Apa Kata Anak Muda Tionghoa Soal Pemilu 2024: Pilih Coblos atau Golput? 

Pemilu semakin dekat, orang muda berkontribusi besar dalam Pemilu nanti. Namun, persoalan mereka tidak hanya soal memilih dan mencoblos yang mana, tetapi juga bagaimana riwayat kerja-kerja pemerintah yang selama ini turut menyumbang keputusasaan buat orang muda. Konde.co melakukan wawancara terhadap anak-anak muda Tionghoa dari Jakarta, sekaligus harapan dan keputusasaan mereka.

Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, kita dapat menggunakan hak suara untuk Pemilu 2024. Pada 14 Februari nanti, penduduk Indonesia dapat memilih calon legislatif beserta presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 2024–2029. Pemilu menjadi bentuk sistem demokrasi yang dijalankan untuk juga mengedepankan suara rakyatnya.

Mungkin beberapa orang turut merayakan pemilihan umum nanti, tapi mungkin juga beberapa orang sudah cukup putus asa dengan keadaan politik dalam pemerintahan kita ini. Suara dibungkam dengan UU ITE, korupsi yang tidak kunjung ditangani secara sistemik, pekerja yang semakin dirugikan, kelompok rentan yang suaranya diabaikan, atau lingkungan yang dirusak demi “pembangunan negara”.

Salah satu kelompok minoritas yang ada dan cukup tersebar adalah etnis Tionghoa. Menurut data Sensus Penduduk 2010, kelompok beretnis Tionghoa mencapai 1,2 persen atau berada di urutan ke-18 etnis terbanyak se-Indonesia. Data Sensus Penduduk 2022 tidak mencantumkan persentase etnis seperti dulu lagi.

Walau terus ada gemaan soal “multikultural” dan “Bhinneka Tunggal Ika” di sekitar kita, pada kenyataannya pemerintah masih tutup mata akan kejadian diskriminatif yang menimpa kelompok dengan identitas minoritas. Kamu masih ingat, enam tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” dikriminalisasi dan dipaksa cabut jabatannya dengan dalih kasus penistaan agama.

Baca Juga: Tak Mudah Hidup Menjadi Perempuan Tionghoa

Jauh sebelum itu, pada masa Orde Baru yang dijalankan oleh Soeharto, diskriminasi dan kekerasan begitu dahsyat terjadi. Kelompok beretnis Tionghoa menerima stereotip “bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI)”, tidak punya hak berpolitik, dipaksa untuk mengubah namanya menjadi bahasa Indonesia demi “pembauran”. Mereka menjadi warga kelas dua, korban diminta pungutan oleh aparat pemerintahan, dan kekerasan yang puncaknya terjadi pada tragedi Kerusuhan Mei 1998.

Walau sudah jauh membaik, kejadian tersebut masih menjadi luka hangat yang belum kunjung sembuh bagi kelompok beretnis Tionghoa. Dampaknya membuahkan trauma yang diturunkan kepada orang muda kini. Salah satunya adalah aku sendiri yang mengalami. Orang tuaku cenderung menjauh dari isu politik, menganggap Pemilu sebagai kontestasi yang tidak penting-penting amat untuk keberlangsungan hidup kami, dan menurunkan sikap apatisme yang mungkin saja dari trauma yang dialami pada masa pemerintahan Soeharto.

Ini adalah suara tiga orang muda beretnis Tionghoa dari Jakarta lainnya yang punya hak pilih dalam Pemilu 2024 nanti. Apatis, putus asa, atau masih punya harapan?

Thefanny, 22

Thefanny adalah perempuan dari keluarga yang jarang membicarakan politik praktis sejak kecil. Dirinya menilai bahwa keluarga melihat isu politik “biasa saja” sehingga tidak penting untuk mengikuti kondisi politik nasional saat ini.

“Pembahasan itu biasanya yang lebih ketika dekat dengan Pemilu dan itu pun hanya pemilihan untuk eksekutif. Palingan ketika menjelang Pemilu, yang dibicarain itu lebih seperti mana yang akan menguntungkan kami sebagai kaum minoritas, pekerja, dan pemilik usaha,” jelasnya saat ditanya Konde.co pada Minggu (30/7).

Ia menambahkan bahwa pembahasan tentang pemerintah dalam keluarga juga sering kali lebih fokus dengan pendekatan “us vs them”. 

Thefanny menjelaskan bahwa pemisahan lebih dilihat keluarganya semata antara pemerintah dan rakyat saja. Tidak hanya itu, ia juga menyempatkan diri terkadang untuk baca jika ada berita politik di media sosial yang menurutnya unik, seperti saat selebritas mencalonkan diri dalam pemilihan.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024 Masih Jadi Pekerjaan Rumah di Indonesia

Di luar diskusi dalam keluarga, pendidikan sekolah khususnya dalam jurusan yang dipilihnya untuk mengejar gelar sarjana, juga punya pengaruh besar kepadanya.

“Zaman sekolah juga sudah terpapar politik, tetapi lebih ke dasar-dasarnya saja. Kebetulan, kan, gue sekarang jurusan Jurnalistik, pasti ada isu-isu politik yang nyantol.”

Secara pribadi, Thefanny melihat bahwa dirinya belum punya dorongan personal untuk mencari tahu lebih dalam terkait isu politik. 

Nggak ada angin, nggak ada hujan, buka berita politik adalah hal yang tidak mungkin dilakukannya. Sebab, dirinya menilai bahwa politik Indonesia sudah “hancur” sekali.

“Bukan hancur berarti nggak berbentuk atau nggak ada keadilan, tapi gue merasa sudah banyak sekali kotorannya, seperti suap dan korupsi. Jadi, buat gue sendiri, sudah malas ngikutin berita politik.”

Walau menyatakan demikian, ia menilai bahwa setidaknya pasti ada calon yang dapat mengatasi permasalahan seperti toleransi antar kelompok identitas. Hanya saja dirinya tidak muluk-muluk berekspektasi bahwa Indonesia akan berkompetisi dengan kompeten dibanding negara maju dari aspek ekonomi.

Jonathan, 21

Jonathan menjelaskan bahwa kejadian Kerusuhan Mei 1998 begitu berdampak pada keluarganya. Tragedi itu memberikan luka dan takut pada keluarganya serta orang-orang di perumahan sekitar.

“Keluargaku itu sampai ketakutan buat keluar rumah, kunci pintu dan nggak keluar sama sekali. Bahkan di satu lingkungan rumah yang emang mayoritas Tionghoa pun tetap ketakutan,” terang Jonathan pada Konde.co, Minggu (30/7).

Ia menambahkan, bahwa kasus Ahok pada masa ia duduk di bangku SMA juga berpengaruh ke sekitarnya kala itu. 

Saat rusuh, dirinya yang bersekolah di pendidikan formal negeri diperingati untuk berhati-hati di lingkungan luar sekolah. Pernah juga serentak semua siswa/i diliburkan selama satu hari.

Dari dua kejadian itu, Jonathan menilai bahwa dampak yang muncul adalah tendensi untuk keluarganya mencoblos sesama etnis Tionghoa atau mengikuti pilihan keluarga-keluarga lain di lingkungan sekitarnya. Secara personal, dirinya pun tidak punya optimisme terhadap lembaga legislatif yang ada. Jonathan terang-terangan bilang ke Konde.co bahwa ia akan memilih untuk tidak memilih (golput).

Baca Juga: Dear Anak Muda, Waspadai Hoaks dan Ujaran Kebencian di Tiktok

“Kalau direfleksikan, pada akhirnya pejabatnya itu-itu saja, atau nothing significantly changes. Buat apa milih. Pejabat yang ngomong dia memperjuangkan suatu hal, pada kenyataannya belum tentu akan [berlaku] demikian.”

Pilihan Jonathan untuk golput bukan semata apatismenya terhadap isu politik nasional, melainkan keputusasaan dirinya atas perubahan. Walau begitu, dirinya tetap senang mengonsumsi berita dan kerap berdiskusi soal kondisi serta dinamika politik dengan sebaya di kampus. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah isu perkawinan beda agama. 

“Aku nggak akan memilih, tetapi untuk mengatasi hal yang aku concern, biasanya akan lebih ke bantu temanku yang sama-sama minoritas dan respect mereka saja.”

Gabriel, 21

Gabriel menilai bahwa obrolan dalam keluarganya pada Pemilu lima tahun lalu berpengaruh besar untuknya saat memilih. Sebab, pada umur mendapatkan KTP yang berdekatan dengan tahun pemilu itu dirinya belum tahu banyak soal isu politik.

Ia menjelaskan bahwa pandangan politik keluarganya terpengaruh juga oleh rasa takut akan diskriminasi. Maka dari itu, keluarga Gabriel selama ini cenderung mencari calon eksekutif dan legislatif dengan latar belakang pernah memperlakukan etnis Tionghoa dengan setara, layaknya penduduk mayoritas.

“Nggak hilang harapan, sih, [pada pemerintahan]. Cuma lebih takut-takut saja, lebih worry, kira-kira kelak akan terjadi diskriminasi lagi nggak,” ungkap Gabriel pada Konde.co, Senin (31/7).

Baca Juga: Dear Para Politikus, Apatisme Pemilu Menjalar ke Anak Muda dan Kelompok Minoritas

Seperti Jonathan, dirinya banyak belajar isu politik dari diskusi dengan sebaya dalam kampus tempat ia belajar. Namun, Gabriel cenderung hanya mendengarkan, tanpa ikut berpendapat, dengan alasan bahwa politik adalah isu yang sensitif untuk dibicarakan. 

“Misalkan kita bahas, terus ternyata ada perbedaan begitu, lebih worry aja nanti malah jadi berdebat atau musuhan. Jadi, biar damai dan baik-baik saja, mending nggak usah dibahas terlalu dalam.”

Dirinya juga tidak rutin membaca berita politik, hanya saat berseliweran di media sosial saja. Walau tidak suka membaca dan membahasnya, Gabriel menilai bahwa hak suaranya penting sehingga ia tidak rela jika disia-siakan. 

Mau tidak mau, dirinya dalam waktu dekat perlu berusaha untuk melek informasi terkait calon legislatif dan eksekutif agar tidak salah pilih.

Tips Pilih Calon Yang Perjuangkan Kelompok Minoritas, Seperti Apa?

Komnas Perempuan dalam laman Instagramnya menelorkan kampanye JITU, yaitu Jeli, Inisiatif, Toleran, dan Terukur. Kampanye ini ingin mengajak masyarakat untuk menciptakan Pemilu yang bersih dan berintegritas. Kamu bisa pastikan bahwa calon-calonmu nanti mendukung HAM dan tidak melakukan diskriminasi.

Jeli artinya, pastikan calon-calon yang akan kamu pilih adalah calon yang memiliki komitmen dalam membangun lingkunganmu, mendukung penegakan HAM, dan tidak meninggalkan siapa pun atau no one left behind termasuk kelompok minoritas, kelompok marginal, dan perempuan.

Baca Juga: Indonesia Harus Beri Lebih Banyak Peluang Kaum Muda di Dunia Politik

Inisiatif, pastikan bahwa calon-calonmu punya inisiatif untuk mendengarkan masukanmu dan merumuskan kebijakan-kebijakan tanpa diskriminasi serta mendengarkan semua golongan.

Toleran, yaitu berikan suaramu hanya pada calon pemimpin yang menghargai dan aktif memelihara keberagaman suku, agama, ras, dan budaya

Ukur, adalah pastikan pilihannya terukur dan jauhkan dari politik identitas yang mengancam keberagaman. Pastikan program-programnya menjawab persoalan nyata yang dihadapi oleh masyarakat dan bukan cuma sekadar pencitraan para calon.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!