Forum WPS High Level ASEAN di Yogyakarta, Bakal Bahas Isu Migrasi Hingga Perubahan Iklim

Forum Tingkat Tinggi Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women Peace and Security atau WPS High Level) ASEAN akan digelar di Yogyakarta pada 5-7 Juli 2023 mendatang. Ada enam agenda pembahasan isu-isu krusial di Asia Tenggara dalam forum tersebut. Yuk, simak!

Melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Pemerintah Indonesia akan menyelenggarakan Forum Tingkat Tinggi Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Forum yang juga dikenal sebagai Women Peace and Security (WPS) High Level tersebut rencananya bakal diadakan pada tanggal 5-7 Juli 2023. Tujuannya, meletakkan pondasi akuntabilitas dan mekanisme pada pelaksanaan Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security (RPA WPS), dengan memperkuat mekanisme monitoring dan evaluasi.

RPA atau Rencana Aksi Regional tersebut disahkan pada 5 Desember 2022 dalam masa Keketuaan Kamboja di ASEAN. Sejumlah anggota pun menyatakan komitmen politiknya untuk menurunkan RPA dalam bentuk kebijakan dan intervensi program di tingkat nasional.

Di sisi lain, jauh sebelum RPA itu disahkan, Indonesia dan Filipina sudah lebih dulu menjalankan Resolusi 1325 tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan. Ketegasan institusi kerjasama regional seperti ASEAN pun menjadi penting terkait komitmen terhadap inklusi perempuan dalam menghadapi berbagai ancaman.

Selain ancaman keamanan yang berhubungan dengan konflik kekerasan, kaitannya dengan ancaman-ancaman baru juga harus diperhatikan. Ancaman yang dimaksud antara lain perubahan iklim, ekstremisme kekerasan, migrasi, keamanan siber, krisis kemanusiaan seperti pandemi, dan kekerasan militerisme. Pasalnya, ancaman-ancaman tersebut berdampak pada keamanan dan kesejahteraan perempuan.

Forum Side Event dan Agenda yang Dibahas

Menyambut pentingnya acara WPS High Level atau Forum Tingkat Tinggi Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan, sejumlah masyarakat sipil di ASEAN akan menyelenggarakan forum side event pada tanggal 4-5 Juli 2023. Forum bertajuk ‘Building Resilient Communities: Applying an Intersectional Perspective in the Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security’ tersebut akan berlangsung di Grand Ambarukmo, Yogyakarta.

Forum side event pra-WPS High Level diselenggarakan oleh sejumlah organisasi seperti AMAN Indonesia, Migrant Care, The Working Group on Women and PCVE, Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP), Southeast Asia Women Peacebuilders, Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA), Asia Democracy Network (ADN), dan Southeast Asia Network of Freedom Expression (SAFENet). Forum ini juga didukung oleh Kedutaan Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ 2). Tujuannya adalah untuk menggali isu-isu krusial non-tradisional keamanan perempuan seperti yang akan dibahas pada forum WPS High Level nantinya.

Migrasi dan Krisis Kemanusiaan di Myanmar

Salah satu isu yang akan dibahas di forum side event adalah krisis kemanusiaan di Myanmar, yang berujung pada pelanggaran serius hak asasi perempuan. Krisis membuat perempuan jadi sasaran kekerasan, pelecehan seksual, dan pemaksaan terkait konflik. Kondisi tersebut membuat berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak ASEAN segera bertindak.

Di antaranya, ASEAN harus mengakui pelanggaran mencolok junta terhadap the Five-Point Consensus. Perlu juga ada kepastian bahwa setiap perjanjian di masa depan memasukkan komitmen yang terikat waktu dan terukur, untuk membebaskan perempuan yang ditahan secara sewenang-wenang dan meminta pertanggungjawaban pelaku.

ASEAN juga diminta menangani kebutuhan para pengungsi, menetapkan perlindungan pengungsi dan mekanisme rujukan seperti bantuan hukum, perawatan medis, dan dukungan psikososial. Serta  mendukung rehabilitasi, reparasi, dan keadilan transisi yang berpusat pada penyintas, termasuk akuntabilitas pasukan keamanan, pejabat negara, dan peradilan.

Baca juga: Kisah Korban Penyekapan di Myanmar: Perdagangan Orang Ada Di Sekitar Kita

Sejumlah organisasi yang menginisiasi side event ini pun melihat konteks migrasi sebagai fenomena kompleks yang berimplikasi pada hak-hak perempuan, perdamaian, dan keamanan. Oleh karena itu, dalam rilis pers yang beredar, mereka berharap ASEAN lebih memperhatikan tantangan terkait perlindungan, bantuan kemanusiaan, dan integrasi sosial bagi pengungsi sebagai kelompok rentan di negara-negara tujuan pengungsi seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Krisis di Myanmar memang telah memicu perpindahan besar-besaran penduduk, termasuk perempuan dan gadis, yang dipaksa mengungsi dari rumah mereka.

Kemudian ASEAN sebaiknya memperhatikan aktivitas kelompok ekstremis yang memanfaatkan faktor marginalisasi dan ketidakadilan, serta sejumlah kerentanan buruh migran perempuan seperti kondisi tidak setara, keterbatasan akses, dan kesepian. Pasalnya, kondisi-kondisi tersebut kerap mendorong pencarian spiritualitas, lalu kelompok-kelompok ekstremis akan masuk dengan menawarkan ‘solusi’ surga. 

Perempuan dan Anak dalam Terorisme

Persoalan ketiga yang dianggap penting oleh kelompok masyarakat sipil untuk diperhatikan ASEAN adalah pergeseran terorisme. Kini terorisme dapat terjadi ‘dari halaman belakang ke meja makan (from backyard to dining room)’.

Ini membuat peluang keterlibatan perempuan dan anak dalam aksi teror juga lebih besar. Apa lagi kehadiran media sosial sangat berperan dalam membuka ruang besar bagi perempuan terlibat dalam ruang-ruang indoktrinasi secara kuat, tanpa membuka identitasnya.

Masyarakat sipil yang terlibat dalam forum side event WPS High Level meminta ASEAN untuk mempertimbangkan keragaman pengalaman perempuan dalam pencegahan dan ekstremisme kekerasan. Dengan pendekatan gender, pengalaman biologis, sosial, dan spiritual perempuan dalam keterlibatannya dengan ekstremisme kekerasan akan membuka relasi ketimpangan gender, agensi perempuan, dan peran perempuan untuk perdamaian.

ASEAN pun baiknya mendorong institusionalisasi Rencana Aksi Regional ASEAN Pencegahan Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan (ASEAN PoA for PCRVE), dalam bentuk Rencana Aksi Nasional dan mengintegrasikan gender sensitivitas. Ini agar mereka dapat memperkuat penanganan terorisme lintas batas, termasuk menciptakan pertukaran pembelajaran terkait penanganan Foreign Terrorist Fighters (FTF). 

Perempuan Pembela HAM

Persoalan keempat adalah keamanan siber bagi perempuan pembela HAM (PPHAM). Perkembangan dan penggunaan teknologi digital telah memberikan peluang bagi pembela hak asasi manusia untuk mendorong berbagai isu HAM dan keadilan sosial. Di sisi lain, pesatnya kemajuan teknologi tersebut juga membuka berbagai bentuk serangan digital.

Pantauan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) pada tahun 2022 memperlihatkan bahwa serangan digital terhadap kelompok kritis mengalami peningkatan dari tahun 2021. Ini menunjukkan bahwa serangan digital di Indonesia merupakan serangan politik yang menyasar kelompok-kelompok kritis, terutama kepada pembela HAM.

Berdasarkan laporan penelitian berjudul ‘Kami Jadi Target, serangan terhadap PPHAM terjadi bukan hanya karena pendapat mereka, tetapi juga karena identitas mereka sebagai perempuan. Ruang daring membuka pintu bagi bentuk-bentuk kekerasan baru seperti pelecehan online, doxing, pengiriman konten seksual eksplisit, hingga ancaman pemerkosaan. Bukan hanya di Indonesia, hal itu juga terjadi di negara-negara lainnya di Asia Tenggara.

Itulah sebabnya, penting melakukan sejumlah langkah strategis seperti; 1) mendorong adanya mekanisme perlindungan secara holistik bagi PPHAM di ruang digital; dan 2) memastikan keterlibatan perempuan—khususnya—dan masyarakat sipil—umumnya—dalam perumusan kebijakan terkait ruang digital agar lebih berperspektif hak digital dan peka gender.

Perubahan Iklim

Isu perubahan iklim juga dianggap serius dan harus lebih diperhatikan di ASEAN. Pasalnya, perubahan iklim dapat menyebabkan konflik sumber daya yang intens, seperti persaingan atas air, tanah, dan sumber daya alam lainnya. Konflik semacam ini seringkali memicu ketegangan antara kelompok-kelompok yang bersaing, memperburuk konflik yang sudah ada, atau memicu konflik baru.

Menurut organisasi masyarakat sipil, acara WPS High Level perlu merespon interseksionalitas dan inklusi dalam pengalaman perempuan terhadap perubahan iklim tidak homogen, dan kerentanan mereka dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berhubungan seperti ras, etnisitas, kelas, dan usia.

Selain itu, diharapkan acara tersebut dapat membuat ASEAN memastikan keterlibatan perempuan dalam proses perumusan kebijakan. Juga mengidentifikasi dan mengatasi ketidaksetaraan gender dalam akses terhadap sumber daya dan manfaat dari upaya penanggulangan perubahan iklim, serta mempromosikan solusi yang responsif gender dalam adaptasi terhadap perubahan iklim. 

Persekusi Kelompok Rentan

Terakhir, perkembangan konservatisme dan bias pada tafsir agama menyebabkan sejumlah pelanggaran kebebasan berekspresi dan beragama. Sasaran utamanya yakni perempuan, anak perempuan, dan kelompok rentan seperti LGBTQ+. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut menjadi target serangan, persekusi, dan berbagai bentuk diskriminasi.

Kerangka WPS perlu memastikan bahwa korban diskriminasi, serangan, dan pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama mendapatkan dukungan penuh, komprehensif dan jangka panjang dari negara. Negara juga harus segera menghilangkan segala bentuk kebijakan yang berpotensi diskriminasi pada perempuan, anak perempuan, dan kelompok rentan seperti minoritas agama, masyarakat adat, minoritas gender, dan sebagainya.

Selain itu, negara harus menjalankan Deklarasi HAM secara utuh. Yang juga penting untuk dilakukan adalah memastikan peran tokoh agama yang memiliki pikiran terbuka dalam dialog-dialog, untuk mempromosikan tafsir progresif yang melindungi korban dan penyintas kekerasan berbasis gender.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!