YSA, perempuan di Jambi yang dituduh melecehkan anak-anak, ternyata justru adalah korban kekerasan seksual.

‘Korban Tapi Dituduh Pelaku’ Ini Kisah Perempuan Yang Dituduh Lecehkan Anak-anak di Jambi

Sempat diberitakan menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap belasan anak-anak di Jambi, perempuan penjaga rental PlayStation, YSA, kini didampingi para aktivis dan lembaga bantuan hukum. Mereka menyuarakan, YSA adalah korban kekerasan berlapis yang didiskriminasi dalam proses peradilan.

Ingat pemberitaan perempuan penjaga playstation (PS), YSA (21), yang diduga melecehkan 17 anak di Jambi? Pada sekitar Februari 2023 lalu, kasus ini membikin geger jagat dunia maya. 

Pada saat itu, narasi pemberitaan banyak yang menyorot soal YSA yang jadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. Pihak Kepolisian Polda Jambi dan orang tua anak-anak menjadi narasumber pemberitaan tersebut. Salah satunya yang sempat tayang di Detik Sulsel, ‘Akal-akalan Ibu Muda Buka Rental PS hingga Lecehkan 17 Anak di Jambi’ pada 6 Februari 2023. YSA disebut-sebut memiliki kelainan seks. 

Dia juga dikatakan memaksa anak laki-laki menyentuh payudara hingga bagian intim lain dan memaksa anak perempuan untuk menonton film dewasa sambil melihat YSA dan suaminya berhubungan seksual. Hingga usaha rental miliknya juga diduga sebagai modus “mencari mangsa” dari hasratnya yang tak wajar. 

Pencarian Konde.co, selama Februari 2023 itu, pemberitaan mengulang-ulang narasi tersebut. YSA di-framing menjadi terduga pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. 

Pada Rabu, 26 Juli 2023 lalu, Konde.co datang dalam konferensi pers dari sejumlah lembaga bantuan hukum dan aktivis pendamping YSA secara daring. Mereka yang hadir di antaranya Beranda Perempuan, LBH Padang, LBH Riau, Kuasa Hukum, kakak, dan tim independen dari Komnas Perempuan yang juga turut mendampingi kasus itu. 

Para aktivis dan pembela hukum ini memunculkan narasi baru yang menyatakan bahwa YSA adalah korban. Ia adalah perempuan korban kekerasan secara berlapis. Termasuk kekerasan seksual yang terjadi di rumah tangganya hingga adanya kejadian ini. 

Baca Juga: Dugaan Pelecehan Seksual di Miss Universe 2023, Aktivis Apresiasi Finalis Yang Berani Lapor dan Bicara

Narasi ini berbeda dengan pemberitaan media yang banyak melakukan framing terhadap YSA sebagai pelaku pelecehan terhadap anak-anak. Foto dan identitas YSA juga ikut disebarkan. Padahal, fakta-fakta lain dari pihak YSA, justru tidak dimunculkan. 

Framing YSA sebagai pelaku ini bermula dari adanya laporan 17 orang anak beserta orang tuanya ke Polda Jambi yang membawa serta wartawan untuk menaikkan kasus ini.

“Pas kejadian, setelah anak-anak tersebut dan orang tuanya berkumpul di rumah pak RT, YSA melapor dahulu ke Polresta Jambi. Kemudian setelah YSA, anak-anak dan orangtua mereka melapor juga ke Polda Jambi dengan membawa wartawan. Berita langsung viral pada hari itu,” terang Direktur Beranda Perempuan, Ida Zubaidah. 

Pemberitaan media juga ditambah oleh pernyataan suami YSA yang menyatakan bahwa YSA memiliki hasrat seksual yang berlebihan. Padahal hal ini belum dibuktikan kebenarannya dan berada di luar konteks. Hal ini makin menambah stigma kepada YSA.

Sederet Kejanggalan 

Ida Zubaidah lantas mengungkap banyak kejanggalan yang didapati oleh tim pendamping YSA. Beberapa hal yang dijelaskan adalah keluarnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) atas laporan YSA sebagai korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh 8 anak. 

Sebelum pelaporan anak-anak ke pihak kepolisian, sebetulnya YSA sudah terlebih dahulu melaporkan sebagai korban kekerasan seksual. Pada jumat, 3 Februari 2023,  YSA sempat melayangkan laporan ke Polres Kota Jambi karena telah diperkosa dan dilecehkan oleh delapan anak berumur 8-15 tahun di rumahnya. Kemudian, laporan tersebut dihentikan penyidikannya dengan alasan tidak adanya bukti untuk melanjutkan. 

Kejanggalan selanjutnya adalah pernyataan dari Kapolresta Jambi, Kombes Eko Wahyudi, Jumat (10/3/2023) yang mengatakan bahwa YSA memiliki libido yang tinggi (hiperseks). Pernyataan ini berasal dari keterangan suami YSA sendiri. Padahal setelah dilakukan pemeriksaan kejiwaan di RSJD Jambi, hasilnya YSA dinyatakan baik-baik saja. 

Kemudian, perlakuan yang diterima YSA seperti mendapat stigma dari pemberitaan yang beredar. Pemberitaan itu terlanjur ramai dengan memframing YSA sebagai pelaku. Saat proses hukum, YSA pun tidak mendapatkan pendampingan sesuai amanat UU TPKS.

Baca Juga: Di Balik Glamorisasi Industri Fesyen, Terjadi Pelecehan Seksual, Tokenisme dan Diskriminasi Rasial  

“Situasi yang dihadapinya banyak yang mengekspos YSA sebagai pelaku sehingga memengaruhi kita dalam proses pendampingan,” jelas Ida. 

Ida menjelaskan kepada awak media bahwasannya sejak awal proses hukum sangat diskriminatif.

“Saat meminta bantuan pemerintah untuk bantuan psikologis, mereka mengatakan tidak mungkin anak-anak berbohong. Pendampingan hanya diberikan untuk anak tapi YSA tidak didampingi,” katanya. 

Pengacara YSA, Allen, juga mengungkapkan fakta-fakta yang selama ini tak pernah “terangkat di permukaan” pemberitaan media.  

Allen menuturkan, saat pihak yang terlibat kasus ini berkumpul di rumah RT setempat, ada 2 anak yang mengaku telah melakukan kekerasan seksual kepada YSA. Namun, keterangan 2 anak ini menjadi berbeda keesokan harinya. 

Selain itu, dia menambahkan, ada seorang jurnalis sempat mendapat kesaksian seorang anak yang Bernama Angel. Angel adalah teman dari anak-anak tersebut. Angel mengatakan YSA ditarik ke kamar kemudian disekap oleh anak-anak tersebut. 

“Ada keterangan seorang anak namanya Angel. Wartawan di Polda Jambi mewawancarai Angel. Namun seiring waktu, kesaksian Angel menjadi berbeda. Kami mengira hal ini karena Angel tinggal di ruang lingkup suaminya YSA. Untuk selanjutnya kami berharap dapat menemukan Angel karena ia sebagai saksi kunci. Sayangnya Angel sulit ditemukan karena mengamen berpindah-pindah,” jelas Allen.

Baca Juga: Aku Kehilangan Pekerjaan Setelah Alami Pelecehan Seksual Dari Anak Majikan

Mengenai pengakuan anak-anak bahwa mereka diberi tontonan video porno, Allen mengatakan hal itu tidak benar. “Mengenai pengakuan anak disuruh menonton video porno, itu tidak benar. Ditemukan kejanggalan bahwa suaminya YSA berada di situ dengan jarak 3 meter tapi tidak mendengar kejadian itu,” lanjutnya. 

Allen juga menjelaskan bahwa YSA mempunyai hak untuk mendapatkan pendampingan, sesuai amanat UU TPKS. Tapi faktanya tidak seperti itu. Tidak ada yang menggali keterangan dan memeriksa YSA. Pasal yang dipakai untuk dakwaan juga memakai pasal pencabulan padahal seharusnya menggunakan UU TPKS.

“Eksepsi sudah diajukan untuk menggunakan UU TPKS, tetapi tidak dapat diterima majelis hakim karena majelis hakim mau melihat dulu fakta persidangan” kata dia.

Korban dari Kekerasan Berlapis

Ida dari Beranda Perempuan, kembali menjelaskan bagaimana sebenarnya situasi kehidupan YSA dan anak-anak tersebut. YSA maupun anak-anak tersebut sebetulnya berasal dari kelompok rentan. NT sendiri berasal dari keluarga miskin. Sementara, lingkungan YSA dan anak-anak termasuk kawasan rentan kekerasan seksual.

Wilayah YSA berada adalah tak jauh dari TKP kematian bocah 3 tahun yang jadi korban kekerasan seksual yang ramai pada tahun 2022 lalu. Dia hilang selama beberapa hari dan ditemukan meninggal dunia di septic tank. “Hingga saat ini tidak ada kejelasan kasus ini,” kata Ida.  

YSA sendiri tidak mendapat dukungan dan perlindungan dari suami saat menghadapi proses hukum. Bahkan, dia justru adalah korban kekerasan seksual suaminya. Suami YSA pernah melakukan kekerasan seksual paska YSA melahirkan. 

Dia sempat mengadu ke ibunya perihal hal itu dan meminta cerai. Namun, Ia diminta berdamai. 

Sebagai gambaran juga, YSA adalah warga pendatang yang tinggal di rumah suaminya. Sementara, anak-anak yang terlibat kasus ini adalah pengamen dan anak jalanan, usia mereka 10-16 tahun. YSA sehari-harinya menjual jajanan dan menyewakan PlayStation. Kondisi inilah yang membuat anak-anak tersebut sering berinteraksi dengan YSA.

Keluarga YSA, diwakili oleh Merry yang merupakan kakak YSA menceritakan bahwa Kondisi YSA saat ini tertekan karena terpisah dari anaknya yang berusia 1 tahun 3 bulan dan tidak bisa menyusui.

“YSA Sering nangis karena sekarang  berada di lapas. Tidak bisa bertemu setiap hari dengan anaknya, jadi pakai susu formula. Saat YSA ditahan, anaknya masih berusia 7 bulan” ujar Merry.

Perempuan dan Anak adalah Korban

Yuniyanti Chuzaifah, aktivis perempuan dan mantan komisioner Komnas Perempuan menyebut bahwa dirinya mendalami kasus ini dan sudah bertemu dengan YSA. Saat mengonfirmasi kepada polisi tentang SP3 laporan YSA, polisi beralasan untuk kepastian hukum dengan melakukan tindakan cepat. Yuni menilai menutup laporan dari YSA sama saja menutup akses dari perempuan korban.

Yang disesalkan Yuniyanti adalah argumen aparat tentang mengapa YSA tidak teriak saat kejadian. 

“Mereka menggunakan argumen kan harusnya bisa teriak, tapi yang perlu diketahui YSA tidak bisa teriak karena penis dimasukkan ke mulut. Kemudian tentang tidak ditemukannya sperma, tidak berarti kalau tidak ada sperma berarti tidak terjadi perkosaan,” ujarnya.

Lebih lanjut Yuni menjelaskan kasus ini adalah isu yang menghadapkan anak dan perempuan. Seakan anak tidak mungkin bisa melakukan kekerasan seksual. Tindakan ini disebut sebagai aseksualisasi anak seakan anak dipandang tidak punya hasrat seksual.

Baca Juga: Di Sekolah PRT Aku Bisa Cerita Pelecehan Seksual yang Aku Alami

“Anak juga sebenarnya adalah korban dari lingkungan sosial, tapi tidak menutup kemungkinan anak dapat menjadi pelaku. Yang meragukan anak tidak punya intensi seksual, hal itu tidak sepenuhnya tepat. Kekerasan seksual bisa saja terjadi karena intensi seksual atau berada dalam situasi yang terkondisikan. Anak jadi pelaku kekerasan seksual sangat mungkin,” tegasnya.

Yuniyanti menambahkan Jika terbukti pihak anak adalah pelaku, maka anak-anak ini harus mendapat pendidikan dan hukuman sesuai hak anak.

“Prosedur kepolisian yang ingin memastikan anak-anak ini baik-baik saja, tapi di lain pihak YSA harus berada di tahanan dan RSJ beberapa hari. Dalam kerangka Human Rights serupa dengan torture atau penyiksaan. Tidak ada yang mustahil ketika kita mendengarkan perempuan sebagai korban” tutup Yuniyanti Chuzaifah.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!