan dengan etos poliamori. Blog bernama Find Poly menyatakan bahwa mengadvokasi tanpa berkompetisi adalah sebuah keterampilan penting dalam hubungan poli, baik itu hierarkis maupun nonhierarkis.

Baca Juga: Feminisme Eksistensialis Perjuangkan Seksualitas Perempuan

Lebih jauh lagi, bagi mereka yang tidak familier dengan poliamori, unggahan Ellison dapat disalahartikan untuk kemudian mencampuradukkan poliamori kontemporer dengan bentuk-bentuk nonmonogami yang tidak konsensual. Dengan mengangkat Harem Kekaisaran Cina sebagai model, Ellison mengungkit warisan masyarakat patriarkis, ketika perempuan berperan sebagai istri dan selir.

Mengapa Polycule Itu Relevan

Studi-studi terkini menunjukkan bahwa hubungan nonmonogami yang konsensual semakin menjadi hal yang umum, terutama di kalangan warga Amerika yang lebih muda. Menurut survei YouGov pada tahun 2020, 43% generasi milenial “cenderung mungkin mengatakan bahwa hubungan ideal mereka bersifat nonmonogami.”

Karena alasan ini, unggahan-unggahan Ellison lebih mencerminkan pergeseran terkait norma-norma hubungan, ketimbangan penyimpangan seksual.

Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini dari bahasa Inggris

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Riki Thompson

Associate Professor of Digital Rhetoric and Writing Studies, University of Washington
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!