Penjelasan istilah saksi korban dalam laporan kasus KDRT.

Apa yang Dimaksud Saksi Korban dalam Pelaporan Kasus KDRT?

Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) tak jarang yang masih kebingungan untuk memulai proses pelaporan ke kepolisian. Ada istilah-istilah hukum yang tak semua orang tahu, seperti saksi korban. Berikut penjelasannya.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Saya Dewi. Dua tahun lalu, suami saya marah dan memukul saya hingga bagian lengan dan punggung saya memar kebiruan baru hilang setelah hampir dua minggu. Sewaktu dipukul, saya menangis tapi saya tidak tahu apakah tetangga sebelah rumah saya mendengar atau tidak. Saya tidak melaporkannya ke polisi karena takut dan bingung. Soalnya, ketika suami memukul hanya ada saya, suami dan anak saya yang masih TK yang menangis ketakutan saat melihat kejadian di rumah. Dengar-dengar kalau ingin melapor polisi harus membawa saksi korban. Apakah yang dimaksud adalah saya sebagai korban atau saksi lain yang dibawa korban? Dan apakah anak saya juga akan dijadikan saksi?

Jawab:

Halo Ibu Dewi. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Kami turut prihatin atas kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Anda. Sebelumnya menjawab pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan terkait pemukulan yang dilakukan oleh suami Anda kepada Anda merupakan salah satu bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 

Pahami Pemukulan Suami Kepada Istri adalah Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Juga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. 

Karakteristik kekerasan dalam rumah tangga yaitu terjadi dalam relasi di ranah personal. Pelaku biasanya merupakan orang terdekat korban dan korbannya kebanyakan perempuan. Relasi personal inilah yang menjadi salah satu hambatan. Utamanya, korban seringkali sulit melaporkan kekerasan yang terjadi karena takut akan merusak kestabilan dalam rumah tangga. 

Negara berupaya menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, juga menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Bunyi aturannya sebagai berikut:

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Baca Juga: Suami KDRT, Bisakah Saya Gugat Cerai dan Tuntut Harta Bersama?

Lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT meliputi (Pasal 2 UU PKDRT):

a.  Suami, istri, dan anak; 

b.  Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau 

c.  Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja tersebut dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga (Pasal 5 UU PKDRT).

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 UU PKDRT). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) (Pasal 44 ayat 1 UU PKDRT).

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 UU PKDRT). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) (Pasal 45 ayat 1 UU PKDRT).

Dalam kasus ini, suami Anda yang masuk pada lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT, telah melanggar larangan kekerasan dalam rumah tangga. Sebab, terjadinya pemukulan menyebabkan rasa sakit karena luka memar (kekerasan fisik) dan menimbulkan ketakutan dalam diri Anda setelah pemukulan (kekerasan psikis). 

Setelah Anda memahami ini, Anda dapat melaporkannya kepada pihak yang berwenang atau mencari layanan medis maupun psikologis sesuai dengan kebutuhan Anda.

Alat Bukti dan Proses Pelaporan KDRT

Pasal 1 angka 24 KUHAP menyebutkan, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Merujuk pada Pasal 1 angka 24 KUHAP, setelah Anda memahami bahwa pemukulan tersebut merupakan tindak pidana KDRT. Anda sebagai korban KDRT berhak melaporkan secara langsung atau dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara (Pasal 26 UU PKDRT). 

Dalam pelaporan tindak pidana kepada pihak kepolisian, korban/ kuasa korban dapat langsung ke Sentra Layanan Kepolisian Terpadu (SPKT) tingkat Polres. Lokasinya sesuai tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Mengingat terdapat beberapa Polsek kewenangannya hanya untuk Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat pada Daerah Tertentu (tidak melakukan penyidikan).

Pada pertanyaan disampaikan bahwa Anda mendengar pelaporan kepolisian perlu membawa saksi korban. Perlu dipahami yang dimaksud saksi korban adalah saksi yang merupakan korban tindak pidana karena mendengar, melihat, dan mengalami sendiri peristiwa tersebut. 

Baca Juga: Film ‘Thappad’: Perjuangan Perempuan Melawan Normalisasi KDRT

Jadi, dalam kasus ini, Anda adalah saksi korban. Jika ada, Anda dapat membawa saksi yang melihat, mendengar atau mengetahui kejadian tersebut. Namun, jika tidak ada, bisa mencari alat bukti lainnya. 

Pada kasus KDRT, sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (Pasal 55 UU PKDRT). 

Idealnya pada kasus KDRT, alat bukti yang dibutuhkan adalah keterangan saksi korban dan Visum et Repertum (untuk membuktikan adanya luka yang diakibatkan kekerasan fisik). Permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti yang membuktikan bahwa Anda mengalami tindak pidana KDRT.

Selanjutnya, terkait Anak Anda yang melihat dan berada dilokasi kejadian, kemungkinan akan dimintai keterangan dengan didampingi oleh psikolog anak. Namun, tidak akan dijadikan saksi tindak pidana di bawah sumpah. Mengingat masih berusia dibawah 18 tahun sehingga pertanggung jawabannya belum sempurna. Keterangan yang diperoleh Anak Anda biasanya akan digunakan sebagai petunjuk.

Namun, dalam kasus Anda, sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan Anda sendiri sebagai saksi/korban. Disertai dengan alat bukti yang sah lainnya, misalnya keterangan tetangga Anda jika ia melihat/ mendengar kejadian bisa menjadi saksi. Perlu pula keterangan Suami Anda sebagai Terlapor, keterangan ahli, surat medis dari rumah sakit jika Anda pernah berobat setelah kekerasan terjadi, foto luka/ bekas luka yang Anda simpan, atau petunjuk lainnya. 

Mengingat KDRT terjadi dua tahun lalu, mungkin Anda baru merasa yakin dan siap untuk melaporkannya kepada Pihak Kepolisian. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu Anda pertimbangkan. Apakah setelah kejadian Anda menyimpan atau mendokumentasikan bukti, seperti foto luka atau Bekas luka. Selanjutnya, Terkait keterangan saksi, dengan terbatasnya ingatan seseorang bisa jadi saksi kesulitan mengingat sebagian atau seluruh peristiwa. Hal tersebut dapat menjadi hambatan penanganan KDRT yang Anda laporkan.

Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Melaporkan KDRT yang dilakukan oleh Suami memang bukan hal mudah. Belum lagi, waktu kejadian yaitu dua tahun lalu mungkin bisa menjadi kendala pelaporan. 

Pertanyaan Anda terkait KDRT yang terjadi dua tahun lalu, bisa jadi merupakan indikasi trauma yang disebabkan KDRT. Selain pelaporan, hal yang tidak kalah penting adalah pemulihan diri Anda sebagai Korban. 

Kami menyarankan Anda untuk mengakses layanan psikolog. Saat ini sudah banyak Lembaga yang menawarkan konsultasi psikolog gratis. Ini berguna agar Anda dapat mengelola dan menyembuhkan trauma atas KDRT sehingga Anda dapat pulih dan melanjutkan kehidupan Anda.

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!