Berdagang pengaruh

Saatnya Revisi UU Tipikor: Urgensi Tindak Pidana Berdagang Pengaruh

Sudah saatnya para pembuat kebijakan mulai membahas revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) untuk memasukkan muatan pasal mengenai tindak pidana berdagang pengaruh.

Kasus megakorupsi proyek base transceiver station (BTS) 4G – garapan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) – yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan Agung bisa jadi contoh paling baru tentang praktik tindak pidana korupsi “berdagang pengaruh”.

Secara umum, kebanyakan kasus-kasus korupsi dapat terjadi karena adanya pengaruh dari pejabat publik yang berkat mereka kejahatan itu dapat terjadi. Dalam kasus ini, misalnya, yang berpengaruh adalah peran Menteri Kominfo Johnny G. Plate, yang kini sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.

Ini bukan kali pertama pejabat setingkat menteri terlibat dalam skandal korupsi. Selama 2 periode masa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo saja setidaknya ada 5 menteri yang menjadi tersangka korupsi.

Sudah saatnya para pembuat kebijakan mulai membahas revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) untuk memasukkan muatan pasal mengenai tindak pidana berdagang pengaruh.

Tindak pidana berdagang pengaruh dalam UNCAC

Mengatur tentang tindak pidana berdagang pengaruh sebenarnya merupakan amanat dalam Pasal 18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Indonesia telah meratifikasinya dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption.

Meski demikian, Indonesia masih belum mengadopsi pengaturan tindak pidana berdagang pengaruh dalam sistem hukum negara. Padahal, ada sejumlah kasus korupsi yang sebenarnya masuk kategori berdagang pengaruh. Contohnya, ketika ketua umum suatu partai politik atau keluarga dari seorang pejabat publik memanfaatkan pengaruh jabatannya dengan maksud membuat dirinya maupun pihak lain mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya (undue advantage).

Ada 5 konteks yang dapat kita pahami terkait rumusan Pasal 18 UNCAC.

Pertama, UNCAC mengualifikasikan berdagang pengaruh dalam bentuk perbuatan aktif (Pasal 18a) dan pasif (Pasal 18b). Aktif artinya seseorang menawarkan atau memberikan (offering or giving) pengaruhnya untuk “diperdagangkan”. Sedangkan pasif artinya seseorang meminta atau menerima (solicitation or acceptance) “tawaran pengaruh”.

Kedua, bentuk kesalahan yang dimaksud dalam Pasal 18 UNCAC mensyaratkan adanya unsur menghendaki dan mengetahui (willens en wetten) dari pelaku. Ada frasa “dengan maksud” dalam pasal ini yang secara tidak langsung telah membatasi corak kesengajaan sebagai maksud. Untuk itu, pelaku harus mengetahui dan menghendaki perbuatannya.

Baca juga: ‘Koleksi Sepatunya Apa?’ Perempuan Koruptor Terima Pertanyaan Tak Relevan Ini

Ketiga, wujud penyalahgunaan pengaruh dalam pasal ini bisa lebih mudah dibuktikan dengan adanya frasa “yang nyata atau yang dianggap ada”. Dengan demikian, tidak diperlukan ada penyalahgunaan pengaruh secara nyata, melainkan cukup berdasarkan suatu anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah penyalahgunaan pengaruh (menggunakan teori kesengajaan yang diobjektifkan).

Keempat, adanya perluasan subjek hukum yang dapat dipidana berdasarkan pasal ini, karena dalam ketentuannya subjek hukum tidak terbatas pada pejabat publik, tetapi juga setiap orang, baik yang mempunyai hubungan dengan pejabat publik tersebut maupun tidak. Untuk itu, pengenaan sanksi pidana tidak hanya berlaku kepada seseorang yang berdagang pengaruh, tetapi juga perantaranya (broker).

Kelima, merujuk pada Julia Philipp (2009) dalam The criminalisation of trading in influence in international anti-corruption laws, bahwa frasa “keuntungan yang tidak seharusnya” menunjukkan bahwa UNCAC mencakup lingkup yang luas dari insentif yang dijanjikan atau ditawarkan kepada pejabat publik atau orang lain. Sementara itu, bentuk keuntungan yang tidak seharusnya bisa terdiri dari 2 bentuk, yaitu jabatan dan atau keuntungan materiil.

Berdagang pengaruh tidak sama dengan suap dan gratifikasi

Sepintas, rumusan Pasal 18 UNCAC ini sangat mirip dengan rumusan pidana suap dalam Pasal 5 ataupun Pasal 12 tentang gratifikasi UU Tipikor sekarang. Namun, sebenarnya rumusan tentang pidana perdagangan pengaruh lebih luas dari rumusan pidana suap karena “menyangkut penyalahgunaan pengaruh yang nyata atau dapat diperkirakan (real or supposed influence), bukan “berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan kemauan pemberi suap”.

Misalnya, kasus perubahan kebijakan di Kementerian Pertanian tahun 2014 tidak lepas dari peran ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat itu, Luthfi Hasan Ishaq, yang berkomunikasi dengan Menteri Pertanian yang tengah menjabat, Suswono, yang faktanya adalah anggota partai yang dipimpin LHI. Kasus ini sebenarnya masuk kategori tindak pidana berdagang pengaruh aktif, karena melibatnya seorang pejabat publik yang menawarkan pengaruhnya untuk keuntungan pihak tertentu.

Dalam kasus Rio Capella dapat dibuktikan bahwa dia menawarkan “pengaruh” dalam bentuk komunikasi dengan Jaksa Agung saat itu, M. Prasetyo, yang adalah juga rekan satu partainya. Dengan tawaran itu, pihak swasta bersedia untuk memberikan sejumlah dana untuk melanjutkan pengurusan terhadap kasus-kasus korupsi yang sedang diproses oleh Kejaksaan Agung. Bentuk penawaran dari Capella dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR aktif bisa dikategorikan sebagai tindak pidana berdagang pengaruh aktif.

Baca juga: Ibu Pencuri Susu Ditahan, Koruptor Jadi Penyintas: Hidup Di Negeri Korupsi yang Buat Emosi

Ada beberapa alasan mengapa masih banyak negara yang belum atau tidak mengatur delik perdagangan pengaruh secara khusus, termasuk Indonesia, Swedia, Denmark hingga negara-negara di Asia dan Afrika.

Alasan pertama adalah karena negara-negara ini merasa telah memiliki ketentuan delik suap dan konsep penyertaan atau gratifikasi. Padahal, delik suap dan gratifikasi tidak selalu mengakomodasi unsur pidana berdagang pengaruh. Alasan kedua karena pengaturan pidana berdagang pengaruh seringkali kabur dan tidak jelas unsurnya.

Sebagaimana dicatat dalam kajian KPK yang mengutip Indonesian Corruption Watch (2014), sekurang-kurangnya terdapat 4 hal perbedaan penting antara delik suap dan delik berdagang pengaruh.

  1. Penerima undue advantage bukanlah pengambil keputusan (atau pejabat publik) itu sendiri.
  2. Dalam delik berdagang pengaruh, penerima undue advantange itu bukan pihak yang diharapkan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam kaitan dengan tugas atau kewajiban jabatannya.
  3. Dalam delik berdagang pengaruh, pihak pengambil keputusan sendiri sangat dimungkinkan tidak menyadari telah terjadinya tindak pidana.
  4. Target utama dari delik berdagang pengaruh bukan pengambil keputusan, namun pengambil keputusan itu yang melakukan segala cara untuk mengambil undue advantage atas keputusan-keputusan pejabat publik.
Unsur pidana berdagang pengaruh

Beberapa unsur yang membentuk suatu tindak pidana perdagangan pengaruh dapat terjadi antara lain adanya subjek tindak pidana (pemberi dan penerima undue advatange), perbuatan yang dilarang, dan keuntungan yang tidak seharusnya.

Yang penting ditekankan adalah unsur “in order that the public official or the person abuse his or her real or supposed influence”, yang artinya harus dapat dibuktikan bahwa “berdasarkan fakta-fakta objektif terkait dengan penerimaan oleh pihak yang berdagang pengaruh ada korelasinya dengan sebuah kesepakatan dengan pemberi undue advantage”.

Dalam konteks Indonesia, tindak pidana berdagang pengaruh, baik yang aktif maupun pasif, harus diatur dan tetap menekankan pada unsur kesengajaan sebagai “maksud” (opzet als oogmerk) sebagaimana yang telah diatur dalam UNCAC.

DPR bersama pemerintah perlu segera menindaklanjuti draft revisi UU Tipikor yang telah memasukkan rumusan pidana berdagang pengaruh sebagai bentuk tindak pidana korupsi. Meminjam logika Sudarto (1981) tentang politik hukum pidana, maka kriminalisasi tindakan berdagang pengaruh adalah untuk membangun aturan tipikor yang lebih baik dan mampu memberikan efek jera.

Ada ungkapan Romawi kuno yang mengatakan: “fumo punitur qui fumum vendidit” – sesuatu yang diperdagangkan bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan yang sama sekali kabur yaitu pengaruh. Namun, hal yang tidak jelas bukan berarti tidak bisa diatur. Ini soal kemauan.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Petrus Richard Sianturi

Pengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!