Novel

‘Malam Seribu Jahanam’, Novel Horor tentang Pencarian Tak Berujung

‘Malam Seribu Jahanam’ merupakan novel terbaru karya Intan Paramaditha. Ini novel horor, tapi bukan cuma gara-gara mitos kuntilanak dan Rumah Victoria yang tak berujung.

Novel ‘Malam Seribu Jahanam‘ memuat dongeng tentang si bungsu yang terburai, si tengah yang kabur, si sulung yang terbungkuk-bungkuk, dan si saudara tiri yang menagih hutang. Di tengah semua itu, sang nenek mengawasi, menentukan arah para dara itu melangkah.

Dalam banyak tulisan, ledakan biasanya baru terjadi di tengah cerita, atau di akhir, lalu kisah dibiarkan menganga terbuka. Di novel ‘Malam Seribu Jahanam’ karya Intan Paramaditha, ledakan membawa pembaca pada kisah Penjaga, Pengelana, dan Pengantin—juga Pendongeng.

Intan Paramaditha terkenal dengan karya-karyanya yang bernuansa gothic dan sarat akan nuansa horor. Dengan tema-tema itu pula, dia memasukkan isu-isu politik, agama, dan budaya dalam narasinya. Ia telah menulis ‘Sihir Perempuan’, ‘Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu’, dan sejumlah karya lainnya sebelum novel ‘Malam Seribu Jahanam’.

Malam Seribu Jahanam’ membuat pembaca bergidik di banyak bagian. Mungkin gara-gara munculnya kisah kuntilanak, arwah gentayangan, sumur misterius, dan nenek yang sepertinya punya kekuatan sihir. Yang jelas, novel ini cukup bikin bulu kuduk berdiri saat dibaca di tengah malam yang hening.

Namun, kengerian dan horor juga muncul dalam bentuk lain. Misalnya, ketika kronologi teror ledakan bom muncul, disajikan sebagaimana media biasanya menyajikan kisah keji itu—antara tak berhati atau menjual drama. Atau ketika sang kakak tertua dihantui kesadaran bahwa ia tak tahu apa-apa, padahal tak pernah ke mana-mana. Kalau tidak, ketika si anak tengah dihadapkan pada kenyataan yang selama ini coba ia hindari dengan kabur, berkelana. Lainnya, ketika si putri bungsu menyatakan bahwa ia telah mengambil jalannya sendiri, sebab ia tidak percaya pada siapa pun. Atau ketika saudara tiri tiba-tiba mampir, menagih hutang pada tiga dara itu.

Kengerian muncul ketika novel ‘Malam Seribu Jahanam’ membawa pembaca pada sebuah asumsi mencekam: jangan-jangan, kita memang tidak pernah tahu apa-apa. Di luar maupun dalam diri kita, apa sesungguhnya yang kita ketahui?

Teroris Perempuan: Perspektif Lain

Intan membuka ‘Malam Seribu Jahanam’ dengan cerita tentang teror bom bunuh diri. Alkisah, saat itu tahun 2018 di Kotawijaya; tinggal beberapa hari saja sebelum puasa Ramadan dimulai. Kemudian seisi Indonesia geger—satu keluarga meledakkan diri di beberapa tempat di Kotawijaya. Lokasi yang menjadi sasaran antara lain gereja dan gedung serbaguna tempat pengajian berlangsung di sebuah komplek perumahan.

Teror bom tersebut bukan dongeng rekaan belaka. Dalam bukunya, Intan menyebut, kejadian dalam novel ini terinspirasi dari kisah nyata.

Pada 13-14 Mei 2018 silam, tragedi Pengeboman Surabaya terjadi di sejumlah tempat di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur. Bom meledak di tiga gereja, komplek rumah susun, dan markas Polrestabes Surabaya. Tercatat 28 orang meninggal dunia akibat rangkaian kejadian tersebut, termasuk para pelaku yang merupakan satu keluarga—ayah, ibu, dan anak-anak.

Bukan hanya merenggut nyawa; peristiwa tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi banyak pihak. Jemaat gereja yang selamat dan umat beragama lainnya jelas ketakutan. Luka pada keluarga korban takkan pernah sembuh. Novel ini mencakup semua kepahitan itu. Tapi, di tengah kekacauan tersebut, pernahkah terpikir untuk menyelami motif pelaku—apa lagi pelaku perempuan yang selama ini hanya dikenal sebagai ‘korban’ ajaran terorisme dan ekstrem agama? Di sisi lain, bagaimana makna kondisi keluarga pelaku selain jadi sumber sensasi media?

Baca juga: Sesat Pikir, Keterlibatan Perempuan Dalam Aksi Terorisme Bukan Bagian Dari Feminisme

Hal itulah yang dieksplorasi dalam novel ‘Malam Seribu Jahanam’. Annisa dikenang sebagai pelaku teror bom, itu satu hal. Tapi apakah kisah Annisa berhenti ketika ia dan keluarga kecilnya meledakkan diri, tubuh mereka tercerai-berai, sembari mereka menghilangkan nyawa orang lain bersama mereka? Rupanya tidak, sebab ada Mutiara dan Maya yang linglung saat kehilangan adik mereka; serta ada Rosalinda, yang keluarganya hancur akibat si bungsu.

Dari aksi teror bom yang dilakukan Annisa, pembaca juga dibawa berpetualang menyusuri macam-macam kehidupan perempuan bersaudara. Ada yang menjaga, memastikan semua berada pada tempatnya, tapi tetap saja melewatkan sesuatu. Atau yang berkelana dan kerap tertinggal. Ada juga yang dimanja, anak spesial, tapi bukan itu yang diinginkannya. Lalu yang dikhianati, berkali-kali, hingga ia kembali untuk menagih yang dirampas darinya.

Selain itu, kisah Annisa si bungsu—si ‘Pengantin’—dalam novel ini menunjukkan anomali yang mematahkan stereotip masyarakat terhadap pelaku teror, khususnya teroris perempuan. Berbeda dari persepsi umum, Annisa dan keluarganya hidup sejahtera sebagai keluarga berada. Anak-anaknya sekolah di institusi bergengsi dengan nilai-nilai keislaman yang tinggi dan jauh dari ekstremisme agama. Annisa dikenal sebagai ibu rumah tangga yang cantik dan gemar bersosialisasi. Siapa sangka, ia sekeluarga bakal merangsek masuk ke gereja dan gedung serbaguna untuk meledakkan diri?

Cerita Annisa menampar dengan kengerian lain: jangan-jangan, perempuan pelaku terorisme sepenuhnya sadar akan perbuatannya. Motifnya bukan sekadar mengikuti ‘imam’ atau bertujuan untuk ‘mati syahid’. Siapa sangka, jangan-jangan ialah imam itu, yang membawa keluarganya untuk meneror orang-orang yang berbeda darinya?

Bahkan sampai akhir, tak mudah ‘membaca’ Annisa. Latar belakang dan alasan-alasannya turut terburai bersama isi perutnya.

Membongkar Keluarga

Kisah ‘Malam Seribu Jahanam’ dikemas dalam empat sudut pandang cerita. Ada si sulung Mutiara, ‘Sang Penjaga’; si anak tengah Maya, ‘Sang Pengelana’; si bungsu Annisa, ‘Sang Pengantin’. Jangan lupakan pula ‘Sang Pendongeng’, Rosalinda. Setiap bab dikisahkan oleh narator yang berbeda-beda. Membaca masing-masing sudut pandang mereka akan membuat pembaca sulit menentukan ‘benar’ dan ‘salah’. Sebab semua orang baik, sekaligus berdosa.

Melalui novel ini, Intan sebagai penulis menggugah ketegangan sekaligus cara pandang baru bagi pembaca dalam melihat konsep keluarga. Bagaimana kehidupan keluarga dengan ayah dan ibu, tiga anak perempuan, seorang nenek, dan anak pekerja rumah tangga? Rupanya banyak titik balik yang tampak maupun tak kasat mata untuk menjawab pertanyaan itu.

Dalam kisah keluarga Mutiara, Maya, dan Annisa sebagai tiga bersaudara, kita melihat struktur yang berbeda-beda. Nenek Victoria, Mama Mae, dan si sulung Mutiara menunjukkan bahwa mereka adalah perempuan ‘berkuasa’. Suara mereka lantang, mereka mandiri dan pegang kendali. Yang terpenting, seperti kata Mama pada Muti, ia harus bisa cari uang sendiri.

“Jangan pernah bergantung pada siapa pun,” Mamanya saat itu berkata, “Semua laki-laki bangsat.”

Di sisi lain, sang Papa tetap dikenang sebagai sosok patriarkis dalam keluarga itu, bahkan ketika ia berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Tipikal ayah yang pilih kasih, memanjakan si bungsu yang cantik, sekaligus misoginis dan rasis. Konstruksi bapak-bapak kebanyakan.

Baca juga: Dunia Tanpa Kekerasan Bagi Anak

Para dara di keluarga ini juga tidak boleh luput untuk dibahas. Sang nenek, Victoria, meramal ketiga cucu perempuannya bakal jadi Penjaga, Pengelana, dan Pengantin. Hal itu pun terwujud—meski salah satu dari mereka berkhianat.

Ada yang menggelitik saat mengikuti kisah Mutiara sebagai sesama anak perempuan sulung—sesuatu yang begitu dekat, pengalaman serupa. Anak perempuan sulung adalah penjaga adik-adik dan seisi keluarga. Model panutan yang pantang berbuat salah. Sosok eksperimen Mama, kadang refleksi atas kesuksesan dan kegagalannya. Mesti berbakti dan mengasuh, meski sering ditampar dan tak dianggap. Tidak bisa ke mana-mana karena tanggung jawab memakunya di tempat. Enggan menikah dan beranak-pinak sebab ia tak mau jadi seperti orangtuanya. Menjaga yang hidup dan mengantar yang berpulang. Segalanya harus dibereskan cepat dan bersih. Maka ia berusaha mencari pegangan dan perlindungan, meski akhirnya gagal pula menemukannya.

Lain halnya dengan Maya, si anak tengah. Ia si pengelana, loncat-loncat sana-sini, tak terikat tanggung jawab seperti kakaknya atau dimanja seperti adiknya. Ia hilang dan muncul kapan saja. Memandang kakaknya sebagai bully dan adiknya sebagai sosok yang harus musnah—tapi ia sayang keduanya. Menjalani kehidupan tanpa rumah, sesekali menginap di terminal yang ia tahu terlarang. Bagi keluarganya, Maya tidak tahu arah. Bagi Maya, orang-orang—kakaknya, terutama—tersesat dalam sesuatu bernama agama.

Sementara itu, si bungsu Annisa adalah ‘pengantin’ yang dimanja, yang disayang. Anak tercantik dibanding saudari-saudarinya, bikin para lelaki ingin memilikinya dan perempuan ingin melenyapkannya. Tapi sebagai ‘yang tersayang’, ia justru terjebak juga. Anak bungsu kesayangan Papa, tidak mungkin melakukan dosa, segala hal terbaik harus dipilihkan untuknya, ia harus punya sosok untuk diekori. Dan ketika si bungsu melanggar semua itu, hal tersebut ternyata datang dari dirinya sendiri.

Saudara Tiri Buruk Rupa

“Revolusi selalu dimulai oleh saudara tiri buruk rupa.”

Itulah premis yang berkali-kali muncul dalam ‘Malam Seribu Jahanam’. Pertanyaannya, siapa sesungguhnya si ‘saudara tiri’ itu?

Dari semua kisah perempuan dan keluarga heteronormatif yang pelik itu, ada sosok terlupakan yang kerap muncul sebagai narator—Pendongeng—dalam novel ‘Malam Seribu Jahanam’.

Dulu namanya Rohadi. Kini ia Rosalinda. Rohadi adalah anak dari pekerja rumah tangga yang membantu Victoria, kadang ikut bermain dengan Mutiara, Maya, dan Annisa kalau sedang diingat. Sedangkan Rosalinda adalah ‘bujangdara’, transpuan yang telah merasakan kerasnya hidup di jalanan, berkarya seni hingga keluar negeri, hingga kembali untuk menagih janji para dara yang berkhianat.

Baca juga: ‘Lubang Kelam(in)’ Tuliskan Pengalaman Tubuh Yang Disembunyikan Karena Dianggap Tabu

Kisah Rosalinda tidak berdiri sendiri. Dalam novel ini, Intan menjadikan Rosalinda penutur cerita para transpuan. Mereka yang terpinggirkan, dibuang, lalu membangun komunitas untuk saling menguatkan. Cinta dan kasih sayang yang selama ini lekat dengan konsep keluarga pada umumnya—ayah, ibu, dan anak—justru ditemukan di tengah keluarga si saudara tiri. Hal ini nyata, tapi masih sering ditampik oleh masyarakat heteronormatif.

Rosalinda, si bujangdara, dikhianati berkali-kali. Oleh Maya, yang bilang kalau mereka berdua adalah ‘sahabat selamanya’, tapi lalu meninggalkannya. Oleh Annisa, yang membuatnya didepak dari keluarga Victoria. Lalu oleh Annisa lagi, yang menghabisi nyawa Mama Cindy, transpuan yang menjadi ‘ibu’nya di tengah lingkungan yang tak menerima identitasnya.

Usai kehilangan Mama Cindy, Rosalinda kembali untuk revolusi. Selain itu, ia juga menguak selubung ketiga dara yang berkhianat.

Novel ‘Malam Seribu Jahanam’ tidak bisa dibilang sebagai bahan bacaan ringan. Di dalamnya termuat pembahasan tentang agama dan kutipan ayat-ayat Al-Quran, juga terorisme dan cerita berdarah-darah lainnya. Tapi novel ini memang perlu dibaca. Paling tidak, ia bikin pembaca menarik napas berkali-kali. Entah karena topik yang berat, sempalan kisah horor dengan hantu-hantu Nusantara yang seram, atau tamparan realita.

Sumber gambar: intanparamaditha.com

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!