Guilt trip

Hati-hati Dengan Guilt Trip: Hindari Ini karena Bahayakan Kesehatan Mentalmu

Guilt trip adalah perilaku toksik, karena secara sadar seorang individu mencoba membuat individu lain merasa bersalah, meskipun ia tidak melakukan kesalahan.

Sebelum membahas lebih jauh bagaimana dampak guilt trip, kita harus mengetahui pengertiannya dulu.

Guilt trip adalah tindakan yang mencerminkan upaya individu untuk membuat individu lain merasa bersalah atas tindakan yang dilakukan. 

Istilah ini sering digunakan untuk menyerang, atau bisa disebut sebagai skema untuk memanipulasi dalam sebuah hubungan. 

Halodoc menuliskan, biasanya, orang yang melakukannya tahu pasti, bahwa apa yang mereka lakukan (membuat orang lain merasa bersalah), sebagai senjata untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dari orang lain. Perilaku guilt trip yang kerap terjadi yaitu mengungkit kejadian di masa lalu, ketika pelaku (tampaknya) membantu targetnya saat ini. Isu umum dari trik khusus ini adalah 

“Lihat, berapa banyak yang sudah saya lakukan untukmu.”

“Jika bukan karena saya, di mana kamu akan berada sekarang.” 

“Ingat ketika saya ada di sana untukmu.”

Baca Juga: 7 Tanda Red Flags dalam Relasi Yang Harus Kamu Kenali

Hal yang perlu ditegaskan, masih banyak kalimat-kalimat serupa di atas yang bisa memicu guilt trip. 

Ini berbahaya karena secara sadar individu mencoba membuat individu lain merasa bersalah, meskipun dalam konteks apapun individu itu tidak melakukan kesalahan. Maka dari itu guilt trip sering dianggap sebagai bentuk perilaku yang toxic dan harus dihindari. Sebab perilaku tersebut dapat mengganggu dalam hubungan sekaligus emosional seseorang. 

Hal ini sering dilakukan untuk mendapatkan perhatian, simpati, sekaligus bertujuan untuk mempengaruhi perilaku orang sesuai dengan kemauan pelaku. 

Cara yang digunakan untuk menjerat seseorang dengan rasa bersalah ada bermacam-macam. Dapat melalui kalimat mengancam, mengungkit apa yang sudah terjadi atau kata-kata manipulatif.

Guilt trip memiliki beberapa bahaya dan dampak negatif, terutama dalam konteks hubungan interpersonal. Yang tidak disadari, yaitu jika dilakukan dalam sebuah hubungan secara berlebihan atau terus-menerus, dapat merusak hubungan tersebut. Individu yang sering menjadi target mungkin merasa tertekan, resah, atau merasa tidak dihargai, yang dapat merusak rasa kepercayaan dan kualitas hubungan. Selain itu, hal tersebut bisa menghambat komunikasi yang efektif dalam hubungan. 

Orang yang merasa bersalah mungkin tidak merasa nyaman berbicara terbuka tentang perasaan mereka dan ini dapat menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan konflik atau masalah. Individu yang menjadi korban guilt trip akan sering mengalami kecemasan dan stres emosional. Mereka mungkin merasa tertekan dan bersalah, hal itu dapat berdampak negatif pada kesejahteraan emosional dan kesehatan mental mereka. Belum lagi itu adalah tindakan bentuk manipulatif dalam hubungan dan dapat menciptakan konflik yang tidak sehat. Konflik ini mungkin hanya memperdalam kesenjangan dan ketidaksetaraan dalam hubungan.

Meskipun sama-sama tindakan manipulatif lalu apakah guilt trip sama dengan playing victim?

Baca Juga: Kibarkan Red Flag untuk Hubungan Toksik

Meskipun keduanya sama-sama mempunyai cara untuk memanipulatif dan merusak hubungan, terdapat pula perbedaan untuk menandai bahwa itu ciri guilt trip. 

Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa guilt trip lebih fokus pada upaya membuat orang merasa bersalah atas tindakan atau keputusan mereka, sementara playing victim melibatkan pura-pura menjadi korban dalam situasi tertentu. Keduanya bisa digunakan sebagai taktik manipulatif dalam hubungan dan keduanya dapat merusak hubungan jika tidak diatasi dengan bijak.

Maka dari itu sikapi tindakan guilt trip dengan bijak demi menjaga kewarasan secara emosional. Seperti mengenali tindakannya seperti apa, hal tersebut adalah upaya untuk melihat batasan lawan. Lalu jangan merasa bersalah tanpa alasan, yang diingat kita tidak boleh merasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu yang benar-benar salah atau tidak pantas. 

Kemudian tetap rasional dan tenang, mengolah emosi dengan baik agar tetap tenang dan rasional dalam berkomunikasi dengan individu yang melakukan guilt trip. Hal tersebut menjadi penting karena kita tetap berada pada batasan, bertujuan untuk menghormati diri sendiri agar tetap kokoh di hadapan pelaku.

Untuk menyikapinya, perlu keberanian untuk berbicara terbuka, menjaga batasan pribadi, dan berkomunikasi secara sehat. Kemudian yang terpenting, jangan biarkan diri kita terjebak dalam perasaan bersalah tanpa alasan yang jelas dan patahkan tindakan tersebut.

Ravika Alvin Puspitasari

Kesibukan sehari-hari kuliah daring dan mengikuti berbagai diskusi online. Selain itu aktif menulis di Lembaga Institute For Javanese Islam Research. Tertarik dengan isu-isu gender yang sedang berkembang saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!