Film ‘Oppenheimer’: Kisah ‘Bapak Bom Atom’ dan Penyesalan Dampak Buruk Perang

Film karya Christopher Nolan mengisahkan tentang kehidupan sosok J. Robert Oppenheimer. Ia adalah ‘Bapak Bom Atom’ yang belakangan menyadari senjata nuklir yang diciptakannya, mempelopori pemusnahan umat manusia.

Sebuah kutipan muncul dan terngiang-ngiang bahkan hingga usai menonton film ‘Oppenheimer‘.

“Sekarang aku menjadi Kematian, penghancur dunia.”

Kutipan dari kitab Bhagavad Gita itu secara ringkas menggambarkan ‘Bapak Bom Atom’ J. Robert Oppenheimer. Kisahnya diurai selama tiga jam melalui film yang tayang di bioskop sejak 19 Juli 2023 itu.

Film tersebut menyedot perhatian penonton sejak beberapa waktu terakhir. Pertama, karena dibuat oleh sutradara kawakan Christopher Nolan, sosok di balik film sci-fiInterstellar’ dan ‘Tenet’. Kedua, karena ia dirilis di hari yang sama dengan film box office lainnya, ‘Barbie’. Ketiga, karena sesuai judulnya, ia mengisahkan kehidupan ilmuwan ternama AS, J. Robert Oppenheimer, pencipta bom atom yang jadi bagian penting dalam sejarah Perang Dunia II.

‘Karya fenomenal’ Oppenheimer mungkin lebih familier ketimbang namanya sendiri. Bom atom buatannya digunakan Amerika Serikat (AS) untuk menyerang kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada Agustus 1945. Bagi Indonesia, ada cerita tersendiri usai pengeboman itu. Jepang menyerah di Perang Dunia II, lalu Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya di tanggal 17 Agustus 1945.

Tapi bagi Oppenheimer dan AS, kisah sebelum dan setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki lebih dari sekadar cerita kemenangan perang. 

Dalam film ‘Oppenheimer’, Christopher Nolan membawa penonton menyelami kisah Robert Oppenheimer lebih dalam. Berawal dari gagasan fisi nuklir, ia menggebrak dunia dengan menciptakan bom atom, dihantui kengerian setelahnya, hingga ‘dibuang’ oleh negaranya sendiri yang mencurigainya sebagai mata-mata komunis selama Perang Dunia II.

Tentang J. Robert Oppenheimer

Oppenheimer’ merupakan karya terbaru sutradara Christopher Nolan. Film biopik ini dibuat berdasarkan buku ‘American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer’ yang ditulis Kai Bird dan Martin J. Sherwin.

Film tersebut dikemas agak berbeda dari kebanyakan film biopik atau sejarah lainnya yang berjalan runut. Christopher Nolan mengemas lini masa kehidupan J. Robert Oppenheimer (diperankan Cillian Murphy) secara mondar-mandir: dari masa kini, ke masa lalu, kembali ke masa sekarang, dan seterusnya. 

Pasang-surut kisah hidupnya juga dimainkan lewat alunan musik hingga ilustrasi visual. Selain itu, film ‘Oppenheimer’ tidak semata-mata membahas soal senjata nuklir dan bom atom dalam tiga jam penayangannya.

Kehidupan ilmuwan tersebut ‘dikuliti’. Bukan hanya dari perspektifnya sendiri, tapi juga berdasarkan sudut pandang Ketua Komisi Energi Atom (AEC) AS Lewis Strauss (diperankan Robert Downey Jr.). Belakangan terungkap, Strauss punya dendam pribadi terhadap Oppenheimer. Itulah yang membuatnya berupaya keras untuk menjatuhkan reputasi Oppenheimer, dengan menudingnya sebagai mata-mata komunis.

Tuduhan tersebut bukan tanpa alasan. Oppenheimer memang diketahui berafiliasi erat dengan tokoh-tokoh komunis. Beberapa di antaranya yaitu adiknya, Frank; istrinya, Kitty; serta pacar sekaligus selingkuhannya –Jean Tatlock. 

Tidak hanya itu, meski bersikeras bahwa dirinya tidak terlibat dalam politik, ia sering menyumbang untuk pasukan di Perang Saudara Spanyol, yang menghadapkan pemerintah ‘kiri’ Republik Spanyol dengan pasukan pemberontak Nasionalis.

Baca Juga: ‘Soulmate’, Ini Tidak Cuma Tentang Love Triangle, Tapi Juga Persahabatan Perempuan

Film ‘Oppenheimer’ pun dibuka dengan menampilkan Oppenheimer tua yang sedang menjalani sidang dengar pendapat mengenai aktivitas politiknya. Kemudian lini masa ceritanya mundur ke era ketika Oppie—panggilan akrab Oppenheimer—masih muda. 

Oppenheimer adalah mahasiswa Universitas Cambridge yang tidak bahagia di sana. Hubungannya dengan Patrick Blackett yang menjadi mentornya di Cambridge juga buruk. Ia bahkan pernah memasukkan cairan kimia beracun ke dalam buah apel di meja kerja Blackett. Meski demikian, ia segera sadar akan perbuatannya.

Diceritakan di film, saat belajar di Cambridge, Oppenheimer mengikuti salah satu kelas ilmuwan Niels Bohr. Ketertarikan Oppie terhadap teori fisika membuat Bohr merekomendasikannya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Gottingen, Jerman. 

Di sana, Oppenheimer bertemu sosok-sosok yang juga dikenal sejarah nantinya, termasuk Werner Heisenberg. Rupanya beberapa tahun setelah itu, Heisenberg bekerja untuk Nazi dalam proyek pengembangan bom atom mereka saat Perang Dunia II. 

Dirinya lalu kembali ke Amerika dan mengajar di Universitas California, usai lulus dari Gottingen.

The Manhattan Project’: Adu Senjata Nuklir di Perang Dunia II

Perang Dunia II barangkali menjadi momen ketika dunia, untuk pertama kalinya, dihadapkan pada potensi perang senjata nuklir.

Sejarah mengajarkan kita bahwa Perang Dunia II melibatkan dua aliansi militer besar. Poros (termasuk Jerman, Jepang, dan Italia) dan Sekutu (mencakup AS, Britania Raya, Uni Soviet, Perancis, dan Republik Tiongkok).

Pada 1939, Einstein dan Leo Szilard menulis surat untuk Presiden AS Franklin D. Roosevelt. Mereka memperingatkan bahwa Jerman di bawah Nazi mungkin sedang meneliti dan mengembangkan bom atom. Mereka pun merekomendasikan pemerintah AS untuk memulai program nuklirnya sendiri. 

Desakan itulah yang menjadi awal lahirnya ‘The Manhattan Project’; proyek pengembangan bom atom yang melibatkan J. Robert Oppenheimer.

Dalam film ‘Oppenheimer’, ketika mengetahui Jerman menemukan potensi senjata nuklir, Robert Oppenheimer awalnya ragu. Sebab, berdasarkan teorinya, mestinya reaksi fisi nuklir mustahil terjadi. Namun hipotesisnya terbantahkan saat mahasiswanya melakukan pengujian: fisi nuklir dapat menimbulkan reaksi berantai, sehingga bom atom sungguh dapat diciptakan. 

Oppenheimer dan sejumlah ilmuwan pun langsung membayangkan prospek terburuk—bom nuklir sebagai senjata baru dalam peperangan.

Baca Juga: ‘Tilik the Series’, Perempuan Tak Lagi Diceritakan Sebagai Tukang Ghibah, Tapi Sebagai Pemimpin

AS pun lantas membentuk ‘The Manhattan Project’ untuk penelitian dan pengembangan senjata nuklir. Mayor Jenderal Leslie Groves, yang memimpin proyek tersebut, meminta Oppenheimer untuk bergabung. Oppie memutuskan untuk mendirikan laboratorium proyek sekaligus kota ‘mini’ di Los Alamos, New Mexico. Mereka juga merekrut ilmuwan-ilmuwan lain untuk mengembangkan senjata nuklir pertama di dunia.

Bagi AS, senjata nuklir tidak boleh sampai dimiliki Jerman duluan karena mereka adalah musuh dalam peperangan. Bagi Oppenheimer, seorang Yahudi, penentangan itu lantaran Nazi telah menindas bangsanya.

Di sisi lain, Einstein justru dilanda dilema saat membayangkan dampak berkepanjangan bom atom. Ketika Oppenheimer mengerjakan proyek bom atom Manhattan, Einstein tidak bergabung dalam tim. Tapi mereka masih saling bertukar pemikiran di film ‘Oppenheimer’. Einstein juga memperingatkan Oppie atas efek mengerikan bom atom terhadap dunia.

Kesadaran itu membuat Einstein menandatangani manifesto bahaya bom atom di tahun 1955, beberapa waktu sebelum kematiannya. Kendati demikian, tindakannya barangkali terlambat—bom atom sudah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. 

Beberapa tahun setelah itu, AS juga mengembangkan bom hidrogen, yang ditentang oleh Oppenheimer. Perang senjata nuklir sungguhan terjadi—dan dunia bisa hancur setiap saat karenanya.

Bom Atom dan Penyesalan Oppenheimer

Dukungan terhadap proyek bom atom AS, yang dikembangkan Oppenheimer, sempat surut di pengujung Perang Dunia II. Kematian Hitler membuat banyak orang yakin, perang itu seharusnya tidak berlanjut lagi. Selain itu, desas-desus bahwa jumlah korban sipil akan jauh lebih banyak, membuat berbagai pihak cemas.

Namun bagi Oppie, proyek itu mesti tetap dilanjutkan karena perang belum berakhir. Alih-alih menyasar Jerman, AS memutuskan untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki sebagai ‘peringatan’ bagi Jepang.

Oppenheimer dan laboratorium Los Alamos pun menyelesaikan model bom atom mereka. Uji ledakan dilakukan beberapa kali di sana, sampai mereka melakukan pengujian terakhir dengan skala yang jauh lebih besar. Proyek pengujian terakhir itu dinamakan ‘Trinity’ dan dilakukan pada 16 Juli 1945. 

Dampaknya sesuai bayangan: terjadi ledakan cahaya yang menyilaukan, lalu keheningan mencekam, diakhiri dengan dentuman besar dan menghancurkan. 

Dalam proses pembuatan film tersebut, Christopher Nolan memutuskan untuk menggunakan ledakan sungguhan alih-alih menggunakan teknologi grafis komputer untuk efek audio visual, CGI (Computer Graphic Images)

Penonton dibawa pada kesunyian menyesakkan selama nyaris semenit saat bom ‘Trinity’ meledakkan cahaya, lalu disusul dentuman kencang.

Trinity’ menjadi proyeksi ledakan bom atom yang akhirnya terjadi di Hiroshima dan Nagasaki. Bom atom itu menjadi salah satu kenangan terburuk sejarah dunia.

Baca Juga: Film ‘Barbie’ Mengusung Isu Feminisme dan Menangkal Stereotipe Perempuan

Film buatan Christopher Nolan itu tidak menunjukkan detik-detik nyata ketika AS menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Namun tetap saja, mengingat bahwa peristiwa pengeboman itu jadi sejarah paling kelam bagi Jepang, film tersebut tidak ditayangkan di sana. Akhir-akhir ini, masyarakat Jepang juga protes di media sosial terhadap film ‘Oppenheimer‘ dan tren julukan ‘Barbenheimer‘—gabungan antara film ‘Barbie‘ dan ‘Oppenheimer‘, yang rilis di tanggal bersamaan. Menurut mereka, ‘Oppenheimer‘ buruk dan tidak menghargai sejarah kelam negara mereka.

Memang, bom atom tersebut menimbulkan dampak yang masif bagi Jepang, terutama karena kebanyakan korbannya adalah masyarakat sipil. Ratusan ribu orang meninggal dunia dan mengalami cacat permanen akibat senjata nuklir itu.

Christopher Nolan tidak menampilkan adegan itu lebih karena Oppenheimer memang tidak tahu persis dampak ‘karya’nya pada saat kejadian. 

Ia hanya mendengarkan pengumuman bahwa bom telah dijatuhkan melalui siaran radio. Dalam film itu, Nolan menunjukkan bagaimana perasaan bangga dan lega sang ilmuwan yang berangsur-angsur menjadi kengerian dan teror. 

Ketika ilmuwan itu menyampaikan pidato kesuksesannya di Los Alamos, Ia seperti melihat visualisasi atas dampak bom atom terhadap umat manusia di depan matanya.

Prometheus mencuri api dari para Dewa dan memberikannya kepada manusia. Lalu dia dihukum rantai di batu untuk selamanya.

J. Robert Oppenheimer pun menyadari satu hal: ia telah menciptakan senjata pemusnah umat manusia.

Baca Juga: Film ‘Cross the Line’, Janji Manis Penyalur Kerja dan Isu Perdagangan Orang 

Oppenheimer mungkin tidak pernah meminta maaf atas ciptaannya yang mematikan. Tapi ia terus dihantui bayangan akibat bom atom buatannya. Ledakan cahaya besar yang mencekam sebelum ledakan sesungguhnya. Kulit-kulit manusia yang mengelupas. Jasad yang gosong. Efek kimiawi beracun yang bertahan lama pada korbannya.

Namun, di film ‘Oppenheimer’, Strauss menekankan bahwa Oppie pada akhirnya memutuskan untuk berkompromi dengan dosa besarnya itu. Ia menerima julukan sebagai penemu bom atom dan hidup dengan ketenaran atas status itu. Kendati demikian, ilmuwan itu tidak lantas mendukung gagasan bom hidrogen dari sejawatnya, Edward Teller, yang hendak dikembangkan AS usai kesuksesan bom atomnya. 

Menurut Oppie, bom hidrogen memiliki daya hancur yang lebih berbahaya ketimbang bom atom, dan bakal menimbulkan lebih banyak korban. Namun masukannya diabaikan.

Setelah namanya dikenal sebagai ‘bapak bom atom’, kepada Presiden AS, Oppenheimer pernah mengatakan, “Aku bisa merasakan darah di tanganku.”

Film ini mungkin rumit bagi sebagian orang. Tapi alih-alih sekadar film sains-fiksi edgy‘, kita bisa melihat film ini sebagai refleksi sejarah dunia. 

Oppenheimer’ adalah film tentang pertentangan antara ilmu dan moral. Ia mengisahkan penciptaan karya ilmiah besar yang, pada akhirnya, membuka babak baru kehancuran dunia.

(Sumber foto: IG Official film ‘Oppenheimer’)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!