Teknologi Digital Berkembang, Tapi Masih Sarat Ketidaksetaraan Gender

Seluruh dunia menginginkan kemajuan dan inklusivitas, khususnya penanggapan berbagai isu kesetaraan baik itu gender, maupun sebuah kesetaraan yang relatif baru muncul, yakni kesetaraan digital. Bagaimana Indonesia menanggapi isu ini?

Ketidaksetaraan gender mengacu kepada perlakuan, penyediaan kesempatan, serta pemberian hak-hak tidak setara akibat gender seseorang. VOA menghubungi Desintha Dwi Asriani dari Departemen Sosiologi, UGM. Pengajar dan peneliti ilmu sosiologi ini berpendapat, ketidaksetaraan gender di Indonesia paling menyolok di bidang kepemimpinan. Serta juga hubungan antara laki-laki dan perempuan yang mengarah pada kekerasan.

Guna mengatasi ini sudah ada beberapa langkah kebijakan publik yang diberlakukan pemerintah. Menurutnya, isu tentang kepemimpinan itu pendekatan kuota 30 persen sudah diimplementasikan di berbagai level.

“Jadi misalnya dari level politik praktis, di parlemen, itu selalu di dorong ya kuota 30 persen. Di level manajerial, institusi formal atau tempat kerja. Itu juga selalu ditekankan atau didorong supaya pimpinan perempuan 30 persen itu dipenuhi. Dan dorongan-dorongan yang bersifat sosialisasi maupun yang sifatnya kebijakan itu terkait dengan pendidikan. Bagaimana perempuan bisa mendapatkan pendidikan tinggi atau perempuan dan isu teknologi tinggi itu juga sudah banyak dilakukan,” jelasnya.

Terkait dengan kekerasan terhadap perempuan, Desintha mengatakan, “Itu yang terbaru ada yang namanya UU tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS, itu yang paling baru. Baru disahkan 21 April 2022 kemarin. Dan ini memang UU yang selama ini cukup diharapkan karena isu-isu tentang kekerasan selama ini memang untuk melindungi ya, melindungi korban kekerasan, dan tidak sekedar hanya melaporkan, tetapi juga melindungi korban hingga pemulihan korban.”

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Sosialis, Kapitalisme dan Ketidaksetaraan Gender Adalah Titik Opresi Perempuan

Desintha mengingatkan, Indonesia termasuk progresif dalam hal penindakan kekerasan terhadap perempuan. Terbukti dengan sudah diloloskannya UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KDRT pada 2004. Jadi selain kepastian hukum bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kejahatan, Desintha mencontohkan berbagai manfaat sosiologis dari kehadiran perangkat hukum ini.

“Tetapi juga yang lebih penting lagi secara budaya, karena kekerasan terhadap perempuan akar persoalannya adalah budaya. Misalnya normalisasi terhadap budaya yang mengedepankan seksisme, atau menempatkan perempuan sebagai obyek, sebagai obyek kekerasan, obyek pelecehan. Nah dengan adanya UU ini dan masyarakat lebih banyak tahu bahwa kita sudah punya perlindungan hukum seperti ini maka masyarakat lebih waspada bahwa perilaku-perilaku yang sifatnya melecehkan, sifatnya diskriminasi itu sekarang bisa ditindak secara hukum,” imbuhnya.

Guna membahas ketidaksetaraan digital, VOA menghubungi Daisy Indira Yasmine dari Departemen Sosiologi FISIP UI. Seiring perkembangan teknologi digital, sebuah fenomena yang ikut berkembang dalam masyarakat adalah digital inequality atau ketidaksetaraan digital.

“Di mana kita fokus kepada bagaimana internet itu ketika sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, tidak semua kelompok sosial di dalam masyarakat bisa menghadapi internet penetration ini, dan yang lebih kompleks lagi adalah, terjadi reproduksi dari inequality yang sudah terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks bermasyarakat, ini kemudian terulang kembali dalam konteks dunia online,” komentarnya.

Menurut pengamatan Daisy, ketidaksetaraan digital ini nyata sekali di masyarakat terpinggirkan, baik secara pendidikan maupun ekonomi. Contohnya adalah ketidaksetaraan yang dialami anak-anak putus sekolah karena situasi ekonomi mereka. Meskipun pemerataan akses ke internet relatif cukup efektif di Indonesia, namun keterampilan digital masih terbatas.

“Ini membahayakan karena social inequality yang sudah ada dalam kehidupan mereka, mereka sudah terpinggirkan dari berbagai akses ke edukasi, bisa terulang lagi dalam konteks digital. Nah, program-program untuk mengatasi apakah terjadi kesetaraan dalam bentuk manfaat dari internet dan teknologi informasi ini belum begitu banyak. Saya melihatnya belum serius ditangani,” lanjutnya.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Postmodern, Ketidaksetaraan Gender Terjadi Karena Bahasa dan Budaya

Sementara Indonesia mengarungi berbagai tantangan era modern, termasuk isu-isu ketidaksetaraan gender dan digital ini, jalan menuju kesetaraan itu rumit, tetapi baik pemerintah maupun masyarakat berkomitmen untuk melakukan perubahan dan menjadi mercu suar untuk menciptakan sebuah masyarakat yang inklusif dan adil. [jm/em]

Artikel ini terbit pertama kali di VoA Indonesia. Baca artikel sumber.

Jimmy Manan

Jurnalis VoA Indonesia.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!