Hak disabilitas

Kerap Dijadikan ‘Vote Getter’, Sudahkah Pemilu Memperhatikan Hak Disabilitas?

Orang dengan disabilitas sangat rentan hanya dijadikan 'voter getter' atau objek pendulang suara oleh para politikus, tetapi hak disabilitas dilupakan begitu saja setelah pemilu usai dan mereka terpilih.

Kesuksesan penyanyi Putri Ariani dalam mencapai panggung America’s Got Talent 2023 membuat remaja penyandang disabilitas ini menjadi perhatian luas publik, termasuk para pejabat politik di Indonesia.

Deretan menteri kabinet bergantian mengundang Putri ke kantor mereka masing-masing setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo lebih dulu mengundangnya ke Istana Negara.

Prestasi Putri tentu sangat layak mendapat apresiasi secara luas. Namun, respons yang dilakukan para pejabat politik juga patut diwaspadai, apalagi pada tahun politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini. Ini karena penyandang disabilitas sangat rentan hanya dijadikan voter getter atau objek pendulang suara oleh para politikus, tetapi kepentingannya dilupakan begitu saja setelah pemilu usai dan mereka terpilih.

Isu Disabilitas pada Musim Kampanye

Pada Pemilu 2014, organisasi penyandang disabilitas membuat kontrak politik dengan calon presiden melalui Piagam Suharso, dan baru direalisasikan oleh pemerintah pada 2016 dengan diterbitkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun, implementasi aturan ini juga perlu dievaluasi.

Pada Pemilu 2019, isu disabilitas kembali menjadi strategi untuk menarik massa. Ini cukup bisa dipahami, mengingat jumlah pemilih penyandang disabilitas mencapai 1.247.730 orang, dengan uraian tuna daksa 83.182, tuna netra 166.364, tuna rungu 249.546, tunagrahita 332.728, dan disabilitas lainnya 415.910.

Pada periode tersebut, jumlah pemilih disabilitas meningkat dengan diberikannya akses bagi penyandang disabilitas mental untuk mendapat hak suara. Awalnya, ini tampak menjadi satu langkah maju dalam upaya negara memberikan pemenuhan hak politik warganya. Kenyataannya, secara praktik, yang terjadi adalah adanya voter suppression bagi penyandang disabilitas mental alias penindasan terhadap pemilih  agar mereka tidak menggunakan hak pilih.

Mereka dianggap tidak mampu memilih dan tidak perlu diberikan hak pilih, sehingga muncul berbagai komentar dan meme yang bersifat diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas.

Dengan demikian, tidak salah jika publik patut mewaspadai jika antusiasme para tokoh politik terhadap Putri hanya strategi unjuk diri mereka untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar peduli pada para penyandang disabilitas. Intinya, ini semua, bisa jadi, hanya demi mendulang suara.

Akses Penyandang Disabilitas saat Pemilu

Jangankan pemenuhan program-program konkrit bagi para penyandang disabilitas, ketersediaan fasilitas dan akses bagi penyandang disabilitas dalam pemilu saja masih memprihatinkan dan belum ramah bagi mereka.

Sebuah riset menunjukkan bahwa penyandang disabilitas juga belum memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk mendapatkan hak-hak politiknya. Media yang digunakan untuk mensosialisasikan visi misi calon kepala daerah masih menggunakan media konvensional yang sulit, bahkan tidak dapat mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas.

Akses yang layak harusnya mencakup fasilitas yang memudahkan mereka dalam proses pemilu sesuai dengan kebutuhan masing-masing ragam disabilitas. Ini termasuk akses informasi, akses menuju lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ramah disabilitas, serta akomodasi yang layak bagi para penyandang disabilitas di lokasi TPS.

Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 memang sudah mengatur kriteria lokasi TPS yang mudah dijangkau, termasuk bagi penyandang disabilitas. Namun realitanya masih banyak TPS yang sulit dijangkau oleh para penyandang disabilitas.

Baca juga: Aktivis: Dear Pemerintah, Perjuangkan Anti Diskriminasi Pada Disabilitas dan LGBT di Sidang HAM Jenewa

Penyediaan akomodasi yang layak bagi para penyandang disabilitas juga perlu menjadi perhatian. Misalnya, apakah tinggi bilik suara dapat disesuaikan bagi penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda, apakah tersedia kertas suara braille bagi penyandang disabilitas netra, dan fasilitas lain yang sesuai dengan ragam disabilitas yang ada.

Meskipun dalam regulasi pemilu tidak ada ketentuan yang mendiskriminasi penyandang disabilitas, tidak ramahnya akses dan fasilitas untuk mereka menunjukkan suatu bentuk pengabaian terhadap kebutuhan krusial mereka.

Padahal, mereka punya hak politik yang sama dengan pemilih nondisabilitas. UU Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak politik. Lebih lanjut, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara eksplisit menyebutkan bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak politik yang sama.

Abainya para pembuat kebijakan dalam penyediaan fasilitas yang layak semakin memperkuat argumentasi bahwa kepedulian mereka terhadap penyandang disabilitas hanyalah untuk meraih suara semata.

Isu Disabilitas Setelah Pemilu Usai

Riset Pemilu 2008 membuktikan bahwa setelah pemilu usai, hanya setengah dari janji kampanye mereka kepada penyandang disabilitas yang terealisasi. Utamanya dalam aksesibilitas fasilitas umum seperti transportasi dan bangunan.

Selang dua tahun pascapemilu 2014 dan penandatanganan Piagam Suharso oleh Jokowi (yang saat itu sebagai calon presiden), komitmen tersebut dipertanyakan oleh kelompok penyandang disabilitas. Sebab, Jokowi dinilai tidak mampu mengakomodasi kuota 2% bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan. Juga ditolaknya usulan fasilitas potongan/keringanan biaya (konsesi) untuk akses pelayanan publik bagi penyandang disabilitas.

UU Penyandang Disabilitas pun cenderung bermasalah karena menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya.

Contohnya adalah yang dialami Romi Syofpa Ismael. Tahun 2018, ia lulus seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan nilai terbaik dari seluruh peserta. Namun, kelulusannya sempat dibatalkan oleh pemerintah Kabupaten Solok Selatan – sebelum akhirnya dipulihkan sebulan kemudian – karena ia memiliki disabilitas fisik dan harus menggunakan kursi roda.

What’s Next?

Banyak pekerjaan rumah yang perlu dikejar dan dievaluasi. Hal yang perlu dievaluasi, antara lain, penyesuaian regulasi di semua level, pemenuhan akses penyandang disabilitas terhadap fasilitas publik, perlindungan terhadap mereka dari segala bentuk diskriminasi dan, yang tidak kalah penting, jaminan hak politik yang setara.

Pemilu 2024 sudah di depan mata, dan untuk menjaring pemilih disabilitas, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadikan Putri Ariani sebagai ikon kampanye pemilu yang inklusif.

Langkah ini perlu diapresiasi dan diharapkan dapat berdampak positif terhadap partisipasi penyandang disabilitas dalam pesta demokrasi tahun depan. Namun, publik harus mengawal apakah inklusivitas itu akan benar-benar diterapkan dalam bentuk nyata, terutama setelah pemilu usai nanti.

Publik harus ikut memastikan semua program disabilitas yang belum dilaksanakan atau yang tidak sesuai harus segera diperbaiki. Jika janji politik tidak dapat terlaksana, maka terbukti kembali bahwa penyandang disabilitas hanya menjadi obyek untuk meraih suara.

Sudah saatnya para penyandang disabilitas tidak lagi menjadi objek atau komoditas politik. Hak mereka harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Peneliti BRIN

Yang terlibat dalam penulisan ini adalah Angga Sisca Rahardian, Andhika Ajie Baskoro, Isnenningtyas Yulianti, Mochammad Wahyu Ghani, Sri Sunarti Purwaningsih, Zainal Fatoni
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!