Poster film 'His Only Son'. (Sumber foto: Instagram @hisonlysonfilm)

Anggota DPR Hentikan Tayangan Film ‘His Only Son’? Ini Film Perjuangan Perempuan

Diskursus feminisme dalam cerita nabi Abraham jarang sekali dibahas. Padahal ada cerita tentang Sara dan Hagar yang dijadikan objek atau pandangan miring: bahwa perempuan harus punya anak agar dianggap sebagai istri yang sempurna. Anggota DPR jangan cuma melarang tanpa diskursus.

Ketika film ‘His Only Son‘ ditayangkan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily langsung bereaksi agar film ini dihentikan tayangannya.

Dalam sebuah acara yang berjudul Ngobrol Pendidikan Islam (Ngopi), Ia menyatakan beredarnya film His Only Son di Indonesia sebaiknya dihentikan atau banned. Dikutip dari Detik.com, Ace Hasan menyatakan bahwa narasi film ini penuh dengan kontroversi.

“Muatan film ini tidak seperti pemahaman selama ini tentang sejarah Nabi Ibrahim As yang diyakini umat Islam di Indonesia pada umumnya. Maksud saya melarang itu (banned) untuk peserta didik yang beragama Islam. mendesak pihak Kominfo untuk turun mengkaji peredaran film ini.”

Di media sosial banyak yang mengecam pernyataan Ace Hasan. Rata-rata mereka menyatakan bahwa Ace Hasan tidak paham konteks, karena film ‘His Only Son’ memang film yang dibuat dari sudut pandang agama Kristen, maka wajar saja jika film ini ditulis dari perspektif Kristen.

Lagipula, jika semuanya dipandang dari satu sudut saja, dan minta dihentikan tayangannya, tidak akan ada diskursus soal sejarah dan kebebasan pembuat film dalam bernarasi. Pernyataan Ace Hasan dianggap tak memahami konteks sejarah film ini, arogan dan mendominasi ruang publik

Padahal film ‘His Only Son‘ adalah film yang mengkonstruksikan tentang beratnya perjuangan perempuan. Beberapa penulis resensi film melihat bahwa film ini mengisahkan tentang bagaimana konstruksi patriarki telah memenjarakan perempuan.

Film ini dirilis di Amerika pada Maret 2023 dan mulai ditayangkan di Indonesia pada Agustus 2023. ‘His Only Son’ disutradarai oleh David Helling. Film dibintangi oleh Sara Seyed, Nicolas Mouawad, dan Luis Fernandez Gil. Film ini terinspirasi dari Kitab Injil Perjanjian Lama ketika pada tahun 2000 SM di Kanaan, Abraham diperintahkan Tuhan untuk mengorbankan putra tunggalnya, Ishak di Gunung Moria.

Baca Juga: ‘Sleep Call’ Perempuan Urban di Pusaran Eksploitase Seksual dan Teknologi Digital

Namun film ‘His Only Son’ tidak hanya bercerita tentang pengembaraan Abraham dan relasi personalnya dengan Tuhan yang akan membawanya menjadi pemimpin Israel atau pemimpin bangsa-bangsa di masa itu, namun film ini juga menceritakan relasi antara Abraham dengan Sara (istrinya) yang hidup dalam konstruksi masyarakat patriarki.

Sara dalam perkawinannya dengan Abraham sulit hamil atau sulit punya anak. Padahal keinginannya untuk punya anak sangat besar. Dalam 10 tahun perkawinannya, Sara ingin sekali punya anak, karena jika tak punya anak, Ia seperti mendapatkan penilaian dari masyarakat dan dicap sebagai istri yang tak sempurna, karena mandul.

Sara juga sering melihat kekecewaan di mata Abraham ketika menyadari kondisinya ini.

Sara yang awalnya mau belajar untuk dekat dengan Tuhan, kemudian berbalik arah karena Tuhan tidak juga memberikan mereka anak. Kesepian, perjuangan, rasa sedih Sara sangat tergambar kuat di film ini. Film ini mampu menggambarkan tentang manusia-manusia yang kesepian, dan sedang dalam proses pencarian.

Karena tak bisa juga punya anak, Sara kemudian menyuruh Abraham untuk menikahi Hagar, Pekerja Rumah Tangga / PRT yang bekerja di rumah mereka.

Baca Juga: ‘Joy Ride’, Kisah Persahabatan Melawan Diskriminasi di Amerika

Awalnya Abraham menolak, tapi lalu menerima. Selanjutnya dari hubungan dengan Abraham ini, Hagar lalu hamil dan punya anak, yang diberi nama Ismail.

Namun di masa-masa berikutnya, Sara akhirnya berhasil hamil dan mereka punya anak yang diberi nama Ishak. 

Nasib buruk kemudian terjadi pada Hagar. Hagar kemudian diusir pergi dari rumah itu walau tak diceritakan alasan kenapa Hagar harus pergi dari rumah.

Disinilah letak penonjolan cerita feminis yang diangkat dalam film ini. Bagaimana Sara dianggap tak punya tubuh perempuan yang sempurna ketika tak punya anak. Ia selalu meratapi hidupnya, dan inilah jalan hidup sulit yang harus Ia lalui.

Hagar juga mengalami kondisi kelam. Ia harus mau melakukan hubungan seksual dengan Abraham agar Abraham punya status sebagai laki-laki yang punya anak. Ini tak lain agar Abraham sah disebut sebagai laki-laki.

Namun setelah Hagar melahirkan, Ia harus pergi dari rumah itu bersama Ismail anaknya.

Ismail tidak menjadi bagian penting dari cerita disini. Ismail hanya diceritakan sebagai anak laki-laki yang harus pergi dengan ibunya, Hagar.

Cerita Sara dan Hagar yang Terhapus dari Memori dan Diskusi

Cerita relasi antara Abraham, Sara dan Hagar ini ternyata tak banyak dikenal selama ini.

Selama ini yang banyak diceritakan dalam diskusi sejarah dan agama hanyalah tentang Agama Kristen yang mengakui Ishak sebagai orang yang dikorbankan, dan Agama Islam mengakui Ismail sebagai anak yang dikorbankan, seperti protes yang dilancarkan anggota DPR tadi, Ace Hasan.

Perdebatan inilah yang mengemuka, dan diskursus feminisme dalam sejarah Abraham jarang mengemuka. Padahal ada Sara dan Hagar yang dijadikan objek dari konstruksi masyarakat: perempuan harus punya anak agar dianggap sempurna dan lengkap hidupnya.

Film ini juga mengingatkan kita bahwa cerita tentang Abraham bukanlah cerita tunggal tentang pencarian makna Tuhan dalam hidup Abraham dan soal anak yang dikorbankan, namun juga soal Sara dan Hagar yang jarang diceritakan dan tidak dianggap subjek penting dalam cerita.

Seorang perempuan pendeta, Yuliana M Benu dalam buku Komnas Perempuan yang berjudul “Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga: Perspektif Agama dan Sosial Budaya (2023)” menuliskan tentang cerita Sara dan Hagar.

Secara eksplisit, teks dalam Injil memang tidak mencatat bagaimana Hagar bisa menjadi budak Sara dan Abraham, tetapi dari cerita Hagar, Yuliana kemudian mencatat ketidakadilan yang dialami Hagar.

Hagar adalah perempuan asing dan miskin yang hidup di tanah Kanaan, di mana aturan-aturan sosial dan budaya patriarki sangat mengekang. Ia juga hidup jauh dari para sahabat dan sanak saudaranya di Mesir yang sangat tidak mungkin mendengar bahkan memahami penderitaannya. Ditambah lagi dengan statusnya sebagai budak. Lapisan-lapisan identitas ini menempatkannya sebagai perempuan dengan status sosial paling rendah dalam konstruksi sosial masyarakat pada waktu itu

Di lain pihak, Sara juga belum memiliki anak, ini tentu juga membuatnya tertekan karena desakan secara kultur yang menyatakan bahwa semua pasangan suami istri harus punya anak. Ini yang kemudian membuat Sara harus berjuang mempunyai anak agar diakui sebagai perempuan.

Baca Juga: Di Balik Ketenaran ‘One Piece’ Live-Action, Ada Pro Kontra Race Swap

Kita menjadi tahu bahwa penindasan terhadap perempuan kemudian terjadi di sini: Sara merasa dianggap menjadi perempuan yang kurang lengkap karena tidak punya anak. Desakan masyarakat yang begitu kuat ini telah membuatnya menindas Hagar.

Sebagai seorang budak yang berada di bawah kuasa tuannya, Hagar tidak memiliki otoritas atas tubuhnya, termasuk rahimnya sebagai seorang perempuan. Hagar sama sekali tidak bersuara, entah ia setuju atau menolak ketika Sara menjadikannya pasangan Abraham, demi untuk mendapatkan keturunan. Ketika Hagar mengandung, Sara menjadi cemburu. Hagar tidak bisa melawan Sara atas penindasan itu, walaupun sedang mengandung. Jika terus bertahan, kematian menjadi akhir cerita hidupnya.

Yuliana menulis bahwa melarikan diri adalah pilihan Hagar. Dalam pelariannya yang belum tentu arah tujuan itu, ia tiba di padang gurun yang kering dan tandus. Namun, di tengah kesendirian, kelelahan, dan kehausan itu Allah menemukan Hagar, menjumpainya dalam keputusasaan.

Allah mendengar suara tangisan dan penderitaannya yang selama ini tidak didengarkan oleh siapapun.

Tonton film ini dan gunakan berbagai perspektif untuk melihatnya, karena film pasti dibuat dari teks dengan melihat konteks. 

Jadi, tidak pada tempatnya jika film ini tidak dihargai sebagai diskursus perjuangan perempuan. Lalu hanya dilihat dari sudut arogansi, kesempitan berpikir dan dominasi anggota DPR, yang bisa dengan seenaknya mengatakan: hentikan tayangannya di Indonesia!

(Sumber foto: Instagram @hisonlysonfilm)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!