‘Joy Ride’, Kisah Persahabatan Melawan Diskriminasi di Amerika

Perjalanan ke luar negeri untuk berbisnis atau berpetualang? Dalam film ‘Joy Ride’, bagi Audrey Sullivan (Ashley Park) adalah yang pertama. Sementara, bagi Lolo Chen (Sherry Cola), yang kedua. Meski berbeda, mereka mengalami hal tak disangka yang serupa: perjalanan itu malah jadi ajang pencarian jati diri dan ‘bongkar-pasang’ persahabatan.

Joy Rideadalah film karya sutradara Adele Lim. Naskahnya digarap oleh Cherry Chevapravatdumrong dan Teresa Hsiao. Film ini dibintangi oleh Ashley Park, Sherry Cola, Stephanie Hsu, dan Sabrina Wu.

Kalau kamu pernah menonton film seperti ‘Crazy Rich Asians’ dan ‘Everything Everywhere All at Once’, film Joy Ride bakal terasa familier. Pertama, karena sutradara Adele Lim juga berada di balik film populer ‘Crazy Rich Asians’. Kedua, film-film ini menceritakan lika-liku kehidupan para perempuan Asia di Amerika Serikat, yang rasis terhadap orang Asia.

Film ‘Joy Ride’ dikemas dengan humor ‘absurd’—kasar dan vulgar pada banyak scene. Tapi film ini juga menyajikan dinamika persahabatan perempuan, eksplorasi jati diri, hingga menguak norma-norma dan ‘budaya’ khas keluarga Asia. Seperti kebiasaan membanding-bandingkan sampai tabu seksualitas.

‘Joy Ride’, Petualangan ‘Ugal-Ugalan’ Empat Sekawan

Joy Ride menampilkan Audrey Sullivan (Ashley Park) sebagai tokoh utama. Audrey sebetulnya adalah anak keturunan Asia. Tapi sejak kecil, ia diangkat anak oleh pasangan berkulit putih. Ia pun tumbuh dengan pola pikir dan ‘budaya’ Barat yang begitu lekat dan mengakui diri sebagai seorang Amerika—meski kadang ia sendiri ragu.

Tumbuh dewasa, Audrey sering merasa dirinya tak berasal dari mana-mana. Mau bilang dari Amerika, siswa sekolah hingga kolega di kantornya menyebutnya ‘orang Cina’. Mau bilang dirinya dari Tiongkok—sebab orang tua angkatnya pun menganggap demikian dan ia berteman dengan Lolo—dia tidak merasa ada keterikatan dengan bangsa tersebut. Audrey bahkan tidak bisa berbahasa Mandarin sama sekali.

Audrey pintar, berprestasi, dan mapan. Ia pun sukses menjadi pengacara dan bekerja di sebuah firma hukum. Tapi urusan asal-usul dirinya sendiri, dia tak mampu berkutik.

Sedangkan Lolo Chen (Shery Cola) dan kedua orangtuanya berasal dari Tiongkok dan menetap di Amerika Serikat. Suatu hari, orang tua angkat Audrey ingin anaknya berteman dengan Lolo—barangkali karena anak mereka ‘mirip’. Maka Lolo dan Audrey pun bersahabat sejak kecil hingga dewasa.

Lolo sangat berbeda dari Audrey. Ia perempuan dengan jiwa yang bebas dan pribadi yang ‘ugal-ugalan’. Perilakunya kasar, tapi ia sangat setia kawan. Bahkan, Lolo berani mengumpat dan menonjok seorang bocah laki-laki yang berkata rasis kepadanya dan Audrey saat masih kecil.

Lolo sempat enggan terjebak dalam kewajiban meneruskan usaha restoran orangtuanya dan gemar mengeksplorasi hal-hal baru, termasuk urusan seksualitas. Dirinya ingin ‘mendobrak’ tabu seksualitas yang selama ini menjadi bagian dari norma Asia. Di sisi lain, ia tak melupakan dari mana dirinya berasal.

Baca Juga: ‘Catatan Si Boy’ Versi 2023 dan Fantasi Tentang Dream Boy

Suatu hari, Audrey ditugaskan untuk bertemu klien bisnis di Beijing, Tiongkok. Perjalanan luar negeri itu membuat Audrey memutuskan untuk membawa Lolo bersamanya, karena ia berasumsi kalau Lolo mahir berbahasa Mandarin. Di sisi lain, Lolo ikut karena ingin liburan bersama bestie-nya. Ternyata Lolo juga mengajak sepupunya, Deadeye (Sabrina Wu). Audrey tentu keberatan tapi tak bisa berbuat banyak.

Deadeye, yang sebelumnya bernama Vanessa, adalah penggemar berat K-Pop dan grup BTS. Pergaulannya berkisar di ranah daring, sebagaimana kebanyakan fans K-Pop saat ini. Deadeye hendak ke Beijing untuk pulang sekaligus bertemu dengan kawan-kawan daringnya, yang ia kenal dengan username mereka di media sosial.

Saat tiba di Beijing, Audrey pun mengunjungi bestie-nya yang lain, Kat (Stephanie Hsu). Mereka tidak yakin Lolo dapat menjadi penerjemah yang baik bagi urusan bisnis Audrey, maka Kat pun ikut dalam perjalanan itu.

Audrey bersahabat dengan Lolo dan Kat, tapi kedua bestie-nya itu tidak menyukai satu sama lain. Kat, yang semasa kuliah adalah it-girl dan sering gonta-ganti pasangan, kini menjadi aktris ternama dan bertunangan dengan laki-laki yang relijius. Namun ada beberapa hal tentang Kat yang masih jadi misteri bagi Audrey dan Lolo—termasuk hoaks atau fakta bahwa Kat punya tato di vaginanya.

Baca Juga: Film ‘Oppenheimer’: Kisah ‘Bapak Bom Atom’ dan Penyesalan Dampak Buruk Perang

Mereka berempat pun pergi mengunjungi klien Audrey di sebuah bar. Namun, tidak disangka-sangka, sang klien meminta Audrey untuk menemuinya lagi di acara keluarganya, sambil membawa ibu Audrey. Kontan Audrey kelabakan, sebab ia bahkan tak tahu siapa ibu kandungnya dan di mana ia berada di Tiongkok.

Perjalanan bisnis itu pun berubah menjadi petualangan mencari ibu kandung Audrey—dibantu oleh ketiga temannya. Jauh dari mulus, perjalanan itu membuat mereka menghadapi hal-hal tak terduga. Seperti satu kompartemen dengan bandar narkoba di kereta, kehilangan paspor, one night stand yang kacau dengan para atlet, hingga mendadak jadi idola K-Pop.

Belum lagi, ada plot twist yang mengguncang hidup Audrey, juga Lolo, Kat, dan Deadeye. Di tengah kehidupan yang ‘ada-ada saja’ itu, justru persahabatan mereka semakin erat—atau tidak?

Membongkar Amerika yang Rasis dan Seksis

Singkatnya, film Joy Rideadalah film yang sangat ‘absurd’ dan ‘ugal-ugalan’.

Kendati demikian, film ini juga menunjukkan sekelumit realita yang dihadapi orang Asia, terutama perempuan, di negara seperti Amerika Serikat. Mereka masih harus berhadapan dengan rasisme dan seksisme, bahkan sejak masih anak-anak.

Baru beberapa menit memasuki ‘Joy Ride’, penonton bakal melihat bagaimana orang tua Lolo langsung bersikap defensif saat sepasang warga kulit putih menghampiri mereka, meski ternyata itu adalah orang tua angkat Audrey. Raut wajah lega juga langsung terlihat dari ibu dan ayah Lolo ketika melihat Audrey sama seperti anak mereka—seorang anak perempuan Asia. 

Tidak lama setelahnya, muncul adegan bocah laki-laki kulit putih yang berkata, “Perosotan ini bukan untuk para ching chong!” merujuk pada Audrey dan Lolo. Begitu banyak isu rasial dalam satu-dua scene pembuka saja.

Baca Juga: ‘Soulmate’, Ini Tidak Cuma Tentang Love Triangle, Tapi Juga Persahabatan Perempuan

Rasisme yang dialami Audrey dan Lolo di Amerika tidak berakhir seraya mereka beranjak dewasa. Di sekolah, Audrey diejek karena (diasumsikan) berasal dari Tiongkok dan tidak punya ibu. Di kantornya yang didominasi laki-laki, tak peduli setinggi apa pun kariernya, ia cuma ‘perempuan Asia’ bagi para koleganya.

Audrey juga menyadari, hidupnya tidak sesempurna itu akibat persoalan rasial dan gender yang kerap ia hadapi. “Orang-orang selalu berpikir bahwa aku memiliki hidup yang sempurna,” pekiknya saat bertengkar dengan Lolo dan Kat. “[Tapi] aku tidak berasal dari mana-mana!”

Audrey sendiri sempat terpengaruh dengan sentimen Amerika terhadap orang Tiongkok dan Asia. Saat hendak bertolak ke Beijing, ia begitu waspada dengan berbagai stereotip buruk mereka. Misalnya, anggapan bahwa orang-orang di Tiongkok adalah pecandu narkoba. Padahal, justru warga negara Amerika yang ditemui Audrey dan kawan-kawannya di keretalah yang menjadi bandar narkoba. Pada titik itu, ia mulai mempertanyakan asal-usul dirinya sendiri.

Persis seperti yang dikatakan Chao, klien bisnis Audrey. “Jika kamu tidak tahu dari mana dirimu berasal, bagaimana kau tahu siapa dirimu?”

Kompleksitas Budaya Asia: yang Didobrak dan yang Dirindukan

Film Joy Ridejuga menyajikan norma-norma khas budaya Asia, baik secara eksplisit maupun implisit. Salah satunya, tabu seksualitas yang ingin dipatahkan oleh Lolo.

Jiwa artistik Lolo mendorongnya untuk membuat berbagai karya seni rupa yang sarat akan konotasi seksual. Ia pun berkencan dengan seorang atlet yang tertarik dengan karya seninya—yang, oleh keluarganya dan orang lain, sering dicap ‘buruk’ dan ‘tidak pantas’.

Pergulatan Lolo bukan hanya tentang karya seni dan seksualitasnya. Tumbuh besar bersama Audrey Sullivan yang cerdas dan berprestasi, orang tua Lolo sering membandingkannya dengan sang bestie. Audrey adalah ‘model’ bagi mereka: pintar, pengacara sukses, mapan. Sedangkan Lolo, yang ‘numpang’ tinggal di garasi rumah Audrey, dituntut kedua orangtuanya untuk jadi lebih baik lagi.

Audrey tidak mengalami perbandingan serupa dari orang tua angkatnya. Hidup bersama keluarga Amerika yang ‘bebas’, Audrey boleh melakukan apa saja yang diinginkannya. Orangtuanya tidak masalah dan bangga ketika Audrey sekolah yang tinggi sampai menjadi perempuan karier. Mereka juga sangat mendukung ketika Audrey memutuskan untuk kembali ke ‘kampung halaman’nya—meski awalnya hanya untuk perjalanan bisnis.

Sementara itu, tampak pula budaya keluarga Asia yang terasa ‘dekat’, bahkan sebagai orang Indonesia. Ketika Audrey, Lolo, Deadeye, dan Kat mampir ke rumah nenek dan kakek Lolo dan Deadeye di Tiongkok, mereka menyambut dengan banyak celotehan namun juga hangat.

Baca Juga: Film ‘Barbie’ Mengusung Isu Feminisme dan Menangkal Stereotipe Perempuan

Banyak adegan yang terasa familier: tante dan om yang ‘kepo’, nenek yang menyambut tamu seperti anak sendiri, celetukan, “Kamu terlihat lebih baik kalau rambutmu dipanjangkan,” “Ayo makan yang banyak!” dan sebagainya. Khususnya di scene tersebut, rasanya memang seperti pulang ke rumah.

Di scene itu pula tampaknya Audrey mulai mempertimbangkan kembali jati dirinya. Ia jadi lebih mantap untuk menelusuri jejak sang ibu. Kendati demikian, rupanya ia malah menemukan hal lain yang jauh lebih mengejutkan. Sempat kecewa, pada akhirnya Audrey menemukan fakta mengenai ‘keluarga’nya yang selama ini keliru ia pahami.

Latar belakang ibu kandung Audrey juga menjadi sesuatu yang, barangkali, lebih cenderung terjadi di Asia. Sang ibu mengandung Audrey akibat perbuatan lelaki tidak bertanggungjawab, yang malah meninggalkannya saat ia hamil. Keluarga sang ibu juga malah menolak kehamilan itu. Ia pun ditampung di sebuah yayasan hingga melahirkan Audrey.

Ibu Audrey sadar, dirinya tidak bakal sanggup mengurus anaknya seorang diri. Maka ia merelakan putrinya diadopsi oleh keluarga lain. Namun, bukan berarti ibu Audrey mengabaikannya begitu saja. Meski tak bisa bertemu Audrey, rupanya ia sering memikirkan sang anak dan menyimpan video berisi pesan terakhirnya untuk Audrey.

Trailer Film ‘Joy Ride’ (Sumber: Lionsgates Movie)

Film ‘Joy Ride’ memang bukan untuk semua orang. Paling tidak, sepertinya tidak semua orang bisa menghadapi bercandaan dan adegan-adegan kasar dan vulgar di film ini. Tapi lebih dari itu semua, ‘Joy Ride’ adalah film yang mampu menyajikan isu-isu kultural dengan ‘absurd’ sekaligus ‘dekat’.

(Sumber Foto: IG Joy Ride Movie)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!