Luviana – www.Konde.co
Suatu hari, kami, kawan-kawan kami mulai berpikir, mengapa selalu saja ada pembatasan waktu untuk perempuan?
Kita catat saja pembatasan waktu untuk perempuan. Perempuan tak boleh keluar malam, harus cepat pulang ke rumah karena pekerjaan menunggu. Belum lagi pembatasan jam malam di beberapa daerah juga masih berlaku. Bahkan ini dalam bentuk peraturan-peraturan daerah yang mengganggu aktivitas perempuan.
Contoh lainnya, pernah pada suatu hari, saya mengajak beberapa perempuan untuk rapat di hari Sabtu. Ajakan ini kami buat setelah mendengar saran dari banyak perempuan seperti kami yang berkantor tiap hari. Sabtu kemudian menjadi hari yang tepat untuk bertemu.
Namun, ternyata sabtupun bukan waktu yang tepat untuk berkumpul. Beberapa ibu menyatakan harus mengantar les anak-anaknya di hari Sabtu.
Lalu saya mengajukan usul: gimana kalau kita ketemu di hari Minggu?.
Namun sejumlah perempuan yang sudah menikah menyatakan bahwa, jika mereka pergi di hari Sabtu dan Minggu, maka mereka harus meminta ijin suami dulu. Kebanyakan suami akan marah jika istrinya pergi di hari sabtu dan Minggu.
Terus terang ini membuat sedih. Jika alasannya kalau sabtu dan minggu adalah waktu untuk keluarga, ini cukup masuk akal bagi saya.
Tapi jika untuk pergi hari Sabtu dan Minggu saja, mereka akan dimarahi suami? Cerita kecil ini mengingatkan saya pada kisah hidup Elisabeth Cady Stanton. Kisahnya yang sedih sekaligus menginspirasi ini pernah saya tulis beberapa waktu silam:
PADA satu hari Elizabeth Cady Stanton, ibu dari 7 anak berkirim surat kepada sahabat perempuannya, Susan B Anthony. Ia mengeluhkan karena tidak punya waktu untuk menghadiri pertemuan-pertemuan di luar rumah. Waktunya telah habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anaknya yang masih kecil. Suaminya adalah seorang aktivis anti perbudakan yang jarang berada di rumah. Praktis semua pekerjaan rumah dan pengasuhan anak adalah tanggungjawab Elisabeth.
Ketika ada pertemuan-pertemuan yang dilakukan pada malam hari atau hari liburpun, ia tidak bisa juga hadir, karena harus menunggui anaknya sampai benar-benar tertidur.
Beberapa tahun kemudian setelah anak-anaknya dewasa, ia kembali berkirim surat pada Anthony. Ia menyatakan bahwa saat ini sudah bisa mengikuti pertemuan di luar rumah karena anaknya sudah mulai dewasa, jadi sudah bisa mengurus diri mereka sendiri.
Namun dalam surat itu ia juga menghitung, betapa lamanya masa penantiannya untuk mengikuti pertemuan di luar rumah. Padahal suaminya, Henry Stanton, seorang aktivis anti perbudakan sering meninggalkan rumah karena pekerjaan politiknya.
Susan B. Anthony-lah yang selama ini selalu mendorong Elisabeth untuk membaca di rumah. Karena ini bisa menjadi pengisi waktu yang paling baik ketika tidak bisa mengetahui aktivitas di luar rumah. Anthony juga yang selanjutnya mengajak Elisabeth untuk terjun ke dunia politik dan menjadi pejuang bagi perempuan lainnya.
Keduanya kemudian dikenal sebagai feminis, aktivis perempuan yang banyak memperjuangkan anti perbudakan bagi perempuan di Amerika Serikat, terutama perjuangan mereka pada para perempuan kulit hitam.
Pada tahun 1848, keduanya kemudian memprakarsai konvensi hak-hak perempuan, dan ikut mendeklarasikannya pada peringatan kemerdekaan Philadelphia, 4 juli 1876.
Karena kesukaannya pada bacaan bible/injil, Elizabeth kemudian dikenal sebagai pencetus teori, bahwa Tuhan itu mempunyai sifat androgin. Stanton menerbitkan karya tulis yang berjudul The Women’s Bible. Isinya adalah tafsiran-tafsirannya terhadap ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan perempuan. Teori ini menjadi sangat penting dan banyak dipercayai bahwa Tuhan punya sifat feminin dan maskulin.
Ia kemudian juga menelorkan teori yang sangat penting di kalangan feminis bahwa seorang ibu mempunyai kekuatan luar biasa untuk berbuat sesuatu, karena seorang ibu sudah menapaki banyak tahap kehidupan yang penting. Salah satunya, ia bisa menjadi sumber energi bagi anak-anaknya.
Dari catatan harian Elizabeth ini, kita seperti diingatkan, seberapa lama seorang ibu mempunyai waktu untuk berdialog di luar rumah? Benarkah ia tak boleh punya waktu untuk dirinya sendiri? Benarkah waktunya hanya boleh dihabiskan dengan rumah dan anak-anak, dan jika mau keluar rumah harus dimarahi oleh suaminya dulu?
Ah, saya betul-betul sedih jika melihat ibu yang harus menunggui anaknya hingga dewasa dulu dan kemudian baru bisa keluar rumah dan datang di pertemuan-pertemuan. Apa solusinya?
Hei para suami-suami, anda haruslah tahu bahwa penting memperjuangkan waktu untuk perempuan, waktu untuk ibu. Karena perempuan berhak untuk mengurus personal mereka, keluar rumah dan menjadi bagian dari publik. Ini bukan rengekan, tapi penting membagi waktu, agar ada waktu untuk ibu. Waktu untuk para perempuan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)