Tilik the Series (foto: Wikipedia)

‘Tilik the Series’, Perempuan Tak Lagi Diceritakan Sebagai Tukang Ghibah, Tapi Sebagai Pemimpin

Film 'Tilik' (2018) pernah bikin heboh. Film ini dulu dianggap kocak sekaligus menyesakkan. Akting para pemain yang memikat, seru, menggemaskan, namun membuat sesak karena penuh stereotipe perempuan. Bagaimana dengan series-nya di TV yang tayang mulai Maret 2023 ini?

Sosok Bu Tejo dan sejumlah perempuan dalam filmTilik‘ (2018) membuat kita perlu melihat kembali bagaimana perempuan direpresentasikan dalam media, khususnya di film.  Ada berbagai macam stereotipe yang disematkan pada perempuan: sebagai biang gosip atau tukang ghibah, tidak rasional dan senang membuat simpang-siur informasi.

‘Tilik’ (2018) merupakan film pendek karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo. Berdasarkan film ini, ‘Tilik‘ kemudian dijadikan serial delapan episode yang tayang mulai 31 Maret 2023 di WeTV. 

Film pendek Tilik bercerita tentang sekelompok perempuan dari desa yang pergi ke kota untuk menjenguk Ibu Lurah. Dalam perjalanan menggunakan truk tersebut, mereka bergosip tentang Dian, seorang perempuan muda di desa.

Film pendek ‘Tilik‘ sempat  menghasilkan debat publik, tidak hanya terkait representasi perempuan dan femininitas dalam film, tapi juga feminisme secara umum. Feminis seperti Intan Paramaditha mengkritik film pendek tersebut. Menurutnya, ‘Tilik‘ memperkuat stereotipe perempuan sebagai tukang gosip, cerewet, tidak memiliki literasi media yang baik, dan penyebar hoaks. 

Malah di bagian penutup film di tahun 2018 itu, melalui Dian yang dianggap sukses oleh keluarganya di desa, tapi ternyata ia menjadi perempuan yang selingkuh, film ‘Tilik’ seolah ingin mengatakan kalau perempuan tidak bisa sukses dengan usahanya sendiri.

Baca Juga: Film ‘Barbie’ Mengusung Isu Feminisme dan Menangkal Stereotipe Perempuan

Berbeda dari film pendeknya yang berfokus secara umum pada semua perempuan desa. Serial ‘Tilik’ lebih berfokus pada tokoh yang paling viral, yakni Bu Tejo, dan bagaimana perjuangan para perempuan jadi pemimpin di desa.

Dalam film pendek, Bu Tejo digambarkan sebagai perempuan yang suka bergosip dan tukang nyinyir. Di sisi lain, perkataannya sebetulnya mengandung kebenaran dan ia kerap mengingatkan ibu-ibu untuk mengecek informasi dua kali agar tidak tidak terjebak hoaks.

Dalam serial TV, sisi positif Bu Tejo (Siti Fauziah) atau Asriningtyas, lebih ditonjolkan. Tak hanya suka nyinyir, ia juga ditampilkan cekatan dalam memberi pertolongan ke teman-temannya dan ke seluruh warga desa. Ia bahkan tidak mengungkit-ngungkit atau menagih kembali kebaikannya.

Tilik the Series’ Ceritakan Sulitnya Perempuan jadi Pemimpin

Serial ‘Tilik’ bermula dari bagaimana warga di desa yang mulai mempersiapkan pemilihan kepala desa yang baru, karena ibu kepala desa yang lama sudah akan purna tugas. Pak Tejo (Ibnu Widodo) yang cukup terpandang di desa, menjadi salah satu orang yang berambisi untuk menjadi kepala desa selanjutnya. Ia pun meminta pertolongan istrinya, Bu Tejo, untuk mengumpulkan tim sukses dan dukungan sebanyak mungkin.

Mulanya Pak Tejo memiliki dua pesaing utama, yakni Bu Lurah petahana dan Suhartono (Seteng Sadja). Bu Lurah sebetulnya tidak lagi ingin melanjutkan kepemimpinannya karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Sementara itu, Hartono, yang merupakan teman masa kecil Tejo, melakukan segala cara untuk bisa menang, termasuk meminta Tejo menjadi calon boneka.

Karena terpantik oleh Hartono, niat Pak Tejo mencalonkan diri sebagai kepala desa pun berbelok. Ia tak lagi ingin mengabdi pada warga. Alih-alih, ia hanya ingin mengalahkan Hartono dengan mendapatkan kekuasaan sebagai kepala desa.

Pada pertengahan serial, ‘Tilik’ menyiapkan kejutan yang cukup menarik. Melalui kejutan ini, serial ‘Tilik’ mencoba menunjukkan kesulitan perempuan saat ingin menjadi pimpinan atau kepala daerah. Pasalnya saat ini posisi ini masih didominasi oleh laki-laki.

Baca Juga: Film ‘Cross the Line’, Janji Manis Penyalur Kerja dan Isu Perdagangan Orang 

Di tengah masyarakat yang patriarkis, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, perempuan akan  berhadapan dengan berbagai tantangan. Pertama-tama, mereka kerap ditentang oleh anggota keluarga mereka sendiri. Seperti ayah atau suami, yang khawatir kerja-kerja domestik di rumah akan terbengkalai. Pasalnya kerja-kerja domestik ini dianggap wajib dilakukan oleh mereka sebagai perempuan.

Selain itu, perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah juga berpotensi menghadapi maskulinitas toksik yang tercermin dalam praktik-praktik kampanye yang tidak sehat. Dalam masyarakat patriarkis, maskulinitas toksik membuat laki-laki merasa harus lebih kuat, lebih berkuasa, dan menang dari laki-laki lain. Termasuk dalam pemilihan umum. Akhirnya, mereka kerap melakukan berbagai cara. Seperti memberikan uang kepada masyarakat, memfitnah lawan politik, dan menyogok lembaga yang berwenang mengatur pemilu untuk menang.

Dalam serial ‘Tilik’, perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah juga diserang kehidupan personalnya. Lawan politiknya membuat narasi bahwa mengabdi pada masyarakat tidak lebih baik daripada kerja-kerja domestik dan merawat anak di rumah. Jika pernikahan perempuan tersebut sedang tidak baik-baik saja, lawan politiknya juga akan mengungkitnya. Dengan mengatakan bahwa ia tidak layak menjadi kepala daerah karena tidak bisa mempertahankan keharmonisan keluarga.

Namun, dengan keberpihakannya pada perempuan, serial ‘Tilik’ menampilkan dukungan yang perlahan diberikan oleh laki-laki di sekitar ibu yang ingin menjadi kepala daerah. Dukungan ini menjadi penguat dan mematahkan kampanye negatif yang dihadapi perempuan.

Perempuan dan Kampanye Sehat

Dalam serial ‘Tilik’, perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah digambarkan tidak securang laki-laki dalam berkampanye. Alih-alih menggunakan uang, calon kepala daerah perempuan mengkomunikasikan kepada seluruh warga tentang rencana-rencana kebijakannya apabila terpilih sebagai kepala daerah. 

Serial ‘Tilik’ menunjukkan bahwa calon kepala daerah perempuan bisa menghasilkan kebijakan yang baik tidak hanya bagi warga laki-laki, tapi juga bagi warga perempuan. Pasalnya, di bawah kepemimpinan perempuan, program pemberdayaan perempuan juga menjadi fokus utama.

Kita juga dapat melihat solidaritas sesama perempuan dalam serial ‘Tilik’. Para perempuan, yang terdiri dari ibu-ibu, bergotong royong mendukung kampanye teman perempuan mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka percaya, kepala daerah perempuan juga sama mumpuninya dengan kepala daerah laki-laki.

Pada akhirnya, perempuan tak lagi dilekatkan pada stereotipe sebagai sosok yang suka bergosip, cerewet, dan tidak bisa menyaring informasi. Di sini, perempuan juga diceritakan bisa jadi apapun yang ia ingin dan sanggup lakukan. Termasuk jadi kepala daerah yang mengambil kebijakan yang berdampak positif bagi perempuan lain dan masyarakat.

Sumber foto: Wikipedia

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!