Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly bertemu dengan eks Mahasiswa Ikatan Dinas (MAHID) di Gedung Pertemuan De Schakel, Amsterdam, Belanda. Pemerintah janji memenuhi hak para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. (Sumber foto: Instagram @yasonna.laoly)

Pemerintah Bertemu Eksil di Eropa, Janji Pulihkan Hak Korban Pelanggaran HAM

Pemerintah menemui warga eksil yang tersebar di sejumlah negara Eropa untuk membahas pemulihan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly berdialog dengan warga eksil yang tersebar di sejumlah negara Eropa. Pertemuan dilakukan di Belanda pukul 11.00 siang waktu setempat.

Dalam pertemuan tersebut, Mahfud menyampaikan pemerintah sedang berupaya untuk memulihkan korban pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk warga eksil yang berada di luar negeri. Ia menegaskan jalur nonyudisial ini tidak menghapus pidana dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Inpres ini memberi tekanan penyelesaian kepada korban, bukan kepada pelaku. Kalau pelaku pengadilan yang menyelesaikan, ini kebijakan pemerintah saja,” ujar Mahfud di Belanda, Minggu (27/8) siang.

Inpres yang dimaksud adalah Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Menurut Mahfud, langkah ini diambil, karena penyelesaian secara yudisial masih mengalami kesulitan setelah reformasi.

Setidaknya ada 4 kasus yang telah diproses secara yudisial. Keempatnya adalah peristiwa setelah jajak pendapat Timor Timur, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Abepura, dan peristiwa Paniai. Tiga kasus (Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura) seluruhnya dijatuhi putusan bebas dan telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan kasus Paniai telah divonis bebas di tingkat pertama dan sedang dalam upaya hukum kasasi.

Baca Juga: Penggerebekan LGBT di Cawang Menambah Diskriminasi Pemerintah Terhadap LGBT

“Kita sudah mengajukan 35 orang terdakwa bebas semua. Ada yang pernah dihukum Abilio Soares dan Eurico Guterres. Tapi dibebaskan Mahkamah Agung melalui Pengadilan PK. Jadi satu pun dari 35 orang tidak ada yang dihukum. Karena pembuktian tidak memungkinkan,” tambah Mahfud.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menambahkan pemerintah akan memberikan kemudahan bagi warga eksil yang ingin datang ke Indonesia. Menurutnya, pemerintah akan memberikan fasilitas keimigrasian atau diberikan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak nol rupiah. Para eksil bisa tinggal sekitar lima tahun atau bisa ditingkatkan menjadi izin tinggal sementara.

“Saya sudah menyurati menteri keuangan dan ini sudah bisa kita lakukan,” jelas Yasonna.

Yasonna mendapatkan informasi banyak warga eksil yang ingin memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia. Namun, kata dia, hal tersebut belum dapat dilakukan karena masih menjadi perdebatan di DPR.

Aktivis Eksil Minta Pemerintah Buat Terobosan Soal Dwi-Kewarganegaraan

Sementara itu Sri Tunruang, aktivis International People’s Tribunal 65 yang tinggal di Jerman, menyampaikan agar pemerintah membuat terobosan tentang kewarganegaraan ganda bagi warga eksil. Menurutnya, ada sekitar 200 warga eksil di Eropa yang berminat memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia.

“Memang undang-undangnya belum ada, tapi Menko Polhukam Mahfud MD terkenal tukang terobos-terobos. Kalau sudah ada Undang-Undang memang enak, justru karena belum ada, kita terobos,” ujar Sri Tunruang.

Sri juga menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, penyesalan yang disampaikan Jokowi tidak disertai dengan pengungkapan kebenaran tentang peristiwa 1965. Padahal, kata dia, peristiwa tersebut telah membuat para eksil mendapat stigma negatif dari berbagai pihak.

Ia juga meminta pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial dengan serius. Sebab, menurutnya, kasus ini terus bolak balik dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Baca Juga: Mengapa Sunat Perempuan Ditentang Negara-Negara Di Dunia?

Sungkono, eksil tamatan Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa, Rusia, mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo yang telah mengakui dan menyesalkan berbagai pelanggaran HAM berat. Namun, ia juga mempertanyakan sikap presiden yang tidak meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut. Menurutnya, tanggung jawab negara tersebut harus dipikul oleh kepala negara yaitu presiden.

“Padahal budaya orang Indonesia itu, meminta maaf sudah hal biasa. Jalan cepat menubruk orang saja meminta maaf, ini kejahatan besar di suatu negara tapi tidak meminta maaf,” ujar Sungkono.

Sungkono juga menilai pemulihan hak korban itu sudah selayaknya menjadi tugas pemerintah. Namun, ia tetap menuntut penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dapat dilanjutkan secara yudisial. [sm/em]

(Sumber foto: Instagram @yasonna.laoly)

Artikel ini terbit pertama kali di VoA Indonesia. Baca artikel sumber.

Sasmito Madrim

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!