KDRT Perempuan Seniman: Konten Intim Disebar Mantan Suami, Niat Lapor Polisi Barang Bukti Hilang

Tak hanya mendapatkan KDRT dari sesama seniman mantan suaminya, Laksmi Shitaresmi, perempuan seniman seni rupa dan pertunjukan, juga diancam foto telanjangnya disebarkan. Kasusnya mandeg di kantor polisi.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual. 

Laksmi Shitaresmi adalah seorang perupa perempuan. Seni sudah mendarah daging dalam dirinya. 

Sejak kecil Laksmi suka corat-coret, membuat sketsa dan gambar. Laksmi Shitaresmi menggeluti seni rupa, patung, seni instalasi dan seni pertunjukan.

Perempuan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sudah terlibat dalam sejumlah pameran tunggal lukisan, patung dan performance art. Ia juga terlibat dalam pameran lukisan kelompok baik di dalam maupun luar negeri sejak 1999.

Tahun 1999 Laksmi menikah dengan A, seorang seniman, sesama perupa juga. Dari pernikahan tersebut, Laksmi dan A dikaruniai empat anak perempuan, yakni An, Ac, Hi dan Ar. 

Selama menikah, Laksmi menanggung sendiri semua kebutuhan hidup rumah tangga, lantaran A tidak memberikan nafkah untuk keluarga.

“Mama yang mencari nafkah sejak aku kecil dan ayah kandungku nggak pernah nyari nafkah. (Ayah) selalu pergi keluar entah kemana kalau ditanyain nggak mau menjawab, di-video-call juga nggak mau menjawab,” tutur Ac.

Pada satu kesempatan, A pernah memenangkan lomba lukis se-Asia Tenggara. Tapi anak-anak dan istrinya tidak ikut menikmati hadiah yang didapat. Yang terjadi setelah itu A justru sering pergi, seperti disampaikan Ac.

“(Ayah) sering pergi ke luar kota, entah ke mana,” ujarnya.

Laksmi harus bekerja keras seorang diri untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan sekolah anak-anaknya. Ia bahkan masih harus memberi jatah uang untuk A. Uang laki-laki, begitu Laksmi menyebutnya.

Baca Juga: No Viral, No Justice? Kasus di Depan Mata Revenge Porn di Pandeglang

Kalau Laksmi sedang tak punya uang, A mau memberi uang untuk keperluan sehari-hari, tapi pemberian itu dianggap sebagai utang. A mencatat semua uang yang diserahkan dan akan menagihnya saat Laksmi punya uang dengan alasan untuk membayar utang pada sejumlah teman. Namun ketika Laksmi mengecek pada W, seorang teman yang dicatut namanya, hal tersebut tidak benar.

“Di saat saya nggak punya uang, saya gantian dikasih sama mantan. Tapi dicatet, saya harus mengembalikan, itu dianggap utang. Misalkan saya butuh belanja harian tuh yang 100 atau 150 ribu. Itu dikasih, tapi dicatet. Nanti catatannya dikeluarin semua berapa juta saya harus mengembalikan padahal dia ikut makan,” ujar Laksmi kepada Konde.co, Sabtu (30/9/23).

Selingkuh di Depan Mata

Selama pernikahan yang berjalan hampir 20 tahun tersebut, A kemudian juga berselingkuh secara terang-terangan bahkan di depan anak-anaknya. A kerap membawa perempuan ke rumah dan diajak ke kamar. Laksmi sempat mencoba menutupi hal tersebut dari anak-anaknya. Meski pada akhirnya anak-anaknya tahu yang sebenarnya terjadi.

“Pernah kan itu Pak A bawa cewek gitu, terus aku tanya sama mama, ‘Itu siapa?’ Mama bilang, ‘Itu saudara.’ Terus aku tanya, ‘Saudara yang mana?’ Terus mama bilang, ‘Itu saudara jauh.’ Tapi aku nggak pernah lihat. Terus anehnya, itu cewek kenapa dibawa ke belakang, terus berdua di kamar sama Pak A. Dari situ nggak mungkin itu saudara jauh. Saudara jauh tidak seharusnya begitu,” papar Ac.

Selain penelantaran ekonomi dan kekerasan psikis berupa perselingkuhan, intimidasi dan ancaman, A juga melakukan kekerasan fisik. Biasanya dilakukan dengan melempari korban dengan barang-barang perabot rumah.

“(A) tidak pernah memukul langsung, tapi yang sering itu melempar kursi, meja. Karena sudah terbiasa dilemparin barang-barang gitu, saya selalu refleks. Tapi suatu ketika saya bisa keserempet. Waktu awal menikah, baru umur berapa hari saya pernah dilempar dan kena dengan aqua galon yang berisi hingga pecah. Sakitnya bukan main dan rasanya masih membekas di hati saya sampai saat ini,” tuturnya.

A juga sering melempari Laksmi dengan barang-barang yang ada di dekatnya saat marah.

“Dan seadanya misalnya di sampingnya ada gelas, piring, asbak, kayu, botol, kaleng, pokoknya apa aja yang di dekatnya akan diraih dan siap-siap dilemparkan. Dia tidak sakit, tapi saya yang sakit dan bekas-bekasnya itu masih ada sampai sekarang, bekas lukanya,” ujar Laksmi.

Tak tahan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan A, Laksmi dan anak-anaknya sempat lari dari rumah. 

Dalam ketakutan dan kecemasan, Laksmi mencari informasi di internet. Ia menemukan website Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan DIY (P2TPAKK) Rekso Dyah Utami (RDU). Laksmi dan anak-anaknya lalu mencari perlindungan ke RDU.

Baca Juga: Waspada KBGO, Ada Grup Obrolan Bikin Deepfake Porn via Formulir Daring

“Akhirnya saya lari, minggat dari rumah dengan anak-anak saya ke RDU. Jadi saya mikirnya, bagaimana saya harus keluar dari rumah, saya harus minggat, saya harus minta perlindungan,” paparnya.

Laksmi memilih minta pertolongan ke RDU dan bukan ke polisi masyarakat karena pernah punya pengalaman tak mengenakkan. Ia pernah minta tolong ke bhabinkamtibmas tapi hanya dimediasi. Ada kecenderungan keberpihakan terhadap kaum laki-laki. Laksmi juga pernah mengadu ke RT, Dukuh dan warga setempat, tapi sama saja.

Dengan didampingi RDU, Laksmi kemudian mengajukan gugatan cerai. Proses sidang cerai di pengadilan agama berlangsung cukup lama, sekitar 6 bulan hingga Laksmi merasa sangat capai. 

Akhirnya pada awal 2019 Pengadilan Agama mengabulkan gugatan cerainya.

Ancaman Sebarkan Foto Telanjang Paska Cerai

Dengan bercerai, Laksmi berharap bisa lepas dari KDRT yang dialaminya. Ia ingin melanjutkan hidupnya dengan anak-anaknya.

“Jadi setelah cerai itu saya pikir saya akan hidup tenang dengan ketiga putri saya yang waktu itu masih kecil-kecil,” ungkap Laksmi.

Namun yang terjadi justru muncul babak baru kekerasan yang dilakukan A.

A mengancam akan menyebarluaskan foto-foto telanjang Laksmi dan menghancurkan kariernya. Ia bahkan sempat mengancam akan membunuh. Ancaman itu direalisasikan A.

“Jadi status saya itukan janda, tapi sepertinya (dia) tidak terima. Terus dia ngancam dan dia bersumpah akan membuktikan ancamannya itu. Dan memang benar dibuktikan,” ucap Laksmi.

A pernah mempertontonkan konten intim Laksmi pada teman-teman mereka di lingkungan seni budaya, di lingkungan tetangga dan keluarga besar lewat handphone­-nya. Selain itu pelaku juga menyebarkan fitnah. Menurut Laksmi, tindakan pelaku ini juga didukung oleh anak pertama, An, yang kuliah di Fakultas Psikologi UGM.

Baca Juga: ‘No Viral, No Justice’: Viral Dulu di Media Sosial, Baru Korban Dapat Penanganan?

“Saya difitnah dengan luar biasa di luar sana. Bahwa saya waktu masih berumah tangga dengan ayah kandung mereka bertiga saya mempunyai pacar banyak. Saya sering keluar kota begitu lama dengan pacar-pacar saya dan tidak pernah mengurus mereka, anak-anak ini. Terus saya sering menginapkan cowok-cowok yang katanya pacar-pacar saya,” ujar Laksmi.

Fitnah semacam ini juga disampaikan pelaku kepada anak-anak mereka, seperti dituturkan si Bungsu.

“Dulu pas aku lagi mau ke belakang, lagi mau main sama ayah kandungku, Pak A, itu dikasih lihat postingan mama. Itu dibilangnya pacarnya mama. Terus aku nangis ke mama. (Ternyata) itu semuanya dibalik,” ujar Ar.

Tindakan pelaku menyebar konten intim nonkonsensual sekaligus fitnah terhadap korban berdampak panjang terhadap karier dan penghidupan Laksmi. Anggapan keluarga dan masyarakat sangat negatif terhadap Laksmi.

Baca Juga: Diancam Pacar Sebar Konten Intim Non-Konsensual? Jangan Panik, Lakukan Hal Ini

Di lingkup keluarga besar, Laksmi dianggap sebagai perempuan liar dan dianggap pelacur. Ia dihujat bahkan disingkirkan dari keluarga besar. Tak hanya itu, ia harus kehilangan dua saudara kandung, seorang kakak perempuan dan seorang adik laki-laki. Mereka justru memihak dan membela pelaku.

Pandangan negatif juga diberikan orang-orang sekitar. PRT paruh waktu yang sudah bekerja 15 tahun membela pelaku dengan memberikan kesaksian bohong. Hal ini menyakiti hati ketiga putrinya.

Begitu juga di lingkungan RT. Pada pertengahan 2020 Laksmi dan anak-anaknya pernah diusir secara halus oleh perangkat RT. Sebelumnya pada 2019, A sudah menyuruh Laksmi dan tiga anaknya keluar dari rumah.

Meski sudah bercerai, Laksmi masih tinggal satu rumah dengan mantan suaminya sekitar 2 tahun. Rumah tersebut atas nama Laksmi, tapi ia belum mengurus soal harta gono gini. Tak jauh dari rumah yang pertama, ada rumah kedua atas nama mantan suaminya yang berada di kompleks perumahan. A bersikukuh tetap tinggal di rumah pertama karena menginginkan Laksmi dan ketiga putrinya keluar dari rumah tersebut. Laksmi mencoba bertahan.

Perangkat RT dan tetangga mendatangi rumah Laksmi, minta Laksmi dan anak-anak untuk tidak tinggal serumah lagi dengan mantan suaminya. Sebelumnya pelaku dan putri pertama melaporkan ke RT. Meski anak-anaknya yang lain sudah menjelaskan duduk perkaranya tapi tak dihiraukan perangkat RT.

“Kami itu disuruh kalau bisa dengan segera jangan satu rumah, ngontrak atau bagaimana. Tapi karena saya tak punya uang saya nggak bisa meninggalkan rumah ini. Saya nggak ada uang, untuk makan aja waktu itu saya minta tolong sana sini,” tuturnya.

Baca Juga: Pemberitaan KBGO Harusnya Berperspektif Korban, Media Jangan Nirempati

Tindakan A membuat Laksmi jadi bahan gunjingan di lingkungan RT dan dijauhi tetangga. Kondisi ini membuatnya kesulitan mencari pertolongan dan sumber nafkah.

“Situasi ini sangat menyulitkan saya dalam mencari pertolongan, mencari pintu-pintu rezeki selain pintu seni rupa yang selama ini saya tekuni,” ujarnya.

Situasi serupa juga dirasakan Laksmi di lingkungan masyarakat seni dan budaya. Lingkungan ini terdiri dari seniman bidang seni rupa, seni pertunjukan, sastra, fotografi, penulis/kurator, jurnalis, manajemen galeri, museum, kolektor/pecinta seni.

Terkait tindakan pelaku, masyarakat seni budaya di lingkar pertemanan mereka menunjukkan reaksi di luar dugaan Laksmi. Mereka lebih mempercayai pelaku. Informasi dari pelaku lebih didengar daripada suara dan pembelaan korban.

Mereka juga malah menaruh iba pada pelaku. Pelaku bahkan mendapat dukungan dan pembelaan dari kelompok-kelompok kecil dan berkelas yang punya pengaruh dalam masyarakat seni tersebut. Mereka juga memberi lebih banyak ruang berekspresi untuk pelaku.

Keberpihakan masyarakat seni dan budaya terhadap pelaku membuat Laksmi diblokir dan dijauhi oleh komunitas tersebut. Kariernya jadi terpuruk.

Baca Juga: Waspada KBGO, Ada Grup Obrolan Bikin Deepfake Porn via Formulir Daring

“Karya-karya seni ciptaan saya selama ini dinilai tidak orisinal dan diciptakan oleh mantan. Nyaris tak ada yang mau menerima karya ciptaan saya beberapa tahun ini. Dan justru menuai hujatan dimana-mana, sampai ke galeri-galeri, para pecinta seni, penulis/kurator,” ungkapnya.

Laksmi juga mendapatkan pelecehan dari sejumlah seniman. Foto-foto telanjang yang dipertontonkan oleh mantan suaminya seolah-olah jadi pembenaran ia bisa dilecehkan atau “disewa” untuk layanan seksual.

Pertanyaan seperti, “Kamu berapa (tarifnya) katanya bisa dipakai untuk video sex?.” Atau “Kamu satu jam berapa (tarifnya)?.” Tak hanya sekali dua kali dilontarkan kepadanya.

Pelecehan serupa juga terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga yang mengaku pernah melihat fotonya menanyakan tarifnya.

“Aku udah lihat tubuhmu, itu bisa berapa rupiah kalau dipakai?.”

Padahal perbuatan A adalah tindakan pidana. Laksmi jelas-jelas mengalami kekerasan seksual. Ia menjadi korban atas penyebaran konten intim nonkonsensual yang dilakukan mantan suaminya. Foto-foto itu bukan untuk konsumsi publik. Dan tak ada persetujuan yang diberikan Laksmi pada A untuk mempertontonkan foto-foto tersebut.

Laksmi kehilangan relasi-relasi yang pernah terjalin baik. Ia juga mengalami pembatasan ruang-ruang berekspresi. Beberapa proyek seninya gagal sepihak. Akibatnya ia kesulitan mendapat penghasilan untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya.

“(Kondisi ini) menjadikan saya sangat kesulitan dalam mencari nafkah. Dan mencari rezeki untuk melangsungkan hidup yang layak bagi ketiga putri kandung saya yang waktu itu masih kecil-kecil,” ujarnya.

Lapor Polisi Tapi 4 Tahun Kasus Mandeg

Pesan singkat, telepon juga omongan dari tetangga dan teman-teman yang mengatakan sudah melihat fotonya yang ditunjukkan mantan suaminya membuat Laksmi panik. Apalagi mereka juga menanyakan soal tarifnya. Laksmi tambah malu, stres, ketakutan dan tertekan batin.

Dalam situasi tersebut Laksmi ditawari oleh seorang pengacara, kenalannya yang juga teman baik mantan suaminya, untuk mengurus kasusnya. Tanpa berpikir macam-macam Laksmi mengiyakan.

Ia lalu melapor ke Polres dengan diantar saudaranya, pasangan suami istri. Laksmi mengabari pengacaranya soal keberadaannya di Polres untuk mengurus sendiri laporannya. Pengacaranya marah, ia minta Laksmi segera meninggalkan Polres karena menurut pengacaranya tindakan Laksmi salah. Ia semestinya melapor bersama pengacaranya ke Polsek.

Karena tidak tahu, Laksmi mengikuti saja perkataan pengacaranya. Akhirnya pada 5 November 2019 Laksmi bersama pengacaranya melaporkan A ke Polsek. Laporan diterima dengan nomor STTLP/74/XI/2019/DIY/SLM/GODEAN.

Baca Juga: Riset TaskForce KBGO 2022: Sextortion Jadi Ancaman Paling Serius

Ketika dibutuhkan saksi untuk perkara tersebut, sempat ada kesulitan. Meskipun teman-teman atau tetangganya mengaku sudah melihat foto yang dipertontonkan suaminya, tapi ketika diminta menjadi saksi mereka menolak. Alasannya itu adalah masalah internal, urusan perdata, bukan pidana, mereka tidak mau ikut-ikutan. Ada juga yang memilih apatis, mencari aman dan tidak mau ikut campur.

Sementara Laksmi merasa pengacaranya tidak bekerja dengan baik, meski ia sudah membayar jasanya sebesar 10 juta sesuai permintaan pengacara tersebut. Namun ketika Laksmi minta bukti pembayaran dan surat penunjukan kuasa, si pengacara mengelak. Ia beralasan mereka sudah saling kenal dan berteman lama.

Laksmi merasa ditipu, ia pun mengakhiri kerja sama dengan pengacara yang pertama dan mencari pengacara baru. Oleh temannya (C) Laksmi dikenalkan dengan pengacara BW dan SF dari kantor hukum BWH. Per 13 Januari 2020 Laksmi didampingi kedua pengacara tersebut.

Baca Juga: Kasus Sebaran Video Artis RK, Framing Media Punya Kekuatan Besar

Oleh penyidik A dikenai pasal 6 jo pasal 32 UU Pornografi dan pasal 30 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Akhirnya ada 3 orang yang bersedia menjadi saksi, dua orang tetangga (M dan DA) dan satu orang teman (SA).

Pada 20 Februari 2020 ketiga saksi mendapat panggilan pertama untuk didengar keterangannya. Pada saat itu Laksmi juga dihadirkan, ia sambil menahan malu dan menangis. Pasalnya penyidik semuanya laki-laki.

“Saya malu loh mbak itu. Saya nggak bisa ngomong bagaimana saya begitu syok, saya syok sekali karena di situ polisinya itu laki semua,” tuturnya.

Setelah panggilan pertama, selang beberapa waktu ketiga saksi lalu mendapat panggilan kedua. Tapi setelah itu tidak ada perkembangan lebih lanjut. Laksmi menanyakan soal kelanjutan kasusnya ke pengacaranya, BW, tapi dibilang sedang pandemi. Beberapa kali pengacaranya menyebut alasan tersebut. Pernah juga pengacaranya beralasan karena Laksmi tidak punya uang.

Laksmi akhirnya lelah, ia merasa seperti kehabisan energi. Setiap kali bertanya tentang kasusnya, tidak ada perkembangan yang berarti. Ia kemudian memosting kasusnya di media sosial sekitar pertengahan Maret 2023. Ia sekadar ingin berbagi.

“Barangkali ada teman-teman sesama penyintas juga mengalami nasib serupa dengan saya, supaya berhati-hati. Misalkan dalam memilih pengacara atau (menghadapi) prosedur hukum yang berbelit-belit,” ujarnya.

Laksmi dibantu para aktivis perempuan yang membagikan dan menyebarkan postingannya hingga akhirnya ditanggapi Polda DIY.

“(Polda DIY) Langsung komentar dan DM saya. Saya dipersilakan untuk ke Polda, tapi sebelumnya secara prosedur saya harus ke Polsek,” kata Laksmi.

Barang Bukti Hilang

Setelah posting besoknya petugas Polsek datang ke rumahnya atas perintah Polda DIY. Ternyata sudah ada pergantian personil. Kanit Reskrim Eko Haryanto yang dulu menangani kasusnya sudah dipindah ke Polres.

Laksmi bertemu dengan Kanit Reskrim yang baru, AKP Budi Karyanto. Budi mengaku tidak tahu-menahu. Ia lantas mencari berkas perkara Laksmi berdasarkan surat tanda terima laporan dan kembali mendatangi Laksmi di rumah pada 17 Maret 2023.

Hasil pencariannya semua data terkait kasusnya ada kecuali barang bukti. Budi meminta Laksmi melengkapi barang buktinya dan menanyakan pada pengacaranya.

“Pak Budi bilang, bisa minta barang buktinya lagi? Loh, saya nggak tahu barang buktinya sudah dibawa sama Pak Eko, ya kan saya nggak tahu,” ujarnya.

Laksmi juga menghubungi BW, pengacaranya, menanyakan soal berkas kasusnya. Ia harus menunggu sebulan hingga BW menyerahkan berkasnya. Akhirnya pada 11 April 2023 Laksmi mencabut surat kuasa dari BW dan SF. Ia lalu berkonsultasi lagi dengan P2TPAKK Rekso Dyah Utami.

Konde.co menghubungi AKP Budi Karyanto pada (29/9/23) untuk mengonfirmasi soal ini. Lewat sambungan telepon Budi mengatakan penyidik yang dulu menangani perkara tersebut sudah pindah semua. Dia juga mengaku tidak mengenal penyidik sebelumnya.

Budi mengonfirmasi dirinya menemui Laksmi dan menginformasikan soal barang bukti yang hilang.

“Kapan itu ketemu bu Laksmi. Saya juga nggak tahu persis masalahnya, njeh. Terus saya (cari), kebetulan berkas itu ketemu, tapi di situ bukti-bukti foto tidak ada sama penyidik yang lama. Kalau kita kan pembuktian, jadi Bu Laksmi pun saya suruh nyari ke tempat pengacaranya, ternyata juga tidak ada,” terang Budi.

Saat Konde.co menanyakan kelanjutan kasus tersebut, Budi mengaku polisi kesulitan jika tidak ada alat bukti.

“Ya sekarang gimana ya. Kita kalau kepolisian secara hukum kan pembuktian, oke sekarang bukti petunjuk tidak ada, ya tho? Bukti yang lain nggak ada, terus gimana kita?” kata Budi.

Baca Juga: Revenge Porn, Kekerasan Digital Yang Paling Banyak Terjadi

Karena itu kasus tersebut tidak dapat dilanjutkan penyelidikannya karena kekurangan bukti.

“Ini kan kekurangan alat bukti, barang bukti dan alat buktinya nggak ada bagaimana saya buka ini gitu lho mbak,” ujarnya.

Budi tampak berusaha lepas tangan dengan beberapa kali minta Konde.co untuk menanyakan soal bukti ini kepada Laksmi. Ia mengaku sudah menanyakan ke penyidik sebelumnya, Kiswanto, tapi menurutnya penyidik tersebut mengatakan tidak tahu.

Speak Up dan Berupaya Jadi Penyintas

Laksmi sudah berupaya untuk buka suara, meski konsekuensinya ia makin dijauhi masyarakat di lingkup seni dan budaya. Pasalnya ia dianggap berlebihan dan mengada-ada. Meskipun ada sebagian kecil yang mulai terbuka matanya.

Laksmi berharap proses hukum kasusnya tidak dipersulit. Ia ingin keadilan, pelaku dihukum sesuai dengan perbuatannya.

“Saya demi alam semesta, demi Tuhan saya tidak terima, sampai saya mati saya tidak terima,” ungkapnya.

Ia menambahkan trauma yang dirinya dan anak-anaknya alami tersebut tidak akan pernah bisa terobati dengan tuntas sampai kapanpun.

“Kami tidak dendam, kami hanya tak mungkin bisa melupakan peristiwa itu seumur hidup,” ucapnya.

Laksmi sekarang didampingi oleh P2TPAKK Rekso Dyah Utami. Konde.co menghubungi salah satu pendampingnya pada akhir September lalu. Namun SOP lembaga tersebut tidak mengizinkan pemberian informasi terkait penanganan kasus jika untuk dipublikasikan.

Hingga saat ini Laksmi mengaku posisinya masih tidak aman dalam segi apapun. Ia masih belum stabil secara emosi dan masih sangat trauma. Setiap kali bertemu dengan pelaku, terutama di lingkar pertemanan pelaku, masih ada rasa takut. Bahkan ia bisa keluar air mata secara spontan tanpa bisa dibendung.

Walaupun empat bulan yang lalu Laksmi sudah menggelar pameran tunggal tapi bukan berarti ia sudah berdaya guna dengan aman. Untuk menggelar pameran itu Laksmi banyak dibantu oleh teman-temannya yang peduli yang justru bukan dari kalangan seni rupa. Ia banyak dibantu dan didukung oleh aktivis perempuan dan feminis juga aktivis lingkungan dan iklim.

“Di komunitas lingkungan itu saya sangat dibantu sekali. Di situ mereka peduli supaya saya bangkit lagi di jalur kesenimanan saya,” tuturnya.

Laksmi mengaku upayanya masih sangat berat. Pameran yang ia gelar tersebut sangat minim liputan. Nyaris tak ada jurnalis yang berani mengulas karyanya. Karena jurnalis yang mengulas seni rupa di Yogyakarta juga bagian dari lingkaran masyarakat seni budaya juga. 

Baca Juga: Aktivis: Artis RK Adalah Korban Penyebaran Konten, Stop Kriminalisasi

Ada kekhawatiran mengingat risiko yang terlalu besar kalau meliput pameran yang ia gelar mengingat “solidaritas” yang tinggi terhadap pelaku. Laksmi mencatat hanya satu media, Koran Merapi, yang memuat ulasan singkat tentang pamerannya.

Sebagai penyintas Laksmi mengaku masih terus berjuang untuk bertahan hidup dan bangkit agar dapat melanjutkan hidup membesarkan ketiga putrinya.

*Untuk menghindari trauma pada anak-anak dan korban, kesaksian dalam artikel ini diambil dari rekaman video yang dibuat korban dan rekaman video acara Letss Talk ketika korban memaparkan kasusnya. Penggunaan dokumentasi tersebut atas persetujuan korban. Sebagian lainnya bersumber dari wawancara kepada korban. Karya-karya Laksmi pernah mendapatkan penghargaan, salah satunya Distinct Uniqueness, Golden Selection Women Artist Art Awards Indonesia pada 2009. Tujuh tahun sekali kepeduliannya pada isu lingkungan dan iklim mendorongnya mengolah sampah organik dan nonorganik jadi karya seni.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!