Libur Lebaran di Carita: Menyegarkan, Tapi Keamanan Saya Sebagai Perempuan Terancam

Berpelesir ke Anyer, Banten, untuk yoga di tengah alam dan main ke pantai, jadi salah satu impian saya yang terwujud di Lebaran 2024 ini. Saya berekspektasi, liburan santai bersama seorang teman perempuan kali ini akan menyegarkan dan menenangkan. Ternyata kami terpaksa melewati rasa takut dan terancam dua kali.

“Gimana dong, gue terlalu excited sampe keringetan sebadan sekarang.” Pesan teks dari Nathania Aviandra yang saya terima beberapa jam sebelum kami berangkat ke Carita, berhasil mengundang tawa malam-malam.

Melancong swapandu adalah kegiatan favorit saya. Namun, kali ini saya lebih mawas diri dan memutuskan untuk pergi berdua. Berbeda dengan liburan melepas penat biasanya, saya kali ini ingin merampungkan satu impian: yoga with a view

Saya naik kereta dari Stasiun Tanahabang pukul 06.50 WIB, bertemu dengan Nathania di Stasiun Cisauk, lalu bersama melanjutkan rute sambung kereta menuju Stasiun Cilegon. 

Gerbong perempuan kereta rute Tanahabang–Rangkasbitung yang sepi pada masa Lebaran. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Suasana Stasiun Cisauk sekitar pukul 7.20 WIB. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Nathania bercerita, dirinya terakhir kali bepergian memandang alam adalah pada awal 2022. Jadwal perkuliahan yang padat, uang yang terbatas, dilanjut karier di ahensi yang menguras tenaga dan emosi bikin dirinya selama ini menggunakan waktu libur serta akhir pekan untuk istirahat.

“Kerja nguras energi karena harus banyak interaksi. Weekend dipakai untuk istirahat fisik dan mental. Liburan Natal nggak lama, kan. Terus masih ngejar kerjaan juga.”

Baca Juga: Bagaimana Liburanmu? Sekarang Waktunya Pisah dengan Keluargamu 

Hari itu, Senin, 8 April 2024, kereta rute Tanahabang–Rangkasbitung yang kami naiki tidak sepadat biasanya. Kami bisa melenggang bebas di dalam gerbong perempuan. Namun, situasi di tempat pemberhentian beda cerita. 

Stasiun Rangkasbitung dipenuhi keluarga yang hendak pulang kampung: mereka berbondong-bondong membawa kardus yang terikat dan koper. Tak ubahnya di Stasiun Cilegon, kami para penumpang berdesak ke luar melewati jalan yang lebarnya hanya muat untuk dua–tiga orang saja. Saya mendengar keluhan kecil seorang anak di depan saya.

“Kayak zombie-zombie.”

Stasiun Rangkasbitung dipenuhi orang yang hendak mudik. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Jalan keluar dari Stasiun Cilegon yang sempit dan padat. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Kami melanjutkan perjalanan dari Stasiun Cilegon menuju Pantai Pandan dengan angkot berwarna perak yang sudah berbaris menunggu penumpang di depan pintu keluar. 

“Anyer … Carita! Ayo, naik! Gratis. Naik gratis, turun bayar.”

Baca Juga: Do’s and Don’ts Basa-Basi Lebaran Agar Orang Gak Tersinggung dan Overthinking

Awalnya, kami sudah tahu bahwa ongkos yang harus dibayarkan adalah Rp 25.000,00 per orang untuk ke Carita yang berjarak sekitar 52 kilometer. Namun, di tengah perjalanan, sopir angkot itu tiba-tiba menaikkan harga. Ongkosnya jadi naik dua kali lipat. 

“Neng, hari ini masuknya Lebaran. Jadi, lebih mahal. Seorang Rp50.000,00, ya.” Saya dan Nathania sempat diam saling bertatap sejenak, lalu mengiyakan. 

Nathania yang ragu memunggungi sopir, lalu berbicara pelan ke saya: “Kita ditipu nggak, sih?”

“Ya udah, lah. Kita ngalah,” sahut saya.

Nathania dalam angkot dari Stasiun Cilegon menuju Pantai Pandan. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Pemandangan dari dalam angkot. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Tak lama, kejadian mengherankan muncul lagi. Mungkin sekitar 10 kilometer sebelum sampai, sopir angkot kami diteriaki. Dari belakang, sopir angkot berkode MTR menghampiri. Mereka mulai berbicara bahasa Jawa Serang yang tidak kami pahami. Nada bicara sopir asing itu seperti bentak-bentak, lalu sebentar berbisik. Sopir kami lalu mengangguk dan mulai berbicara bahasa Indonesia.

“Neng, sekarang pindah angkot ke sana, ya. Tujuannya sama kok, ke Carita. Bayarnya ke saya aja. Nanti saya bayar dia.”

Baca Juga: Dari Utara ke Selatan: Menikmati Suasana Sepi Jakarta Saat Lebaran

Awalnya saya ragu, tetapi akhirnya kami dapat memastikan tidak akan dimintai uang dua kali. Tidak cukup lama untuk saya dan Nathania tahu bahwa angkot pertama ternyata mencuri jalur angkot MTR.

“Kalian diminta berapa? Seharusnya cukup bayar Rp 25 ribu. Mereka, tuh, suka begitu [mengambil jalur angkot lain]. Kamu catat saja nomor saya. Kalau mau pulang, saya jemput,” jelas sopir itu, yang tak lama kami ketahui biasa disapa Bang Opik.

Bang Opik mengantar kami sampai depan Pantai Pandan. Saya dan Nathania check in di hotel, meletakkan barang bawaan kami, lalu menghabiskan waktu bersenang-senang di sana. 

Dari terang sampai gelap, kami memandang langit yang aduhai purnawarna. Putih kekuningan, merah muda-biru seperti permen kapas, ungu-oranye, hitam-kuning, lalu gelap sempurna tersisa lampu merah terang dari restoran belakang pantai. 

Pantai Pandan tidak terlalu padat, tetapi tidak sepi juga. Kami dikelilingi keluarga kecil, pasangan lansia, pasangan muda, dan kelompok sekawan. Dari laut, suara seruan terdengar saling bersahutan dari para pengguna kapal dan banana boat. Sesekali ombak besar menerjang jauh sampai membasahi tas saya tanpa disangka. 

Pemandangan dari area makan di Pantai Pandan. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Suasana Pantai Pandan yang diisi dengan orang berlalu lalang. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Tiga anak kecil bermain di laut saat matahari tengah tenggelam. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Bayang potret Nathania di depan laut saat matahari tengah tenggelam. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Baca Juga: Stop Lakukan Kekerasan dan Pelecehan Seksual Juga Merupakan Kemenangan Lebaran

Sudah lama saya tidak menyaksikan matahari tenggelam di pantai. Jalan-jalan kali ini begitu menyegarkan saya yang setiap hari kebanyakan berhadapan dengan kendaraan dan gedung-gedung tinggi perkotaan. 

Setelah puas menikmati pantai, sekitar pukul 20.00 kami berjalan kaki ke hotel yang berjarak sekitar 600 meter. Jalanan gelap yang sepi membuat saya dan Nathania memutuskan untuk berjalan di samping jalur kendaraan yang tidak searah. Upaya mengurangi risiko dijambret dari belakang. 

Trotoar yang tidak terurus, fasilitas lampu yang minim, dan rambu lalu lintas hati-hati yang memudar bikin perjalanan sekitar 15 menit itu terasa panjang. Secara konstan, saya menoleh berjaga; takut ada yang mengikuti kami berdua dari belakang. 

“Untung gue pergi sama lu, Nat. Kalo nggak, mana bisa gue pulang malem jalan kaki sendirian di tempat asing begini,” celetuk saya.

Angkot Mencurigakan Berjalan Mundur Mendekati Kami

Tiba-tiba, rasa bersyukur saya itu selintas berganti jadi rasa takut. Saya tahu ini umum terjadi di Jakarta sekalipun: angkot menawarkan tumpangan dengan membunyikan klakson dan berhenti sejenak. Maka dari itu, langsung saya balas tolak dengan menggelengkan kepala, lalu kami lanjut berjalan menjauh. 

Kami sempat tidak memperhatikan angkot itu lagi sampai situasi yang mencurigakan terjadi. Suara klakson kembali dibunyikan berkali-kali. Suara roda yang bergesekan dengan jalan juga terdengar seakan mendekat. Saat saya menoleh ke belakang, angkot itu sedang perlahan mundur mendekati arah kami berjalan.

Tin! Tin!

Menurut kesaksian Nathania, para penumpang dalam angkot–yang terlihat berlampu terang itu–sekilas berbincang sambil memandang kami. Seakan mereka sudah akrab dan kenal satu sama lain. Saya, yang tidak tahu harus apa, refleks berteriak ke Nathania yang berjalan di belakang saya.

“NAT, LARI!”

Bermodalkan sandal jepit, kami lari semampunya sampai hotel. Angkot itu sempat mundur semakin cepat, lalu berhenti mengejar dan kembali berjalan maju. Pengalaman itu begitu berdampak pada saya dan Nathania bahkan sesaat sudah di dalam kamar. Nathania minta saya terus berbicara dengannya saat ia mandi. 

Saat tidur, saya sempat terbangun berkali-kali. Kami tidak merasa aman pascakejadian.

Dipalak Uang di Pantai

Kami memulai pagi dengan melakukan yoga di atas jalanan kayu depan kolam renang hotel. Perasaan tenang saya kembali setelah berolahraga dan menyantap makanan khas rumahan yang disediakan hotel.

Nathania bersiap melakukan yoga pagi di depan pohon dan kolam renang. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Yang tidak saya sangka, pengalaman terancam malam kemarin bukan satu-satunya yang terjadi dalam liburan dua hari saya itu. Setelah yoga, kami menuju pantai umum Carita dan melewati pengalaman buruk lain.

Baca Juga: Dear Ortu, Mudik Ini Aku Gak Bisa Penuhi Keinginanmu untuk Nikah dan Punya Anak 

Singkat cerita, saya dan Nathania sebelumnya tidak ada rencana untuk menyewa kapal untuk mengitari laut di Carita. Kami terus menolak para penyewa kapal yang datang. Sampai saya berkenalan dengan Mang Atok, berbincang cukup lama, lalu ditawarkan harga sewa kapal yang lebih murah. Kami tergiur dan akhirnya menerima tawaran itu.

Pemandangan pantai umum Carita pagi hari. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Kapal yang membawa kami mengitari laut Carita. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Setelah selesai, saya dan Nathania tiba-tiba dicegat seorang penyewa kapal lain. Ia terlihat marah dan tersinggung karena kami menerima tawaran penyewa kapal lain.

“Saya mau tanya. Kenapa tadi saya tawarin kamu nggak mau? Ditawarin yang lain malah mau. Kayak negara ada aturan, di sini juga ada aturannya. Sekarang saya minta kamu bayar saya juga!”

Baca Juga: Siapa Yang Memasak Opor Ayam di Hari Lebaranmu?

Saya yang merasa aturan itu tidak masuk akal sempat beradu mulut dengan penyewa kapal itu. Tidak adanya jalan tengah membuat saya mengajaknya untuk menemui Mang Atok. Perasaan kembali terancam dan jalanan pasir memperberat langkah saya berjalan. Rasa cemas membuat saya sesekali menoleh.

Dari belakang, penyewa kapal itu terus meneriaki saya untuk berhenti. Nathania berjalan di belakangnya untuk menjaga saya. 

Heh! Berhenti! Diem, nggak, lu? Sini saya aja yang panggil. Hei! Denger nggak?,” Ia terus menunjuk saya.

Saat dia sudah berjalan di depan memunggungi kami, tanpa berpikir panjang saya memberi tanda kepada Nathania untuk berbalik arah dan kabur. Kami terus berjalan secepat mungkin sambil terus menoleh ke belakang, memperhatikan jika sewaktu ada sosok laki-laki berbaju hitam bercelana pendek pantai datang mengejar.

Kami sampai di hotel yang lagi-lagi jadi tempat aman satu-satunya. Saya langsung mengunci kamar dan menutup tirai serapat mungkin. Segala suara laki-laki di balik pintu yang terdengar terus buat saya terkejut. Saya masih takut.

Baca Juga: Liburan Mestinya Bisa Me Time, Bukan dengan Kemarahan yang Meledak

Ternyata, Nathania punya ketakutan kolektif dengan saya. Sejak kemarin, ia juga hanya merasa aman saat ada perempuan lain di sekitar, baik di hotel maupun dalam angkot. 

“Bahkan berdua pun ternyata baru dibuktiin semalam kalau nggak aman juga. Kayaknya harus seenggaknya ada cowok satu baru bisa merasa aman. Dari sini, gue merasa ke depannya nggak boleh nyepelein berada di kota orang, malam-malam, jalan-jalan, [merasa sudah] aman. Sebenarnya sehari-hari gue bawa pepper spray. Tapi, kalau ke sini, gue nggak [kepikiran] bawa,” cerita Nathania.

Tak lama setelah beristirahat di sisa-sisa sebelum batas waktu check out, kami mengontak Bang Opik untuk menjemput kami di depan hotel. 

Perjalanan yang memakan waktu lebih dari satu jam dalam angkot untuk pulang membuat saya teringat cerita Mang Atok tentang kondisi warga Anyer dari pengalamannya sehari-hari. 

Nathania dari dalam angkot Bang Opik menuju arah pulang. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

Perempuan mengisi angkot Bang Opik saat kami menuju arah pulang yang membuat kami merasa aman. (Foto: dok. Konde.co/Fiona Wiputri)

“Orang sini, tuh, punya suami umur 20 tahun. Orang sini percuma sekolah tinggi, nggak jadi apa-apa. Sebab apa? Bikin lamaran kerja harus pakai pelicin. Ada yang sampai Rp10 juta. Kita, kan, mau cari duit, suruh ngeluarin duit dulu … dari mana?,” keluh Mang Atok.

Baca Juga: 5 Kali Lebaran Tak Mudik Karena Ongkos Mahal, Saya Kerja Lembur Biar Dapur Ngebul

Selain bekerja sebagai penyewa kapal, Mang Atok juga sambilan menjadi pemberi kerja (makelar) pekerja rumah tangga. Ia membuka WhatsApp-nya, lalu menunjukkan pesan teks dari berbagai nomor tanpa nama ke saya. 

Saat masih berusia 17 tahun, Mang Atok sempat menjadi seorang migran di Arab. Kerentanan pekerja dan “hukum rimba” di Arab membuatnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Mang Atok pulang ke kampung dan menikah di usianya yang ke-20. Kini ia sudah menginjak usia 48 tahun dan memiliki satu cucu laki-laki.

Carita Membuat Saya Takut Sekaligus Berduka

Mengejutkannya, pengalaman dua hari ini di pantai Carita tidak hanya membuat saya takut, tetapi juga membuahkan rasa duka menyoal kondisi negara saat ini. 

Saya bersedih atas suhu yang semakin panas, jauhnya akses pendidikan dan pekerjaan yang layak dan merata, perkawinan anak, kompetisi mencari uang antarpekerja yang semakin gila, serta negara yang terus memiskinkan rakyatnya. 

Di samping menemui sopir angkot dan penyewa kapal tanpa kepastian upah yang merebutkan uang puluhan ribu rupiah itu, saya juga dihadapkan dengan berita korupsi PT Timah hingga Rp271 triliun akhir-akhir ini. Kita bahkan ditontonkan terduga pelaku dan saksi kasus korupsi yang tersenyum santai melambai ke kamera wartawan. Dari rezim ke rezim, kita terus menyaksikan politisi dan pebisnis yang semakin kaya dan rakyat kelas pekerja yang semakin dimiskinkan secara sistematis.

Libur Lebaran di Anyer yang seharusnya menenangkan pikiran malahan bikin saya jadi tak karuan. Bahkan saat artikel ini dirangkai, saya masih sedikit merasa takut akan dua kejadian menyeramkan yang saya alami itu. Apalagi di tengah maraknya kasus kekerasan hanya karena terlukanya ego pelaku yang setipis tisu.

Bagaimana jika saya kemarin tak selamat?

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!