Eksploitase Seksual Anak di Sosial Media

Luviana – www.Konde.co

Jakarta, Konde.co –  Pada seminggu terakhir
ini, Indonesia dikejutkan dengan terungkapnya jaringan eksploitasi seksual
terhadap anak melalui facebook group “Official Loly Candy’s 18+” yang
beranggotaan 7000 orang yang berasal dari berbagai negara. 

Kelompok ini kemudian melibatkan anak-anak sebagai  korban
dalam aksi mereka, bahkan anak-anak ini merupakan kerabat dekat dengan
pelaku. Dua dari empat  pelaku yang tertangkap adalah anak dan pernah
mengalami kekerasan seksual  sebelumnya.

Ini menggambarkan bagaimana kejahatan seksual itu berantai
terjadi. Semua situasi ini akan memicu  anak-anak untuk dilacurkan dan
menjadi korban trafiking. Adanya kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual
terhadap anak di Indonesia semakin memprihatinkan. 

Indonesia Peringkat 3 di Asia

Data sejumlah organisasi anak yang tergabung dalam Indonesia ACT
menyebutkan bahwa saat ini Indonesia menjadi peringkat ke 3 di Asia Tenggara
terkait jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Anak merupakan manusia
yang sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik, mental maupun intelektualnya.
Pada masa perkembangan tersebut setiap anak sedang berusaha mengenal dan
mempelajari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat serta berusaha meyakininya
sebagai bagian dari dirinya, dalam masa perkembangan ini senyuman dan keceriaan
anak sangat berperan penting.

Tapi nyatanya, di masa
pertumbuhan anak tersebut, kondisi anak-anak tersebut sangat rentan untuk
disalah gunakan oleh orang dewasa. Salah satu kasus terbesar penyalahgunaan
terhadap anak adalah eksploitasi seksual. 

“Pada tahun 2016,
sekitar 50% kasus perdagangan anak yang ditangani oleh Indonesia ACT merupakan
untuk tujuan eksploitasi seksual,” ujar Yani Mulyani, Presidium Indonesia ACT.

Mengusut Pelaku
Eksploitase Seksual Anak

Merespon
peristiwa/kasus terungkapnya jaringan eksploitasi seksual terhadap anak melalui
facebook group “Official Loly Candy’s 18+”, Indonesia ACT berpendapat 
selain melakukan upaya hukum untuk menjerat para pelaku, hal penting yang harus
dilakukan adalah  melakukan pemulihan terhadap anak-anak yang menjadi
korban dan membayar restitusi/kompensasi untuk menjamin keberlanjutan pemulihan
untuk jangka panjang, mengingat seluruh korbannya masih berusia anak.

“Sebagai bentuk
kepedulian Indonesia Act dalam upaya perlindungan anak, maka sikap kami
terhadap kasus terbongkarnya jaringan online eksploitasi seksual terhadap anak
ini antaralain meminta dan mendesak kepada aparat penegak hukum untuk mengusut
secara tuntas tidak hanya admin tapi juga anggota facebook group yang
secara sengaja telah menyebarkan image explisit anak dan saling share informasi
tentang eksploitasi seksual yang mereka lakukan terhadap anak.”

Indonesia telah
meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak,
Prostitusi Anak dan Pornography Anak. Secara tertulis, negara memiliki
kewajiban yang termaktub di dalam pasal 3(c) bahwa negara harus menjamin penegakan
hukum bagi orang atau kelompok baik di dalam negeri atau lintas negara yang
memproduksi, mendistribusikan, menyebarluaskan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, menjual, atau memiliki hal-hal untuk tujuan pornografi anak.

Indonesia Act juga meminta
dan mendesak kepada aparat penegak hukum untuk mempidana pelaku sesuai dengan
perundang-undangan yang telah ada di Indonesia yaitu UU Pornography No. 44/2008
pasal 8, 12 dan 34 dan 38; UU Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014 pasal 76C,
76D, 76E, 76F, 82 dan 88; KUHP pasal 292 dan 296, dan UU ITE No. 11 tahun 2008
pasal 27 dan 45.

“Selain itu kami mendesak
kepada pemerintah untuk melakukan proses rehabilitasi terhadap korban
eksploitasi seksual, mendesak kepada DPR-RI untuk segera mempercepat proses
pembahasan dan pengesahan UU Penghapusan Kekerasan seksual yang menjamin
perlindungan anak yang menjadi korban,” kata Presidium Indonesia ACT lainnya, Syamsul.

Selanjutnya mereka juga
mendesak pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang menjamin pemenuhan hak
korban, penyediaan akses layanan serta menjamin ketidak berulangan (korban
menjadi korban kembali) melalui kewajiban negara dalam bentuk komitmen hukum
dan kebijakan, program serta dukungan anggaran untuk penyelenggaraannya,
mengingat sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas terkait
dengan proses pemulihan bagi korban kekerasan seksual dan sistem peradilan
pidana khusus (untuk mengadili pelaku).

Indonesia Against Child
Trafficking (Indonesia ACT) adalah jaringan nasional yang memfokuskan diri pada
isu perlindungan anak khususnya pencegahan dan penanganan kasus perdagangan
anak melalui partisipasi masyarakat dan anak dan advokasi kebijakan di tingkat
lokal, nasional dan regional. Saat ini Indonesia ACT beranggotakan 16 organisasi
di 10 propinsi di Indonesia yaitu: CMC (Banda Aceh), KKSP (Medan), Yayasan Anak
dan Perempuan, Yayasan Kusuma Buana (Jakarta), Yayasan Kusuma Bongas
(Indramayu), Sari Solo (Solo), KJHAM (Semarang), Setara (Semarang). Samin
(Jogjakarta), Rifka Annisa (Jogjakarta), Kawan Kami (Surabaya), Bungkulan
(Bali), LBH Apik Pontianak (Pontianak), Rumah Perempuan (Kupang) dan Pancakarsa
(Mataram).

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!