Pengadilan yang inklusif bagi disabilitas

Para Disabilitas Bicara Soal Pengadilan yang Inklusif Bagi Mereka

Rani, Delima, dan Irwanto bercerita tentang pengalamannya mengakses pengadilan inklusif bagi disabilitas. Juga apa saja yang seharusnya bisa dikembangkan untuk mengoptimalkan pengadilan inklusif bagi para disabilitas. Simak ceritanya!

Rani Mei Lestari, perempuan dengan disabilitas pernah mengalami kesulitan saat menggunakan kursi roda di pengadilan. Kendala itu misalnya, dia alami saat hendak berkomunikasi dengan customer service (CS). Meja pelayanannya terlalu tinggi bagi dirinya yang menggunakan kursi roda. 

Namun, situasi berbeda dia jumpai saat berada di Pengadilan Negeri Cikarang, Jawa Barat. Rani yang tengah melakukan asistensi, mendapatkan sarana prasarana yang cukup memadai dan inklusif. 

Beberapa hal yang bisa dijadikan contoh dari pengadilan tersebut misalnya, ada penyediaan tempat parkir, pelayanan pihak keamanan yang responsif, serta kartu prioritas untuk disabilitas. Selain itu, Rani juga mendapatkan akses bantuan di area lobi bagi disabilitas yang cukup membantu. 

“Biasanya saya di lobi cukup kesulitan kalau harus berbicara dengan customer service. Namun di pengadilan negeri ini saya tidak mengalami hal itu,” ujar Rani yang juga adalah Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kabupaten Bekasi.

Baca Juga: Kerap Dijadikan ‘Vote Getter’, Sudahkah Pemilu Memperhatikan Hak Disabilitas?

Tidak hanya fasilitas fisik baik yang dibutuhkan, Rani juga menekankan, pentingnya setiap pengadilan memiliki para petugas yang responsif dan terlatih untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan orang dengan disabilitas.

“Mudah-mudahan teman-teman yang lain juga, di seluruh wilayah Indonesia, bisa mendapatkan layanan inklusif. Seperti apa yang menjadi target dan tujuan dari program ini,” kata Rani.

Di Pengadilan Negeri yang dikunjungi Rani itu, bahkan mempekerjakan pula orang dengan disabilitas. Salah satunya, Delima Wangi Surgawi, seorang aparatur PN Cikarang yang adalah disabilitas tuli. 

Perempuan tersebut sudah bekerja di sana sejak 17 Juni 2022. Dia memiliki tugas mengisi buku registrasi pidana. Selama bekerja di pengadilan yang inklusif itu, Delima mendapatkan support system yang penting guna mendukung pekerjaannya. Seperti, adanya budaya kerja yang suportif, rekan kerja yang peduli, bahkan ada pula pendampingan dari organisasi disabilitas.  

“Seperti memberikan pembelajaran dan pelatihan,” imbuhnya. 

Baca Juga: Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

Menyoal dukungan bagi pekerja disabilitas, Delima bilang, mereka membutuhkan fasilitas yang bisa membantu komunikasinya dengan pekerja non-disabilitas. Seperti, penggunaan bahasa isyarat yang tidak semua pekerja di sekitar Delima bisa memahami. 

“Jadi ketika ada kawan-kawan berbicara, masih ada kebingungan,” ungkapnya.

Kaitannya dengan ini, paling tidak pengadilan bisa memfasilitasi dengan alat komunikasi yang lebih inklusif. Atau juga, memberikan pelatihan terkait bahasa isyarat yang bisa membantu para disabilitas lainnya di lingkungan pengadilan. Baik pekerja maupun masyarakat yang datang. 

Lain lagi dengan cerita Irwanto dari Persatuan Tunanetra Indonesia, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Dukungan yang dia dapatkan dari pihak pengadilan setempat adalah sikap terbuka dan mengakomodasi kebutuhan komunikasi dengan para disabilitas. 

“Untuk aksesibilitas, alhamdulillah sudah 80 persen, lah, kemarin itu,” ucap Irwanto. 

Memang, masih ada beberapa hal yang belum terpenuhi di pengadilan itu, seperti pemasangan guiding block yang tidak pada tempatnya. Tapi, Irwanto berharap, kekurangan itu dapat diperbaiki segera agar pengadilan negeri dapat lebih inklusif dan ramah bagi disabilitas.

“Mungkin bukan hanya disabilitas saja, tetapi juga kelompok rentan, lansia, ibu hamil, dan juga anak-anak,” tegasnya. 

“Karena aksesibilitas bukan hanya untuk kami saja yang disabilitas. Itu dibutuhkan untuk semua orang dan saya yakin itu akan sangat membantu bagi semua orang,” kata Irwanto lagi. 

Pengadilan Harus Inklusif bagi Disabilitas

Bukan saja proses peradilan, namun pengadilan di Indonesia mestinya inklusif dengan kebutuhan para disabilitas. Selain juga bisa, mengakomodasi kelompok rentan seperti perempuan hamil, anak-anak, lansia, hingga minoritas lainnya. 

Rani, Delima, dan Irwanto telah menunjukkan bagaimana pentingnya pengadilan yang inklusif bisa membantu mereka. Ini bisa jadi refleksi, bagaimana layanan pengadilan mestinya bisa mengatasi hambatan bagi disabilitas. 

Ini bukan hanya tentang aksesibilitas fisik, namun juga akses pelayanan, administrasi, hingga bantuan hukum yang berperspektif disabilitas. 

Karena itu, pada 7 Agustus 2023 lalu, Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) memberikan apresiasi kepada 65 pengadilan di Indonesia. Mereka adalah pengadilan yang punya komitmen sebagai pengadilan untuk lebih inklusif dan ramah disabilitas. Termasuk pengadilan yang disebutkan oleh Rani, Delima, dan Irwanto. 

Ke-65 pengadilan yang dipantau SABDA itu, mencakup 21 dari lingkungan peradilan tata usaha negara (PTUN) tahun 2021. Lalu, sebanyak 44 dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan militer tahun 2022. 

Baca Juga: ‘Harus Ada Partisipasi Publik’: Masukan Pembahasan Turunan UU TPKS

Seluruh pengadilan tersebut, ditemukan telah melakukan upaya penyediaan infrastruktur yang mudah diakses orang disabilitas. Lalu dari sisi layanan, sebanyak 53 dari 65 pengadilan telah memiliki seluruh atau sebagian standar pelayanan bagi kelompok rentan. Seperti orang disabilitas, perempuan, dan anak. 

Peningkatan layanan yang telah dilakukan pengadilan-pengadilan tersebut, juga meliputi kerja sama dengan organisasi disabilitas, layanan Juru Bahasa Isyarat, layanan pendamping disabilitas, layanan kesehatan, dan psikolog atau psikiater, serta pihak-pihak terkait lainnya.

Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI, Nur Djannah Syaf menyebut, sebanyak 412 satuan kerja di lingkungan peradilan agama sudah dipastikan memiliki layanan disabilitas. 

“Karena kami mengikuti badan pemilihan umum pada saat kita melakukan penilaian, yaitu akreditasi penjaminan mutu,” kata Nur Djannah. “Salah satu yang kami nilai di situ adalah layanan disabilitas,” ujarnya dalam Diseminasi Hasil Pemantauan Pengadilan Inklusif Dampingan SAPDA 2021/2022, Senin (7/8).

Meski begitu, ia tidak memungkiri, bahwa pelayanan disabilitas di peradilan agama memang belum maksimal. Pihaknya pun, terus berupaya untuk meningkatkan kinerja peradilan inklusif. Salah satunya dengan menjadikan lebih dari 140 satuan kerja mereka, menjadi pilot project Mahkamah Agung di lingkungan peradilan agama.

Butuh Dukungan Anggaran dan Pedoman Inklusif

Salah satu persoalan terkait pemenuhan hak-hak disabilitas di pengadilan ada kaitannya dengan minimnya anggaran. 

Misalnya, Nur Djannah menyebut, satuan kerja yang menjadi pilot project MA awalnya hanya menerima anggaran sekitar Rp 50 juta. “Itu (untuk) guidance block pun, tidak mencukupi,” ucapnya. 

Tetapi di tahun 2023 ini, Ia melanjutkan, ada pengadilan agama yang mendapatkan lebih dari Rp 100 juta. “Kami memastikan bahwa dengan anggaran itu, layanan disabilitas dapat tercukupi,” sambungnya. 

Keluhan yang sama juga muncul dari Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Umum, Dirjen Badilmiltun MA RI, Zahlisa Vitalita. Menurutnya, alokasi dana dari pusat untuk pemenuhan inklusivitas di pengadilan kerap jadi hambatan.

Pun senada dengan Direktur Pembinaan Tenaga Teknis dan Administrasi PTUN, Dirjen Badilmiltun MA RI Hari Sugiharto, dukungan anggaran dari pemerintah masih jauh dari mencukupi dalam memenuhi penyediaan sarana dan prasarana di pengadilan.

Selain anggaran, Hari mengatakan, akomodasi hak-hak disabilitas dalam proses litigasi juga masih belum diatur dalam pedoman-pedoman yang dibuat oleh direktorat jenderal. Itulah yang harus didorong demi mencapai inklusivitas di pengadilan.

Baca Juga: Yuk, Pekerjakan Penyandang Disabilitas: Ini Penting Buat Perusahaan Agar Inklusif

“Harus kita dorong, pelayanan bagi kaum disabilitas atau kaum rentan itu tidak hanya di area-area administrasi, PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), atau di area-area di luar gedung pengadilan. Tapi juga di area persidangan ini yang perlu diberikan,” kata Hari.

Hal ini terkait dengan cara hakim memperlakukan orang dengan disabilitas dalam proses persidangan di pengadilan. “Sehingga dengan demikian, lebih menyeluruh bahwa rasa nyaman kaum disabilitas di lembaga peradilan itu dapat dipenuhi oleh lembaga peradilan itu sendiri,” lanjutnya.

Ia menekankan, penyelenggaraan proses hukum acara juga harus dipastikan agar dapat melayani kelompok disabilitas dalam proses persidangan. Entah ketika yang bersangkutan sebagai pihak penggugat, tergugat, saksi, atau ahli di ruang sidang.

“Kami menyadari, karena kita stuck awal itu tahun 2021, baru ngeh bahwa kita ada kewajiban yang harus diberikan kepada penyandang disabilitas,” katanya. 

“Pada saat kaum disabilitas itu memerlukan pelayanan di lembaga peradilan, khususnya di peradilan tata usaha negara. Sehingga memang, kami di lembaga PTUN perlu ada asistensi ini ke depan untuk kompetensi,” pungkasnya. 

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!