Apa itu misogini?

Kamus Feminis: Apa Itu Misogini Atau Kebencian terhadap Perempuan

Istilah ‘misogini’ dan ‘misoginis’ kerap muncul dalam diskusi dan perdebatan terkait feminisme akhir-akhir ini. Tapi apa sih, artinya? Kamus Feminis kali ini mengajakmu memahami lebih jauh mengenai misogini.

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca

Pernah mendengar kata ‘misogini’, khususnya dalam berbagai diskursus di internet?. Misogini artinya kebencian terhadap perempuan. Artinya lebih kompleks dari sekadar permusuhan antar-gender.

Melansir dari Kamus Merriam-Webster, ‘misogyny’ atau misogini artinya adalah, “Hatred of, aversion to, or prejudice against women (kebencian, keengganan, atau prasangka (buruk) terhadap perempuan.” 

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deskripsinya lebih singkat: “kebencian terhadap wanita.”

Istilah ‘misogini’ sendiri dilansir muncul dari abad ke-17. Dalam bahasa Yunani, ‘misogunēs’ berasal dari kata ‘misos (kebencian)’ dan ‘gunē (perempuan)’. Pelaku misogini disebut ‘misoginis’. Sedangkan penggunaan istilah ‘misogini’ untuk menyebut tindakan penghinaan terhadap perempuan dipopulerkan pada tahun 1970-an oleh para feminis gelombang kedua.

R. Howard Bloch dalam tulisannya berjudul ‘Misogyny, Misandry, and Misanthropy’ mengemukakan, misogini kemungkinan besar muncul bersamaan dengan patriarki. Itu artinya, sekitar 3-5 ribu tahun yang lalu. 

Misogini lalu semakin kuat diperbincangkan di abad pertengahan. Lalu David D. Gilmore menambahkan dalam ‘Misogyny: the Male Malady’, bahwa hampir semua budaya manusia terbukti mempraktikkan misogini.

Baca Juga: Hati-hati, Influencer Misogini Menyerang Remaja Laki-laki

Tapi di luar asal-muasal penggunaan istilah, praktik misogini atau kebencian terhadap perempuan sudah terjadi sejak sangat lampau. Ia hadir di mana saja, dalam berbagai kesempatan, bukan tidak mungkin dilakukan oleh tokoh ternama dunia.

Jacqueline Ryan Vickery dan Tracy Everbach juga membahas misogini dalam tulisan mereka, ‘The Persistence of Misogyny: From the Streets, to Our Screens, to the White House’. 

Kendati berjumlah lebih dari setengah populasi, perempuan kerap diremehkan, distereotipekan, dan dalam perkembangan saat ini dikutuk dalam penggambarannya di media. Makanya, marjinalisasi perempuan terus terjadi di lingkungan masyarakat. Kurangnya representasi dan eksistensi yang diminimalkan, membuat perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak sekuat laki-laki. Di kalangan masyarakat, perempuan terus menjadi kelompok kedua yang terpinggirkan.

Pandora dan ‘Perempuan Pembawa Petaka’

Menurut Jack Holland dalam bukunya, Misogyny: The World’s Oldest Prejudice, bisa dibilang kalau misogini ‘lahir’ sekitar abad ke-8 sebelum Masehi. Diperkirakan, misogini muncul pertama kali di wilayah Mediterania.

Pada masa itu, kisah-kisah yang bermunculan menguatkan mitos bahwa ‘kejatuhan umat manusia’ berkaitan dengan perempuan. Konon, kelemahan perempuan adalah penyebab berbagai penderitaan dan kematian manusia.

Dalam tradisi Yahudi, kisah itu semakin menjadi ‘arus utama’ lewat penampilannya dalam Genesis. Menurut Genesis, Hawa-lah pelaku utamanya. Sedangkan dalam mitologi Yunani versi Hesiod, sosok itu adalah Pandora.

Alkisah, pada saat itu umat manusia tanpa perempuan berada dalam kedamaian. Lalu Prometheus muncul dan mencuri rahasia api dari para dewa. Alhasil, Zeus marah dan menghukum manusia dengan memberikan, “Hal jahat untuk menyenangkan mereka,” berupa perempuan. Itulah alasan sosok Pandora, perempuan pertama, diciptakan.

Pandora membawa botol atau kotak dan ia selalu diberitahu untuk jangan membukanya. Namun suatu hari, Epimetheus saudara Prometheus terpikat oleh kecantikan Pandora dan menikahinya. Ia pun membuat Pandora membuka dan mengintip ke dalam kotak yang selama ini dibawanya. 

Baca Juga: Komnas Perempuan Tanggapi ‘Rabbani’: Misoginis dan Menyesatkan

Maka berbagai malapetaka dan kejahatan seperti kelahiran, sakit, usia tua, dan kematian pun menerabas keluar. Pandora sendiri terperangkap di dalam kotak itu.

Mitologi itu tentu menunjukkan kebencian terhadap perempuan atas identitas gendernya sebagai perempuan. Tidak hanya itu, narasi tersebut pun memperkuat persepsi bahwa perempuan adalah penyebab musibah, kejahatan, dan kesengsaraan. Ini membuat perempuan terus didiskriminasi dan ditindas.

Perempuan Dibenci karena Ia Perempuan

Misogini adalah situasi ketika perempuan dibenci, bukan karena alasan-alasan tertentu, tapi semata-mata karena ia adalah perempuan. Kebencian itu bisa berupa sikap permusuhan hingga penyerangan terhadap perempuan. Ini termasuk pelecehan, kekerasan, hingga pembunuhan terhadap perempuan (femisida).

Bentuk lain yang menunjukkan sikap misogini adalah mendefinisikan perempuan yang ‘baik’ dan ‘buruk’. Biasanya, perempuan yang ‘baik’ digambarkan sebagai perempuan yang pasif, penurut, tidak cekatan, dan sebagainya. Sedangkan perempuan ‘buruk’ adalah perempuan yang memiliki ‘kekuatan’.

Pada perempuan, kekuatan membuat mereka jadi ‘jahat’ di mata misoginis. Makanya, dalam banyak dongeng dan mitologi, biasanya karakter perempuan yang muncul adalah sosok ‘jahat’ seperti ratu yang kejam, penyihir yang keji, dan lain-lain. Sementara dalam kisah yang sama, laki-laki kerap menjadi pahlawan seperti raja, pangeran, dan kesatria.

Banyak orang dapat menjadi misoginis di tengah kultur masyarakat patriarki. Bahkan, bukan rahasia lagi bahwa sejumlah tokoh publik terang-terangan menjadi misoginis dan memandang rendah perempuan.

Baca Juga: ‘Who is Victoria and What is Her Secret?’: Victoria’s Secret, Dalam Standar Kecantikan Toksik dan Kultur Misogini

Contohnya filsuf Aristoteles, yang mendeskripsikan perempuan sebagai, “Laki-laki versi cacat dan lebih rendah.” Atau, ketika Socrates dalam ‘The Apology of Socrates’ menyebut bahwa orang yang memohon hidup yang lebih baik di pengadilan, “Tidak lebih baik dari perempuan.” 

Kalau tidak, ketika Jean-Jacques Rousseau dalam buku ‘Emile, or On Education’ menulis bahwa perempuan, “Harus digagalkan sejak usia dini (…) Mereka harus dilatih untuk membatasi (diri).”

Atau, saat Arthur Schopenhauer menulis esai ‘On Women’, yang isinya dinilai misoginis oleh banyak kritikus. Schopenhauer juga pernah berargumen bahwa satu-satunya peran perempuan dalam spesies adalah melakukan persalinan. Juga, menurut Schopenhauer, perempuan dilengkapi dengan kekuatan untuk merayu dan ‘menangkap’ laki-laki.

Pada konteks yang lebih populer, misogini kini juga terjadi secara online. Misalnya ketika influencer Andrew Tate mengatakan dalam sebuah video bahwa perempuan mestinya berada di dapur, jangan mengemudi, dan menyalahkan perempuan yang mengalami pemerkosaan. Tentu bukan hanya Andrew Tate; bentuk misogini apa yang pernah kamu lihat di internet dan media sosial? Banyak sekali, kan?

Perempuan Juga Bisa Misoginis

Tapi jangan kira hanya laki-laki yang bisa menjadi misoginis! Nyatanya, banyak perempuan juga terinternalisasi nilai-nilai misogini sehingga jadi pembenci sesama perempuan. Dalam berbagai kasus, ada perempuan yang menjatuhkan perempuan lain karena hal tersebut.

Misogini barangkali muncul sebagai ideologi dari masyarakat dengan sistem patriarki yang amat melekat. Dominasi laki-laki membuat perempuan senantiasa ditempatkan pada posisi subordinat. Mereka pun dibatasi aksesnya pada kekuasaan dan pengambilan keputusan.

Di sisi lain, hidup dalam sistem patriarki yang kuat kerap membuat perempuan turut mengamini nilai-nilai patriarki. Serta melihat perempuan lain yang menentang hal itu sebagai ‘ketidakwajaran’. 

Kita mungkin pernah melihat perempuan yang merundung satu sama lain, atau mengatakan sesama perempuan yang tidak mengikuti norma-norma umum masyarakat patriarkal sebagai perempuan ‘tidak benar’. Itulah misogini terinternalisasi karena nilai patriarki (internalized misogyny) yang sering terjadi di sekitar kita tanpa kita sadari.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!