Perempuan Jadi Imam Itu Penyimpangan? Membongkar Narasi Beragama yang Lebih Adil Gender

Belum lama ini, Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin menyebut bahwa perempuan yang menjadi imam salat sebagai penyimpangan. Pernyataan tersebut dinilai mempertegas patriarki dalam praktik beragama dan perlunya narasi beragama yang lebih adil gender.

Pro kontra muncul usai Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin menyebut perempuan yang jadi imam bagi jamaah laki-laki itu bukan ‘perbedaan’. Tapi, penyimpangan. 

Hal itu Ia sampaikan dalam sambutannya pada Milad ke-48 Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Rabu (26/7/2023).

“Ini yang kadang-kadang ada orang, ‘Oh, ini perbedaan’. Itu bukan perbedaan, itu penyimpangan,” ujar Ma’ruf Amin seperti dilansir dari CNN Indonesia. 

“Jadi kalau perbedaan ditoleransi, penyimpangan tidak. Karena ia keluar dari wilayah perbedaan.”

Sebelumnya, video salat berjamaah yang diimami perempuan dengan makmum laki-laki, beredar dan viral di media sosial. Praktik salat itu diketahui terjadi di Pondok Pesantren Al-Khafiyah, Sumatera Utara. Kemudian terungkap, video tersebut dibuat untuk konten belaka.

Meski begitu, video tersebut sudah kadung memicu perdebatan mengenai hukum perempuan sebagai imam salat dalam Islam. Beberapa orang berpendapat, suatu penyimpangan (inhiraf) dalam praktik beragama dapat dilihat sebagai perbedaan pendapat (ikhtilaf).

Menurut Ma’ruf Amin, keduanya adalah hal yang berbeda. Jika perbedaan pendapat dapat ditoleransi, tidak demikian halnya dengan penyimpangan. 

Pernyataan mengenai imam perempuan itu pun, turut mengangkat perdebatan terkait perempuan sebagai pemimpin dalam konteks yang lebih luas.

Imam Perempuan Zaman Nabi Muhammad 

Doktor Bidang Pemikiran Islam di UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, Musdah Mulia, membahas tentang polemik imam perempuan dalam video yang diunggahnya di Instagram @muslimahreformis

Baginya, perdebatan itu tidak relevan, sebab sesungguhnya Islam melalui Nabi Muhammad hadir untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan, adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagai khalifah fil ardh. Misinya, melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

“Bukankah Rasulullah telah mengangkat Ummu Waraqah menjadi imam salat dalam komunitasnya, dalam sukunya?” ujar aktivis perempuan yang juga tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu. 

Dalam riwayat Nabi Muhammad, Musdah mengisahkan tentang sosok perempuan bernama Ummu Waraqah binti Abdullah bin al-Harits. Ummu diketahui sebagai imam salat perempuan pertama. Hal itu diriwayatkan dalam HR. al-Hakim dan HR. Abu Dawud.

“Lantas, kenapa Ummu Waraqah yang dijadikan imam oleh Rasulullah?” Lanjut Musdah Mulia dalam video itu. 

“Beliaulah orang pertama yang mendalami Islam. Yang telah menerima dakwah Rasul. Setelah beliau memiliki kualitas dalam keilmuan, kualitas dalam hal dakwah, kualitas dalam masalah-masalah keislaman. Maka beliau (Rasulullah) lalu mengutus Ummu Waraqah menjadi imam di dalam komunitasnya, di dalam sukunya,” kata dia. 

Baca Juga: Feminisme Berkontribusi Bongkar Sistem Patriarki Dalam Islam

Manajer Advokasi di Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Thowik, mengatakan tidak seharusnya Ma’ruf Amin memberikan pernyataan seperti itu. Apa lagi dengan posisinya sebagai Wakil Presiden RI. 

Kepada Konde.co, Jumat (4/8/2023), Thowik menyebut, pernyataan Ma’ruf Amin adalah bagian dari pemikiran yang masih sangat mensubordinasi dan merendahkan kapasitas perempuan.

“Bahwa praktik perempuan jadi imam salat itu kan udah ada, ya,” ungkap Thowik senada dengan pernyataan Musdah. 

“Artinya, cara manusia atau cara umat Islam beribadah itu kan, tidak tunggal,” tegasnya. 

Dia menjelaskan, beragama itu selalu ada konteksnya. Orang Islam di Indonesia dengan orang Islam di Arab, dengan orang Islam di Iran, dengan orang Islam di Afrika itu punya perbedaan. Masing-masing punya karakter, punya tradisi, punya kekhasan. 

Imam Perempuan di Masa Kini

Thowik mencontohkan tokoh perempuan Amina Wadud, yang menjadi imam salat Jumat berjamaah di New York, Amerika Serikat. Amina Wadud memiliki landasan untuk menjadi imam perempuan sebagai sosok intelektual, dengan tidak mempermasalahkan identitas gendernya.

“Imam salat perempuan, di mana seorang Amina Wadud, karena dia intelektual, tentu saja belajar dan menjadi profesor,” katanya.

Thowik mengatakan, pada prinsipnya imam adalah orang dengan kepakaran agama yang mumpuni. Semangatnya bahwa orang yang menjadi imam adalah yang paham agama, orang yang lebih pintar. Orang yang memahami prinsip-prinsip dalam salat itu dengan baik.

“Harusnya nggak memandang apakah dia—gendernya, atau jenis kelaminnya, atau mungkin orientasi seksualnya—harusnya nggak memandang ke sana. Tapi lebih ke kapasitasnya. Mau perempuan, mau laki-laki, mau dia trans, mau dia non binary, dan sebagainya. Bukan karena identitas gendernya, tapi lebih karena kepakarannya,” kata dia. 

Pentingnya Narasi Agama Lebih Adil Gender

Menurut Thowik, Indonesia dikenal sebagai negara dengan penganut Islam moderat. 

Cara beragama yang masih konservatif membuat seseorang sulit melihat konteks dalam menerapkan ajaran agama. Ini termasuk persoalan perbedaan dan peran gender yang selama ini berlaku secara normatif.

Yang tidak boleh terjadi adalah memperlakukan perbedaan sebagai sesuatu yang justru membuat negara harus hadir di dalamnya. 

Baca Juga: Ketum PBNU Menolak Feminisme? Melihat Teks dan Konteks Pernyataan Ini

Pada konteks pernyataan Ma’ruf Amin, sebagai pemimpin pemerintahan, Ia menilai Ma’ruf Amin tidak tepat ketika mengambil posisi parsial dan barangkali akan dapat lebih dipahami dalam situasi tertentu. Misalnya saat Ia mengatakan hal itu di ruang privat seperti di depan para santri atau pengikutnya. Alih-alih, disampaikan pada sebuah acara publik yang dihadiri media.

“Untuk menyampaikan, ‘Menjadi imam itu harusnya laki-laki, tapi ada praktik perempuan jadi imam. Seperti Ummu Waraqah atau Amina Wadud yang sekarang’,” ujar Thowik. 

Hal itu menurut Thowik akan jauh lebih adil. Jauh lebih melihat bahwa cara beragama itu bisa berbeda, bisa beragam, dan seharusnya saling menghormati. 

“Ketika yang berbeda itu dianggap menyimpang, atau misalnya sesat, atau misalnya tidak benar. (Perbedaan) itu sesuatu yang harusnya sih, biasa aja, gitu,” pungkasnya.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!