Gerakan Chipko Menginisiasi Perempuan Untuk Menyelamatkan Lingkungan di India

Di belahan bumi selatan, ada banyak nama-nama perempuan pejuang lingkungan. Di India, ada mama-mama yang melakukan gerakan Chipko, yaitu gerakan memeluk pohon agar hutan mereka tidak dibakar oleh pemerintah India dan kolonial Inggris yang waktu itu menjajah India.

Gerakan Chipko dilakukan para perempuan di India untuk melawan penebangan hutan yang makin tak terkendali.

Sejumlah perempuan di India bersama para aktivis perempuan kemudian memperjuangkan agar tanah mereka tak diserobot, karena perjuangan ini adalah untuk alam dan untuk anak-anak mereka.

Sejumlah perempuan berikut adalah mereka yang memperjuangkan gerakan Chipko dan berbagai gerakan perempuan untuk menyelamatkan lingkungan mereka di India.

1.Amrita Devi Bishnoi

Gerakan lingkungan di India yang diinisiasi para perempuan tercatat sudah dimulai sejak tahun 1730 M, salah satunya yang terjadi desa Khejarli dekat Jodhpur di Rajasthan.

Amrita Devi dan ketiga putrinya yang masih kecil mengorbankan nyawa mereka dalam upaya untuk melindungi beberapa pohon Khejri. Penebangan pohon Khejri ini atas perintah Maharaja Abhay Singh untuk membuka jalan bagi istana barunya.

Hal ini menyebabkan perlawanan dari penduduk desa di mana 363 orang tewas saat mencoba menyelamatkan pohon.

Amrita Devi memprotes anak buah Raja yang mencoba menebang pohon Khejri. Amrita melakukan ini atas dasar kepercayaannya dalam agama Bishnoi. Pihak kerajaan mengatakan kepadanya bahwa jika dia ingin pohon-pohon itu “diampuni”, dia harus memberi mereka uang sebagai suap. Dia menolak membayar dan memberi tahu mereka bahwa itu adalah tindakan yang memalukan dan menghina keyakinan agamanya. Amrita berkata bahwa dia lebih baik menyerahkan hidupnya untuk menyelamatkan pohon Khejri.

Amrita langsung menyodorkan kepalanya, dan pasukan kerajaan memotong kepalanya dengan kapak. Ketiga anak perempuannya Asu, Ratni dan Bhagu yang melihat hal itu tidak gentar dan juga menawarkan kepala mereka.

Baca Juga: Penutupan Kartini Conference ‘KCIF 2023’, Inklusivisme Harus Jadi Landasan Perubahan Kebijakan Perempuan

Kejadian itu membuat para Bishnois (penganut agama Bishnoi) berkumpul dan memanggil penduduk di 83 desa Bishnoi untuk datang dan memutuskan tindakan selanjutnya. Karena pengorbanan nyawa oleh Amrita dan anak-anaknya tidak menghentikan rombongan kerajaan untuk menebang pohon, maka diputuskan bahwa untuk setiap pohon yang akan ditebang, satu sukarelawan Bishnoi akan mengorbankan nyawanya. Mereka siap mengorbankan nyawanya sambil memeluk pohon yang akan ditebang. Hal ini juga dilakukan dalam gerakan Chipko abad ke-20 di Uttar Pradesh (India).

Tindakan pengorbanan mereka menarik perhatian banyak orang dan akhirnya menyebabkan pihak kerajaan menghentikan penebangan pohon.

Amrita Devi Bishnoi dan aksi-aksi heroiknya menjadi simbol perlawanan terhadap eksploitasi alam dan pelestarian lingkungan hidup. Dia dihormati sebagai pahlawan lingkungan dan pionir dalam perlindungan alam. Pada tahun 1970-an, kenangan akan pengorbanan ini mengawali dimulainya gerakan Chipko .

2.Gaura Devi

Gaura Devi adalah seorang aktivis lingkungan yang terkenal karena perannya dalam Gerakan Chipko atau gerakan memeluk pohon di India.

Gerakan ini muncul pada tahun 1973 di daerah Chamoli, Uttarakhand, India, sebagai perlawanan terhadap penebangan pohon yang mengancam lingkungan dan mata pencaharian masyarakat lokal.

Gaura Devi adalah seorang perempuan dari desa Reni, Chamoli. Ketika itu, pemerintah setempat memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan untuk menebang pohon. tanggal 26 Maret 1973, ketika para penebang pohon sampai di desa Reni, Gaura Devi dan para perempuan desa segera ke hutan mendatangi para penebang pohon.  Sementara para laki-laki atau suami di desa mereka sibuk pergi ke kota untuk mendapat bayaran ganti rugi atas pohon itu.

Gerakan Chipko adalah gerakan Gandhi yang didasarkan pada prinsip-prinsip satyagraha tanpa kekerasan. Chipko berarti memeluk pohon yang dilakukan untuk mempertahankan lingkungan pedesaan dari perampasan.

Baca Juga: Apakah Benar Ketua Umum PBNU Memalingkan Wajah Dari Feminisme?

Monbagay menuliskan, gerakan ini terjadi di Garahwal Himalaya, sebuah wilayah dengan hutan lebat yang sejak lama menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal. Masyarajat di daerah itu memiliki tradisi budaya kuat menghormati alam, dengan ritual keagamaan yang ditujukan untuk pohon, sungai, gunung, dan dewa desa setempat. Hutan-hutan di India telah lama menjadi salah satu sumber daya paling penting di negara itu, menjamin mata pencaharian masyarakat yang tinggal di hutan dan pedesaan serta menjaga keseimbangan ekologis. Di bawah pemerintahan kolonial Inggris, undang-undang diperkenalkan – dikenal sebagai Undang-undang Hutan India tahun 1878 dan 1927- untuk memungkinkan pemerintah mengelola sumber daya alam. Undang-undang ini memberikan hak kepada negara untuk secara eksklusif mengontrol penggunaan kawasan tertentu, yang berdampak sangat negatif terhadap masyarakat

Sambil berdiri di depan pohon-pohon yang telah ditandai untuk ditebang, Gaura Devi berbicara kepada para laki-laki: “Saudara-saudara! Hutan ini adalah sumber penghidupan kita. Jika kalian menghancurkannya, bukit akan longsor ke desa kita.” Kemudian, ia berdiri di depan senjata yang diacungkan kepadanya. “Hutan ini memelihara kita seperti seorang ibu; kalian hanya akan bisa menggunakan kapak-kapak kalian jika kalian menembak saya terlebih dahulu.” Para perempuan menolak untuk memberikan jalan bagi para penebang pohon.

Karena para penebang bayaran itu aslinya adalah petani pegunungan dari Himachal Pradesh, mereka pun akhirnya memahami apa yang dikatakan Gaura Devi. Setelah tiga hari, mereka akhirnya mundur tanpa berhasil menebang pohon.

3.Vandana Shiva

Selain fisikawan, ahli ekologi, aktivis, dan penulis banyak buku, Vandana Shiva juga pendiri Navdanya, sebuah gerakan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan hak-hak petani. Dia juga mendirikan Research Foundation for Science, Technology and Natural Resource Policy. Shiva memperjuangkan pertanian dan pangan agar tidak dikuasai oleh perusahan-perusahaan raksasa. “Saya tidak ingin hidup di dunia di mana lima perusahaan raksasa mengendalikan kesehatan dan pangan kita” ujarnya.

Hak kekayaan intelektual, keanekaragaman hayati, bioteknologi, bioetika, dan rekayasa genetika adalah fokus Shiva dalam kampanye aktivismenya. Dari tahun 1970-an, dia berpartisipasi dalam gerakan tanpa kekerasan Chipko, yang didominasi perempuan. Shiva juga menjabat sebagai penasihat pemerintah di India dan luar negeri serta organisasi non-pemerintah, termasuk Forum Internasional tentang Globalisasi, Organisasi Pembangunan dan Lingkungan perempuan, Jaringan Dunia Ketiga, dan Jaringan Lingkungan Rakyat Asia Pasifik.

Tulisannya antara lain Staying Alive , The Violence of the Green Revolution , Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge , Monocultures of the Mind , Water Wars: Privatization, Pollution, and Profit , dan Stolen Harvest: The Hijacking of the Global Food Supply.

Baca Juga: Film ‘Barbie’ Mengusung Isu Feminisme dan Menangkal Stereotipe Perempuan

Dalam bukunya yang berjudul Staying Alive : Women, Ecology and Survival in India, Vandana Shiva berargumen bahwa dominasi terhadap perempuan dan degradasi lingkungan saling terkait, dan keduanya berakar pada nilai-nilai patriarkis. Ia mengambil pengalaman pribadinya sebagai petani dan aktivis lingkungan di India untuk menunjukkan bagaimana perempuan secara tidak adil terkena dampak degradasi lingkungan, dan bagaimana perempuan memimpin perjuangan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

Shiva melacak sejarah hubungan antara perempuan dan alam di India. Perempuan secara tradisional terkait dengan bumi, dan bahwa mereka telah memainkan peran sentral dalam mengelola dan melindungi sumber daya alam. Namun, hubungan ini telah terancam oleh kekuatan kolonialisme dan globalisasi.

Pemerintahan kolonial di India menyebabkan penghancuran sistem pertanian tradisional dan memakai teknologi baru yang seringkali merugikan lingkungan. Akibatnya mereka kehilangan akses terhadap tanah dan air, mereka terpapar racun lingkungan, dan mereka menanggung beban dampak perubahan iklim. Shiva mengajak para perempuan mengembangkan praktik pertanian yang lebih sejalan dengan alam, untuk melindungi pengetahuan dan praktik tradisional.

Shiva menuliskan bahwa perjuangan ini untuk keadilan gender. Ia mengajukan paradigma pembangunan baru yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, keberlanjutan, dan keragaman.

Baca Juga: Feminisme Berkontribusi Bongkar Sistem Patriarki Dalam Islam

Pada tahun 1993, dia menerima Right Livelihood Award, umumnya dikenal sebagai “Hadiah Nobel Alternatif”. Penghargaan lainnya termasuk Order of the Golden Ark, Global 500 Award dari PBB, Earth Day International Award, Lennon Ono Grant for Peace, dan Sydney Peace Prize 2010.

Perempuan selalu memiliki relasi yang dekat dengan alam. Dalam peran tradisional, perempuan sebagai pengasuh utama anak-anak dan keluarga, sering bertanggung jawab untuk mencari makanan, air, dan bahan bakar. Mereka juga yang paling merasakan dampak dari kerusakan lingkungan, karena mereka lebih rentan terhadap polusi, perubahan iklim, dan bencana alam.

Dalam sejarah, perempuan selalu terlibat dalam aktivisme lingkungan. Mereka memimpin perjuangan untuk melindungi hutan, sungai, dan lautan.

Ada alasan mengapa perempuan lebih terpanggil untuk menjaga lingkungan. Perempuan lebih cemas tentang dampak kerusakan lingkungan terhadap keluarga dan kelangsungan hidup mereka. Selain itu, perempuan sering memiliki perspektif yang berbeda tentang isu lingkungan dibandingkan laki-laki. Perempuan lebih cenderung melihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan isu-isu keadilan sosial seperti kemiskinan, kesenjangan gender, dan kekerasan terhadap perempuan.

Perempuan menghadapi banyak tantangan sebagai pejuang lingkungan. Mereka sering diabaikan karena laki-laki dianggap sebagai pemilik asset, termasuk juga lingkungan sekitar mereka seperti hutan dan sungai.

Lahirnya Ekofeminisme

Ekofeminisme adalah gerakan yang berusaha menghubungkan penindasan perempuan dan penindasan alam. Para ekofeminis berpendapat bahwa akar dari kedua bentuk penindasan ini adalah sama: keyakinan patriarki bahwa manusia lebih unggul daripada alam dan memiliki hak untuk mengeksploitasinya.

Istilah “ekofeminisme” pertama kali dikemukakan oleh feminis Prancis Françoise d’Eaubonne dalam bukunya yang berjudul Le Féminisme ou la Mort (1974). Ekofeminisme muncul sebagai bagian dari gerakan feminis gelombang kedua pada tahun 1960-an dan 1970-an yang memperhatikan isu-isu seperti kesetaraan gender, hak reproduksi, dan kekerasan terhadap perempuan.

Para ekofeminis berargumen bahwa dominasi terhadap perempuan dan degradasi dunia alam saling terkait, dan keduanya berakar pada nilai-nilai patriarkal. Ekofeminisme mengambil sumber-sumber dari berbagai teori, termasuk teori feminis, lingkungan hidup, dan spiritualitas.

Ekofeminis percaya bahwa kita tidak dapat benar-benar melindungi lingkungan sampai kita mengatasi akar penyebab kerusakannya. Ini berarti menantang nilai-nilai patriarki yang telah menyebabkan dominasi alam dan eksploitasi perempuan.

(Foto/ ilustrasi: Google Doodle)

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!