Penganut agama minoritas kerap mengalami stigma buruk. Dianggap sesat dan menyesatkan, begitu kira-kira anggapan banyak orang tentangnya.
Belum lagi pengalaman mereka sebagai korban yang didiskriminasi, dibeda-bedakan perlakuannya padahal sama-sama manusia. Juga mempersama-samakan perlakuan padahal berbeda-beda kebutuhannya.
Bagi kelompok minoritas agama, mendapatkan perlakuan intoleransi adalah makanan sehari-hari, bahkan tak jarang mereka jadi korban dari serangan kekerasan fisik. Pembunuhan dan pengucilan terjadi kepada orang yang memilih keyakinan yang berbeda dengan kelompok arus utama.
Meskipun pada awalnya hanya mempermasalahkan pilihan nurani kenapa seseorang karena terkait pilihan imannya, namun pada akhirnya berdampak juga pada hak-hak asasi lainnya.
Korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat menimpa banyak orang, tanpa mempertimbangkan identitas dan ekspresi gendernya. Namun perempuan mempunyai resiko yang lebih berat ketimbang laki-laki, yang tentunya semata-mata karena gender bersama pilihan agama atau keyakinannya. Hal tersebut menyangkut soal pengalaman khas tubuh perempuan. Apalagi jika memperhatikan posisi dan peran perempuan dalam struktur sosial dan budaya yang patriarki dan misoginis, perempuan akan menjadi subjek yang terpinggirkan.
Lihat cerita ini. Ada pelajar perempuan penghayat kepercayaan yang dipaksa pakai jilbab di sekolah-sekolah negeri. Kasus yang tentunya tidak dialami oleh pelajar laki-laki penghayat. Upaya penyeragaman busana dan atribut sekolah seturut dengan salah satu tradisi agama, tentunya merupakan wujud dari mayoritas yang menindas.
Baca Juga: Perempuan Bukan ‘Biang Keladi’ Dosa dan Pengumbar Nafsu, Stop Konservatisme Agama
Penyeragaman seperti ini abai terhadap keunikan tradisi agama-agama lainnya. Di tengah lautan pelajar perempuan yang berkerudung, sekolah-sekolah negeri yang mestinya menjadi ruang aman bagi semua warga negaranya malah menyudutkan pelajar perempuan penghayat. Lalu munculah beragam stigma bahwa perempuan adalah pengumbar aurat, “Wajar saja kan para animis itu, memang enggak diajarkan etika!.”
Kelalaian negara dalam pencatatan pernikahan pasangan Baha’i yang berimbas buruk bagi perempuan. Kerentanan perempuan Baha’i meningkat, saat memutuskan untuk memiliki anak dan melahirkan. Kemudian terbitlah akta kelahiran yang hanya menyebutkan anak dari seorang ibu, bukan orangtua mereka, ayah dan ibu. Label perempuan nakal karena hamil di luar nikah juga mencuat.
Saat kelompok intoleran menolak kehadiran bahkan menutup bangunan gereja yang telah ada, tak jarang penyelenggara negara setempat juga turut mempersulitnya. Gereja mesti direlokasi, bahkan ada yang lebih parah dari itu, warga jemaat harus menempuh perjalanan belasan hingga puluhan kilometer untuk beribadah di gedung gereja atau kapel milik orang lain.
Pelanggaran atas hak kebebasan beribadah ini sangat menyengsarakan perempuan Kristiani, apalagi di tengah budaya patriarki yang menguat. Kaum ibu harus selalu repot setiap minggunya. Ibu-ibu harus bangun lebih awal untuk memasak, menyiapkan baju dan bekal, dan menuntun anak-anaknya.
Baca Juga: Dinilai ‘Vulgar’, Alkitab Ditarik dari Sekolah di Utah Amerika
Perempuan Hindu yang hidup sebagai minoritas juga kerap mendapat perlakuan yang tidak biasa. Saat hendak bersembahyang menuju pura, tubuh perempuan yang berkebaya menjadi sorotan. Mata-mata jalang menatapnya dengan sinis, seakan-akan standar religiusitas harus sama bagi semua perempuan yang beriman. Karena itu, beberapa perempuan Hindu harus membekal bajunya dalam tas, sebab ruang publik tidak aman bagi ekspresi keberagaman yang berbeda.
Cerita yang berbeda dengan perempuan Katolik dan Buddhis yang memilih hidupnya untuk selibat sebagai jalan saleh. Selama ini banyak anggapan yang menyatakan bahwa jalan melajang untuk nilai agama merupakan pilihan yang aneh, sebab seolah takdir perempuan adalah sebagai pelayan suami.
Perempuan Ahmadiyah juga mengalami pemojokan, “Cantik-cantik, kok, Ahmadiyah?” Ejekan yang seksis sekaligus merendahkan ajaran Ahmadiyah. Sama dengan olok-olokan itu, perempuan Syiah kerap dituduh menjadi korban nikah mutah, menjadi budak seksual. Padahal ajaran Syiah tidaklah demikian. Termasuk perempuan Sunni sekalipun yang memilih untuk mengenakan jilbab, hijab, dan/ atau cadar kerap dipandang terbelenggu dan terbelakang.
Baca Juga: Ini Masalah Ranperpres Kerukunan Agama, Berisiko Memicu Diskriminasi
Anggapan serupa juga turut menyudutkan para pemuka agama perempuan dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan. Kiranya perempuan tidak dapat memimpin umat dan mengambil keputusan yang bijak bagi kemaslahatan lembaga keagamaan. Kalau pun boleh, kadang pemuka agama perempuan hanya berperan dalam tugas pengajaran bagi perempuan semata atau mengerjakan tugas-tugas domestik di lingkungan rumah ibadah. Pada masalah ini, tantangan yang muncul bukan hanya dari eksternal, justru lebih kuat dari internal komunitas keagamaannya. Pengalaman perempuan tidak hadir pada tafsir-tafsir keagamaan yang diinternalisasi dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga keagamaan.
Perempuan agama minoritas akan terus menjadi korban, jika negara tidak menjalankan kewajibannya untuk hadir bagi semua gender dan semua umat beragama, bagi semua orang. Penderitaannya pun akan kian kuat dan meluas jika tafsir keagamaan yang partriarkal dan misoginis terus menjadi tradisi yang disakralkan.
Dengan begitu, Indonesia membutuhkan penyelenggara negara yang inklusif dan toleran, yang dapat mengakomodasi keunikan warga negaranya yang bineka termasuk pada pengalaman perempuan.
Di samping itu, tafsir keagamaan yang progresif yang mendorong upaya-upaya kesetaraan gender dan toleransi harus terus berkembang. Kemajuan, stagnansi, atau kemunduran situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, sangat berdampak pada kondisi kesetaraan dan keadilan gender khususnya bagi perempuan.