Aku menemukan ada 3 konstruksi utama mengapa—secara spesifik—perempuan sering minta maaf secara berlebihan.
Beberapa kali, aku menemukan perempuan di sekitarku meminta maaf atas unggahannya sendiri. Minta maaf karena hidungnya yang terlihat besar, posenya yang tidak menarik, atau mengunggah lebih dari satu posting-an dalam sehari. Padahal, mereka tidak merugikan siapa pun dengan melakukan itu. Minta maaf untuk apa dan siapa?
Mungkin ini juga menjadi refleksi diri bahwa banyak hal tidak salah yang kulakukan, tetapi minta maaf karena rasa takut membuat orang lain tidak nyaman.
Rasa takut ini rasanya berbeda dari laki-laki di sekitarku–yang tentunya bias dan subjektif, bisa saja berbeda dari pengalamanmu yang membaca ini. Tentu aku tidak dapat menggeneralisasi bahwa semua perempuan berperilaku demikian juga. Perilaku ini dipengaruhi berbagai faktor, seperti kelas, budaya, tingkat pendidikan, atau sebagainya.
Atas pengalaman tersebut, aku menyempatkan diri untuk mencari soal ‘why do women apologize a lot?‘ dan menemukan bahwa–Wah!–banyak juga tulisan yang membahas ini dari segi konstruksi gender. Ternyata, rasa ini juga dialami tidak hanya oleh diriku dan mutual-ku di media sosial, tetapi juga orang luar negeri sekalipun.
Mungkin terlihatnya sepele, tetapi kebiasaan berujar spontan, “Maaf,” ini juga dapat berpengaruh kepada kepercayaan diri seseorang. Ini yang disebut oleh seorang sosiolog, Maja Jovanovic, sebagai ‘confidence killers‘. Mengucapkan ‘maaf’ secara konstan pun dipercayai dapat bikin kita tidak dihargai, tidak dihiraukan, atau bahkan membuka ruang untuk orang lain memanipulasi kita. Tidak bagus, kan, jika dilanjutkan?
Baca Juga: Mengenalkan Konstruksi Gender pada Anak
Apakah kamu salah satunya?
Atau apakah kamu tidak pernah sadar bahwa kamu salah satunya? The News pernah menjabarkan apa saja tanda-tanda dari orang dengan I’m Sorry Syndrome:
- Minta maaf terus-menerus walau kejadian sudah lama lewat.
- Minta maaf terus-menerus walau sudah dimaafkan secara verbal.
- Minta maaf walau tidak bersalah, hanya cemas membuat orang lain tidak nyaman.
- Minta maaf karena membutuhkan bantuan orang lain.
- Minta maaf atas hal yang di luar kontrol, seperti perilaku orang lain.
Dari berbagai tulisan yang ditemukan, aku menilai bahwa tumbuh kembang perempuan di tengah ajaran bagaimana mereka seharusnya berlaku di depan orang lain berpengaruh besar atas perilaku ini. Tidak hanya oleh orang tua, tetapi ajaran soal konstruksi ini juga berlanjut di tengah mendewasa hingga saat memutuskan untuk berkeluarga kembali.
Ini adalah 3 konstruksi gender yang berpengaruh dan menjadi faktor mengapa perempuan (sering kali) minta maaf secara berlebihan.
1. Konstruksi untuk bersikap feminin
Jika membaca kalimat imperatif, “Hus, anak perempuan nggak boleh begitu!” kejadian apa yang muncul di pikiranmu? Kalau aku, perempuan itu baru saja bangun kesiangan, duduk tidak rapi, berbicara tegas, asertif, melawan omongan laki-laki, atau menolak tawaran orang lain. Tentu konstruksi gender feminin di sekitar kita akan berbeda. Namun, inti dari polanya sama.
Di sistem sosial patriarki, perempuan dipasangkan dengan stereotip emosional, pasif, dan kooperatif. Berbanding terbalik dengan laki-laki yang dideskripsikan rasional, aktif, dan kompetitif. Perempuan sering kali dilarang untuk memimpin, menyinggung, berbicara dengan tegas, bahkan tampil percaya diri atau sombong.
2.Konstruksi untuk merawat rumah dan keluarganya
Kepala keluarga erat kaitannya dengan lelaki. Kenyataannya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pada 2021 terdapat sebanyak 12,72% kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan. Perempuan yang bekerja merawat rumah atau yang kerap disebut ibu rumah tangga (IRT) juga sering kali dianggap tidak benar-benar bekerja. Terlebih lagi, negara sempat menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang dinilai menjadi upaya domestifikasi perempuan. Lagian, aneh sekali negara ingin mengurus sampai ke rumah tangga rakyatnya.
Di tengah sistem sosial patriarki, perempuan dirugikan kembali dengan kapitalisme yang membuat ketimpangan kuasa antara pihak yang menghasilkan uang dan yang tidak. Akibatnya, pihak yang tidak ‘bekerja’ menjadi pihak yang inferior. Pandangan ini tidak hanya merugikan perempuan secara spesifik, tetapi juga laki-laki yang merasa perlu untuk berkompetisi secara finansial dengan pasangannya.
Selain itu, jika kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga, perempuan diminta untuk tidak melaporkannya. Istri harus menjaga aib keluarga atau suaminya, katanya. Sampai kapan istri harus menanggung segala kerugian yang dialaminya sendiri? Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering kali berujung restorative justice karena undang-undang yang mengaturnya belum berjalan dengan maksimal dan aparat penegak hukum masih bias gender.
3.Konstruksi untuk menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpanya
Tidak mudah melaporkan kekerasan seksual yang dialami untuk mendapatkan keadilan hukum. Masyarakat di sekitar kita masih melanggengkan budaya menyalahkan korban (victim blaming).
Budaya victim blaming meliputi penerimaan mitos pemerkosaan yang ternyata, walau berbagai riset sudah membuktikan fakta, beberapa orang emoh untuk menerima kenyataan.
Adanya suatu anggapan bahwa penyintas melebih-lebihkan apa yang dialaminya, menikmati karena tidak berusaha kabur, dan juga bersalah karena ‘memancing’ lewat pakaian atau perilaku. Lagi-lagi, yang ditunjuk sebagai dalang kejadian itu terjadi adalah perempuan.
Dapat kita lihat dari berbagai faktor di atas, perempuan begitu ditekan oleh masyarakat untuk menjadi inferior, menjadi warga kelas dua di bawah laki-laki. Maka dari itu, tidak dapat dimungkiri bahwa adanya perasaan cemas tidak diterima oleh orang lain menghantui perempuan bahkan saat tidak berbuat salah sekalipun.
Perempuan bisa mencoba untuk keluar dari konstruksi ini dengan melewati tahapan dasar yang penting: menyadari pola perilaku tersebut. Ketahui bahwa apa yang selama ini diajarkan bisa saja salah dan dapat berubah jika ada kehendak dari dalam diri.
Konstruksi bukanlah kodrat, ia bisa diubah seiring waktu. Walau begitu, kita yang sudah sejak kecil diajari demikian akan kesulitan karena telah mengalami internalisasi yang berlebihan. Namun, setidaknya kita bisa mencoba untuk memutus rantai itu dalam diri dan sebelum berlanjut ke generasi selanjutnya.
Salah satu yang aku coba terapkan adalah dengan perlahan mengubah rasa bersalah itu jadi rasa terima kasih. Misalnya, jika ditunggui oleh orang lain, kita dapat mengucapkan, “Terima kasih sudah menunggu!” alih-alih, “Maaf membuatmu menunggu.”
Lainnya, jika tidak punya kontrol atas tindakan orang lain, kita tidak perlu merepresentasikan mereka untuk minta maaf.
Yang paling sederhana adalah dengan tidak minta maaf karena menjadi diri sendiri secara utuh. Be unapologetic is fun. Kamu mau mulai dari mana?