Pengalamanku Melarikan Diri Dari Kota Yang Makin Sesak

Ini adalah pengalamanku lari sejenak dari kota yang penuh sesak. Aku pergi ke desa, lalu ke gunung, mendengarkan pengalaman orang lain dan banyak bertemu orang baru.

Hari-hariku akhir ini sedang kurang nyaman, sedih, dan banyak tekanan, bersyukurnya aku bisa kembali mendapatkan beragam cerita yang membuatku merasa tidak sendiri dalam berjuang menjalani hidup. Memang, kurasa perlu sedikit melarikan diri dari kota yang makin sesak.

Sabtu hingga Minggu, 26-27 Agustus 2023 aku kemudian mengikuti kegiatan Girls Camp Menanam Bareng Semayur Perempuan Poli-Culture di Sayur Pak Min, Getasan, Kabupaten Semarang. Ini adalah pengalamanku ketika mengikuti acara ini.

Aku sangat suka dengan slogannya yaitu menanam cinta, memasak doa, dan melahirkan karya. Begitu mendalam, ya.

Malam yang remang-remang ditemani api unggun dan bulan ini begitu spesial. Jarang sekali aku bisa berekspresi dengan sangat lepas seperti ini di kota. Berteriak dan menangis saat pentas kelompok menurutku sangat melegakan. Aku saja heran, bisa berekspresi sedalam dan sejujur itu.

Acara ini mempertemukanku dengan belasan perempuan dari beragam suku, bahasa, daerah, dan agama. Kami berasal dari berbagai kota seperti Yogyakarta, Semarang, Magelang, Lampung, Bengkulu, Jakarta, Rembang, dan daerah lain. Di sini perbedaan sangat dihargai, bahkan diapresiasi dengan tidak mengolok-olok cerita-cerita yang dilontarkan, bernyanyi, dan berjoget bersama. Selain itu, ada beberapa laki-laki yang membantu berlangsungnya acara kemah yang bermakna ini.

Baca Juga: Ingin Belajar Toleransi di Desa? Belajarlah dari Dusun Ngepeh di Jombang

Sore itu dari melihat matahari terbenam bersama di atap bangunan dan berpose untuk mengabadikan diri. Selanjutnya, ibadah Maghrib bagi yang menjalankan, makan bakso bersama, dan berpentas dengan kelompok saat api unggun. Kami saling bantu menyiapkan tempat dan peralatan ibadah, antre kamar mandi, dan berbagi makan malam yang menghangatkan.

Saat api unggun, kami mendengarkan Mbak Mima dan Bu Min, dua perempuan yang merupakan merupakan anak dan ibu yang kesehariannya bertani di lereng Gunung Merbabu. Mereka merupakan perempuan yang bekerja sama dengan suaminya, Mas Mukhlis dan Pak Min untuk mengelola sayur-sayur di kebun untuk memenuhi kebutuhan diri, sekitar, dan daerah lain. Mereka begitu kuat dan istimewa.

“Suka dukanya menjadi petani perempuan itu ketika musim hujan (hasil pertanian) cepet busuk, tiap pagi hujan, siang kabut, brokoli pernah nggak bisa dipanen. Pas musim kemarau, butuh banyak air. Kami menggendong air dengan drum bolak-balik (dari daerah bawah ke atas). Pas panen serentak, harga jatuh,” ucap Mbak Mima. 

Meski sulit, mereka senang menjadi petani dan melakukan itu dengan sepenuh hati. Apapun dipelajari, seperti manajemen sistem tanam, pekerja di kebun, pemasaran, dan sebagainya. Kami salut!

Baca Juga: Tak Menyerah di Tengah Pandemi: Para Perempuan Petani Lahirkan Coklat Mboro

Di tengah suasana malam yang makin dingin, dimulai sesi berbincang dengan Kak Kartika, seorang seniman yang berbakat dan begitu hangat. 

Beliau mengajak peserta untuk tidak malu untuk berekspresi, membuka topeng, jujur dengan diri sendiri, dan berkarya. Ini dimulai dengan menampilkan pentas dadakan per kelompok. Menarik sekali, ada yang menampilkan lagu dan kami nyanyi bersama, drama, dan peragaan emosi tanpa dialog. Aku bersama kelompokku memperagakan emosi masing-masing saat ini dengan tertawa, menangis, berteriak, bergerak memutari api unggun. Sesekali melemparkan kayu yang ada di sekitar ke arah yang aman. 

Rasanya begitu lega. Gak nyangka, menurut Mbak Mima, pentas kami paling mendalami karena bisa mengeluarkan emosi dan mengekspresikannya.

Setelah itu memakan jagung, sosis, dan seafood yang dibakar dan dibumbui oleh para laki-laki. Kami duduk melingkar sambil bercerita, belajar terbuka pada hal-hal yang sedih, perjuangan, dan mengharukan yang sedang dialami masing-masing perempuan. 

Baca Juga: Mama Aleta, Yosepha Alomang, dan Delima Silalahi: Pejuang Lingkungan Berperspektif Perempuan

Para perempuan bercerita kisah-kisah aktivis lingkungan, hubungan beda agama, kehilangan orang tua, berdiri di kaki sendiri, pengalaman diremehkan, wisata, masalah cinta yang mempengaruhi aktivitas, pelecehan, perasaan kurang bersyukur, pengalaman gagal menikah, hingga berjuang untuk hidup. Saling memeluk, berempati, dan mendengarkan cerita tanpa menghakimi. Pengalaman dari para perempuan ini sangat menguatkan. Setelah itu, kami beristirahat di tenda.

Esok harinya, kami ibadah pagi dan menunggu matahari terbit, meskipun ternyata tertutup kabut. Tidak apa-apa, yang terpenting sudah menghirup udara segar dan berfoto bersama. Setelah itu, antre kamar mandi untuk bersih-bersih diri.

Setelah itu, kami jalan-jalan mendaki gunung menuruni lembah melewati kebun wortel, sawi, buncis, kapri, tomat, timun, adas, dan melihat berwarna-warni bunga. Musim kemarau membuat tanah menjadi kering dan jalanan yang bekas kami lewat berdebu. Sesekali harus menutupi hidung dengan tangan tau pashmina yang kukenakan. Meski lumayan lelah, akhirnya kami sampai di kebun Sayur Sehat Pak Min, beberapa kilometer dari tempat kami kemah.

Begitu segar sepanjang mata memandang. Kami kagum dan memotret dahlia ungu yang menawan. Setelah itu sarapan dengan nasi jagung, urap, sayur adas, kerupuk, tempe, dan tahu. Begitu mengenyangkan jiwa-jiwa yang lapar setelah berjalan kaki.

Baca Juga: Ekofeminisme Perjuangkan Lingkungan Ramah Perempuan

Kami pun kembali ke tempat kemah dengan jalan kaki kembali melewati jalan berbeda. Saling sapa dan berbalas senyum tulus dengan warga desa. Mereka ramah dan menyenangkan. Kulihat para ibu membawa karung di atas kepala mereka dengan senang, meskipun sepertinya sangat berat. Kami pun menaiki jalan yang cukup curam. Sesekali mengaduh dan kembali berjuang untuk sampai tempat kemah.

Sesampai di tempat kemah, ternyata cuaca terik. Kami memakai caping dan topi ketika mendengarkan dan berdiskusi bersama Mbak Novi yang merupakan konten kreator pertanian di lereng Merbabu. 

Dulu, Mbak Novi adalah penyanyi dangdut. Beliau bekerja sama dengan suami untuk mampu berdaya bagi diri sendiri dan sekitar. Suami Mbak Novi membuat naskah, Mbak Novi yang ngomong di depan kamera. Mereka saling mendukung untuk mencapai tujuan.

Mbak Novi membuat konten pertanian agar orang muda tidak malu menjadi bertani. Meski pernah dibilang gendeng (gila) karena ngomong sendiri di sawah, tetapi sekarang orang sudah percaya dan sudah mendukung karena beliau mampu berdaya. Tak hanya itu, ia pernah dibilang, “Mosok ayu-ayu dadi petani, aku sih wegah.”

Baca Juga: 5 Buku Yang Bisa Mengubah Pandanganmu Tentang Lingkungan dan Perubahan Iklim

Tapi Mbak Novi nggak ambil pusing. Masak petani nggak boleh berdandan dan cantik? Tentu boleh, dong!

Setelah itu, kami mendengarkan perjuangan Mbak Dea, CEO Semayur yang bercerita tentang jatuh bangun, dunia kuliah, dan perjuangan bersama Semayur. Ia ingin berdaya bagi diri sendiri, sekitar, dan membantu petani agar lebih sejahtera dengan bekerja sama memasarkan hasil bumi dengan harga yang wajar sesuai kesepakatan. Keren sekali, ya.

Kemudian, kami memanen tomat ceri, sawi, dan wortel. Begitu memuaskan dan menyenangkan. Kami sangat antusias, terutama saat memakan tomat ceri langsung di kebun. Manis dan asam yang begitu menyegarkan. Setelah panen, kami kembali menyusuri jalan naik yang melelahkan tapi menyenangkan. Aku berkenalan dengan beberapa anak kecil di sana. Mereka begitu energik.

Sore itu kami melingkar dan menyampaikan terima kasih karena sudah mengikuti Girls Camp yang seru dan bermakna. Berfoto dan saling membantu memberesi bawaan, membongkar dan melipat tenda.

Lena Sutanti

Pegiat isu keberagaman
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!