Rasminah, pahlawan perempuan isu kawin anak yang berhasil mengajukan hak uji materiil (judicial review) atas batas usia kawin anak perempuan dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 soal, tutup usia pada Sabtu (26/8).
“Innalillahi wa innailaihi rojiun… Mbak Rasminah telah berpulang jam 02.00 lewat dini hari tadi. Mohon maaf jika Mbak Rasminah ada kesalahan.” Demikian petikan pesan yang disampaikan Darwini, Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Barat.
Darwini lah yang senantiasa mendampingi Rasminah menjalani perawatan di rumah singgah dan rumah sakit karena tumor ganas.
Nama perempuan sederhana dari desa terpencil di Indramayu, Jawa Barat itu mulai dikenal publik ketika pada April 2017. Rasminah bersama dua perempuan korban kawin anak lainnya, yaitu Maryanti dan Endang Wasrinah, mengajukan permohonan hak uji materiil UU Perkawinan 1974. Khususnya pasal 7 tentang batas usia kawin anak perempuan.
Dibantu Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Koalisi 18+, Rasminah mengikuti sidang demi sidang pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang dihadapkan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pada Desember 2018 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan ketiga korban kawin anak itu. Dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang dalam jangka waktu paling lama tiga tahun untuk melakukan perubahan terhadap UU Nomor 1/1974. Khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bergerak cepat membuat draf perubahan undang-undang itu. Kemudian dimasukkan sebagai rancangan undang-undang (RUU) Inisiatif Pemerintah.
Berlarut-larutnya upaya pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat koalisi masyarakat sipil melobi anggota DPR perempuan yang ada dalam Badan Legislasi (Baleg). Dengan dukungan 24 anggota DPR, RUU itu diusulkan untuk dibahas di Baleg.
Sidang Baleg pada 12 September 2019 akhirnya memutuskan untuk batas usia kawin untuk anak perempuan yang sama dengan anak laki-laki, yaitu 19 tahun.
Terdiagnosis Tumor Ganas
Selepas itu, Rasminah kembali ke kampung halamannya untuk membesarkan lima anaknya bersama suami terakhirnya, Runata. Beberapa bulan lalu ia mengeluhkan rasa sakit di kaki yang sebagian telah diamputasi. Dan hasil pemeriksaan lebih dalam mendapati adanya tumor ganas.
“Pas diambil sampel dan diketahui tumor ganas, langsung dirawat. Apalagi tumor itu diketahui menyebar. Kata dokter, banyak anak tumornya, tapi belum ketahuan ujungnya dari mana,” ujar Runata.
Kondisi kesehatannya terus memburuk hingga pada Sabtu (26/8) dini hari, ia mengembuskan nafas terakhir.
Koalisi Perempuan Indonesia lewat Twitter menyebut Rasminah sebagai “pejuang hebat,” dan bertekad memastikan agar perjuangan itu tidak sia-sia.
Lita Anggraini, Ketua Jaringan Advokasi Nasional Pembantu Rumah Tangga (Jala PRT), yang sama-sama berjuang dalam jalan sunyi, mengatakan perjuangan Rasminah untuk jutaan perempuan akan selalu diingat dan dikawal.
“Dengan keberaniannya, Mbak Rasminah telah menyelamatkan perempuan dari rezim perkawinan patriarkis yang menjerumuskan perempuan dalam penindasan dan pemiskinan perempuan yang berkelanjutan,” kata Lita.
Ucapan belasungkawa mendalam dan sekaligus seruan untuk terus melanjutkan perjuangan Rasminah melawan kawin anak juga datang dari sejumlah tokoh. Antara lain, Misiyah dari Kapal Perempuan, Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru, Eva Sundari di Yayasan Sarinah. Sylvana Apituley di KPAI dan banyak lainnya.
Perjuangan Rasminah bersama dua korban kawin anak lainnya, didukung sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tokoh perempuan, untuk mengubah batas minimal usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun, merupakan terobosan besar bagi Indonesia yang selama puluhan tahun membiarkan hal ini terjadi.
Selamat jalan, Mbak Rasminah. [em/ft]
Artikel ini terbit pertama kali di VoA Indonesia. Baca artikel sumber.