Petani kopi

Kisah Pahit Petani Kopi, Terdampak Pandemi Sampai Perubahan Iklim

Di balik fenomena kopi sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia, para petani kopi justru menghadapi kenyataan pahit. Produksi kopi terdampak pandemi bertahun-tahun, distribusi pupuk subsidi bermasalah, hingga dihantam perubahan iklim.

Kopi merupakan salah satu jenis tanaman primadona di Indonesia. Sebagai negara pengekspor terbesar ke-4 di dunia–setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia–biji kopi asal Indonesia menjangkau negara-negara Eropa, negara-negara Timur Tengah, dan Amerika Serikat.

Minum kopi pun menjadi bagian gaya hidup masyarakat Indonesia, ditandai dengan tumbuhnya kafe-kafe baru di berbagai daerah.

Bermacam fakta di atas seharusnya berdampak positif pada petani sebagai salah satu aktor utama dalam mata rantai penjualan kopi. Namun, penelitian kami di Jawa Barat nyatanya menunjukkan hasil yang miris.

Usai bergulat dengan penurunan permintaan di masa pandemi, para petani langsung disambut dengan dampak perubahan iklim yang kian nyata. Produksi mereka kemudian turun drastis.

Lepas Pandemi, Diterjang Anomali Cuaca

Kami melaksanakan wawancara terstruktur dan mendalam dengan 219 responden petani kopi di Jawa Barat pada 2022. Provinsi ini banyak menerapkan kegiatan perhutanan sosial berbasis kopi.

Menurut para responden kami, pandemi tidak menghalangi aktivitas petani dalam kegiatan budidaya sampai pemanenan. Namun, pembatasan aktivitas masyarakat membuat permintaan kopi menurun khususnya oleh kafe-kafe sebagai salah satu pembeli kopi mentah dari petani.

Dampaknya: harga jual kopi menurun, pun pendapatan petani. Di puncak pandemi pada 2021, misalnya, ceri kopi para petani yang biasanya dihargai hingga Rp 9.500/kg hanya laku di kisaran Rp 5.000/kilogram.

Meredanya pandemi pada 2022 tak terlalu mengubah keadaan. Pasalnya, pertanian kopi mulai terimbas perubahan iklim.

Studi memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menurunkan produktivitas pertanian di negara berkembang sebesar 10-20% selama 40 tahun ke depan. Menurut kajian tim peneliti BRIN, salah satu dampak perubahan iklim di Indonesia adalah durasi musim hujan lebih panjang. Lamanya bisa mencapai 49 hari di Indonesia bagian selatan.

Kondisi cuaca yang tidak menentu, misalnya hujan ekstrem di musim kemarau, menyebabkan sebagian kopi gagal berbunga. Imbasnya, kopi gagal berbuah sehingga angka produksi menurun drastis.

Baca Juga: Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan

Meskipun secara nasional jumlah produksi kopi meningkat, para petani yang kami wawancarai di Jawa Barat (seperti di Kabupaten Garut, Bandung, dan Ciamis) menyatakan bahwa produksi mereka menurun antara 20%-80%.

Pertumbuhan produksi nasional didominasi oleh produksi kopi dari Sumatra. Daerah tersebut bisa jadi memiliki perbedaan iklim mikro dengan petani di Jawa Barat.

Penurunan produksi sebenarnya membuat suplai menipis di pasar sehingga mengerek naik harga produk kopi. Sayangnya, banyak petani yang tidak menikmati kenaikan harga. Anjloknya hasil panen karena perubahan iklim sulit diperbaiki karena akses mereka ke pupuk masih terbatas.

Pada saat pandemi, pupuk tersedia dengan harga normal. Namun, pupuk tidak terjangkau karena pendapatan petani menurun sehingga belanja lebih difokuskan untuk konsumsi rumah tangga.

Sebaliknya, pascapandemi pupuk menjadi susah diperoleh. Kalaupun ada, harganya lebih mahal. Pupuk yang paling banyak dibutuhkan oleh petani kopi berjenis urea dan NPK.

Ada beberapa masalah yang jadi biang keladi. Dunia memang tengah mengalami krisis pupuk akibat Perang Rusia-Ukraina. Sebab, Rusia merupakan penyuplai 30% fosfor dan kalium yang menjadi bahan baku NPK.

Wawancara kami juga menemukan masalah distribusi pupuk subsidi yang diduga tidak tepat sasaran. Ini terlihat dari bagaimana petani yang berhak menerima pupuk dengan harga subsidi harus membayar dengan harga normal karena pupuk subsidi tidak tersedia. Sementara, suplai justru tersedia bagi kelompok tani lain di daerah yang sama yang tak membeli pupuk.

Pekerjaan Rumah untuk Pemerintah

Permasalahan budi daya yang dihadapi petani selama dan pascapandemi, ditambah dengan dampak perubahan iklim, membuat petani kopi kelimpungan. Studi pun mengamini petani swadaya di negara berkembang kerap kesulitan mengatasi dampak perubahan iklim karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk mencari pemasukan tambahan demi menjamin kesejahteraan keluarga mereka.

Oleh karena itu, perlu campur tangan pemerintah mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi.

Pemerintah, misalnya, perlu memperkuat pengawasan untuk memastikan distribusi pupuk yang tepat sasaran. Titik-titik kerawanan penyimpangan perlu diberantas. Perlu ada sanksi tegas terhadap penyalahgunaan penyaluran pupuk bersubsidi.

Di sisi lain, kelembagaan petani juga perlu penguatan. Berdasarkan wawancara, saat ini posisi tawar petani dalam penentuan harga jual kopi sangat rendah. Pembeli, yang mayoritas adalah pedagang besar, memiliki kuasa yang besar dalam menentukan harga. Lantaran margin yang kecil, petani hanya sedikit merasakan manfaat kenaikan harga kopi. Sebaliknya, adanya penurunan harga akan langsung menghantam perekonomian mereka karena minimnya modal usaha untuk memupuki tanaman.

Oleh sebab itu, perlu dibentuk lembaga yang berfungsi menstabilkan harga kopi di tingkat petani, misalnya dengan menampung produk pada saat panen raya.

Baca Juga: ‘Bedol Desa’ di Pantura Akibat Perubahan Iklim, Warga Butuh Kebijakan Perlindungan

Meski demikian, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dan instabilitas harga jual dan harga sarana produksi pertanian tidak selamanya dapat bergantung pada pemerintah. Petani harus didorong untuk meningkatkan nilai tambah produk kopi mereka dengan pengolahan lanjutan.

Pengolahan produk memberikan dua keuntungan sekaligus. Pertama, meningkatkan harga jual dan margin keuntungan yang lebih besar. Kedua, adanya penyerapan tenaga kerja selama proses pengolahan kopi meliputi proses pengupasan, pengeringan, pembuatan bubuk kopi, bahkan penjual produk kopi siap saji.

Pemerintah dan swasta dapat membantu penyediaan mesin pengolah kopi dengan skema hibah atau pinjaman berbunga rendah. Perlu bantuan lembaga keuangan resmi pemerintah selama proses ini. Soalnya, petani cenderung langsung menjual kopi setelah panen untuk mendapatkan uang tunai.

Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan. Bukan tidak mungkin hal yang sama bisa menimpa petani-petani kopi lain di Indonesia. Yang dapat kita lakukan adalah beradaptasi dan meredam dampaknya, serta meningkatkan ketangguhan petani kecil kita.

Penulis berterimakasih kepada Dr. Sanudin dan Eva Fauziyah, M.Sc. (peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN) yang telah berkontribusi terhadap tulisan ini.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Ary Widiyanto

Peneliti Ahli Madya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!