‘Namaku Alam’, Kisah Tahanan Politik dalam Sejarah 1965

Novel ‘Namaku Alam’ karya Leila S. Chudori mencatat sejumlah kisah dalam lubang-lubang pada narasi sejarah resmi pemerintah Orde Baru—termasuk, drama kehidupan keluarga para tahanan politik tertuduh komunis usai Tragedi 1965.

Penulis Leila S. Chudori kembali mengurai cerita kelam pasca-September 1965 dalam bentuk novel fiksi berjudul ‘Namaku Alam’. Novel ini merupakan spin-off dari karya Leila terdahulu, ‘Pulang’, yang menyajikan ketegangan di penghujung tahun 1965 dan 1998, saat Orde Baru menemui ambang usianya.

Namaku Alam’ memang masih berkesinambungan dengan ‘Pulang’. Menurut Leila Chudori, ‘Namaku Alam’ akan dibuat menjadi dua buku terpisah, dan yang sudah terbit sekarang adalah bagian pertama. Jadi, semesta ‘Pulang’ akan hadir sebagai trilogi.

Namun, kamu tidak perlu membaca ‘Pulang’ dulu untuk dapat memahami kisah Segara Alam di ‘Namaku Alam’. Novel ini tetap dapat dinikmati sendiri, sebagai spin-off alih-alih sekuel. Selain itu, yang terpenting adalah menyimak yang terjadi di balik lubang-lubang sejarah Indonesia pada awal masa Orde Baru.

Segara Alam, Sang Pencatat Sejarah

Sesuai judulnya, pusat semesta novel ‘Namaku Alam’ adalah Segara Alam. Ia berkisah tentang kenangan-kenangan yang melekat kuat di benaknya sejak tahun 1965.

Bapak Alam adalah wartawan yang dituding dekat dengan Lekra, lantas diburu pemerintah pasca peristiwa G30S, dan akhirnya ditembak mati pada 1970. Ibunya mesti melalui siksaan mental tak terperi, diinterogasi hingga dilecehkan aparat, dengan mengasuh tiga anak seorang diri. Sedangkan salah satu ingatan pertama Alam saat masih kecil adalah lelaki yang menodongkan pistol ke arahnya.

Alam lahir pada 1965, di tahun yang sama ketika terjadi peristiwa yang lalu disebut sebagai ‘Gerakan 30 September’ (G30S, menurutku tidak perlu ditambahi ‘PKI’ segala di akhirnya). Ia tak pernah benar-benar bertemu dengan sang ayah, yang menjadi buronan dan berada dalam pelarian hingga akhir hayatnya. Saat Alam menuturkan kisah hidupnya dalam buku ini, diketahui, ia berusia 33 tahun.

Sejak kecil, Alam berkawan karib dengan Bimo dan mereka dekat dengan sosok yang mereka panggil ‘Om Aji’. Nasib Alam dan mereka berdua lebih-kurang mirip. Bimo adalah anak dari Nugroho, yang menjadi eksil di luar negeri akibat dituduh memiliki keterlibatan dengan gerakan komunis. Dimas, kakak Aji, juga punya cerita serupa. 

Aji pun hadir sebagai sosok ‘ayah’ yang tidak pernah betul-betul dimiliki oleh Alam dan Bimo. Kesamaan nasib sebagai keluarga tahanan politik (tapol) mempererat hubungan di antara mereka.

Baca Juga: Moetiah, Gerwani yang Dibunuh Atas Nama Politik Orde Baru

Alam juga seorang pemuda yang memiliki ingatan fotografis. Artinya, ia mampu mengingat segala hal dari masa lalu. Tapi itu pun berarti, Alam tidak bisa dengan mudah melupakan hal-hal traumatis yang terjadi di sekitarnya. Kemampuan ini menjelma seperti ‘kutukan’ baginya.

Ilmu sejarah adalah salah satu bidang yang menarik minat Alam, selain bela diri karate. Ia percaya, anak-anak seusianya bukannya tidak doyan belajar sejarah. Persoalannya bagi mereka adalah narasi sejarah yang monoton dan tidak berani melawan arus yang ditetapkan pemerintah.

Namun, Alam punya alasan personal di balik kesukaannya terhadap sejarah. Ia, sahabatnya Bimo, dan keluarga mereka adalah bagian dari narasi sejarah yang selama ini berusaha dibuang oleh negara. Mereka adalah—mengutip kata-kata Alam, “Batu kerikil pada sepatu pemerintah.”

Hal inilah yang kemudian membuat Alam dan Bimo kemudian direkrut untuk bergabung dengan kelompok ekstrakurikuler Para Pencatat Sejarah di SMA Putra Nusa. Sesuai namanya, kelompok ini bertekad untuk belajar dan mencatat narasi-narasi sejarah. Termasuk yang tidak diakui oleh pemerintah pada masa itu.

Stigma Keluarga Tapol dan Fenomena Perundungan di Sekolah

Meski berlatar pasca-1965 dan menceritakan kondisi sosial-politik Indonesia pada masa-masa awal Orde Baru yang represif, ‘Namaku Alam’ lebih fokus pada ‘rekaman-rekaman’ perjalanan hidup Segara Alam.

Dari sekian banyak kenangan yang menempel erat dalam kepalanya, Alam takkan pernah melupakan bagaimana ia tumbuh di tengah perundungan terhadap dirinya, Bimo, dan keluarga mereka. Penyebabnya terutama adalah label ‘keluarga tapol’ dan ‘pengkhianat negara’ yang disematkan kepada mereka.

Namaku Alam’ menunjukkan fenomena perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah. Bahkan di jenjang Sekolah Dasar sekali pun. Perundungan di sekolah adalah fenomena yang, sayangnya, masih terjadi sampai sekarang. Tak jarang, anak kecil bisa menindas sesama murid karena contoh yang buruk hingga internalisasi nilai-nilai intoleran dari orang dewasa.

Alam, yang sempat menjadi bocah lelaki tukang berkelahi gara-gara bullying itu, paling sering dibuat marah oleh Irwan, sepupunya sendiri. Irwan adalah anak seorang perwira tentara. Bapaknya itu juga yang rupanya menanamkan stigma-stigma antikomunis kepada anak laki-laki bungsunya itu sejak dini. Paling sering, Irwan menyulut emosi Alam dengan mengungkit-ungkit ayah Alam yang ‘ditembak mati’ dan menjuluki ibunya ‘janda gatal’.

Baca Juga: Film ‘Lagu untuk Anakku’, Kisah Perempuan 65 Di Balik Penjara 

Dalam novelnya, Leila Chudori juga menyinggung hal itu sebagai stereotipe ‘janda’, yang hampir tidak pernah terjadi pada sebutan ‘duda’. Padahal, dua-duanya sama-sama julukan bagi orang yang sudah menikah dan ditinggal pasangannya. Hal itu menunjukkan misogini dalam pelabelan perempuan di lingkungan sosial.

Tidak berhenti pada Irwan, stigma negatif terhadap Alam, Bimo, dan para tapol serta kerabat mereka juga dilontarkan oleh pihak-pihak lain. Puncaknya (dalam bagian pertama ‘Namaku Alam’, paling tidak) adalah ketika Tommy, kakak Dara—sosok yang bikin Alam jatuh hati—turut merendahkan Alam dan keluarganya yang ‘pengkhianat negara’. 

Rupanya Tommy berkawan dengan Irwan dan mereka ingin terus menunjukkan kuasa di atas Alam. Ia tak merestui kedekatan adiknya dengan Alam, yang dipandangnya sebagai sosok rendahan.

Stigma seperti itu pun nyata ditempelkan pada banyak tahanan politik serta keluarga dan kerabat mereka, khususnya di masa Orde Baru. Bukan hanya oleh orang dewasa, internalisasi stigma terhadap tapol ditanamkan bahkan sejak masih kanak-kanak. Kondisi ini adalah teror lain bagi korban kejahatan pemerintah pasca-1965, di samping penculikan, eksekusi, pemerkosaan, penganiayaan, dan lainnya yang terjadi pada saat itu.

Tapi tentu saja penjahat tak mau kejahatannya terekam dalam sejarah, kan?

Kekuatan Perempuan

Ada juga isu-isu perempuan yang hadir dalam ‘Namaku Alam’, meski kisah pada novel ini menggunakan sudut pandang dan narasi dari tokoh utama laki-laki. Yang jelas, Leila Chudori punya cara khas menyajikan karakter perempuan dalam ceritanya. Sama seperti di novel ‘Pulang’, ‘Laut Bercerita’, dan karya-karya Leila lainnya, mantan wartawan Tempo ini kerap membawa sosok-sosok perempuan yang kuat dalam berbagai hal.

Pada novel ‘Namaku Alam’, salah satu sosok itu adalah Surti, ibu Alam. Pernikahan Surti dan suaminya, Hananto, tidak bertahan lama sebab laki-laki itu keburu jadi pelarian akibat diburu pemerintah Orde Baru. Surti pun mati-matian bertahan mengasuh tiga anaknya—Kenanga, Bulan, dan Alam—seorang diri. Di tengah carut-marut Indonesia pada saat itu, ia mesti menjalankan peran sebagai ibu sekaligus kepala keluarga.

Macam-macam bentuk interogasi dan intimidasi harus dihadapi Surti sejak Hananto buron. Ia dibentak hingga dilecehkan oleh para aparat yang merasa punya kuasa. Semua itu dilaluinya karena ia perempuan. Tapi Surti bertahan; ia bertahan karena anak-anaknya juga harus bertahan. Kendati mereka harus hidup merunduk setelahnya, bagi Surti, yang penting mereka dapat saling jaga.

Baca Juga: Umi Sardjono dan Perjuangan Gerakan Perempuan Indonesia

Kedua kakak Alam, Kenanga dan Bulan, juga punya peran besar dalam tumbuh kembang si bungsu. Kenanga adalah anak perempuan sulung yang harus menyaksikan episode-episode getir dalam kehidupan keluarganya. 

Bapaknya dikejar lalu dibunuh. Ibunya ditekan dan direndahkan, oleh aparat hingga oleh keluarga besar mereka sendiri. Bulan adalah si tengah yang lebih luwes, tapi juga memastikan sang kakak, adik, dan ibu yang berharga baginya, tidak melalui kesulitan hidup lebih dari yang telah mereka alami. 

Dalam novel ini, sekeluarga yang mayoritas anggotanya adalah perempuan itu memastikan selalu ada keamanan dan kesetiaan di antara satu sama lain.

Tentu sosok Dara Ariana juga tidak boleh terlewatkan dalam pembahasan mengenai perempuan-perempuan dalam ‘Namaku Alam’. Bukan cuma kuat secara fisik sebagai karateka, Dara yang mampu membuat Alam jatuh hati pun punya karakteristik yang tangguh. 

Ia awas terhadap kemungkinan laki-laki memandang rendah dirinya dalam pertandingan bela diri, karena ia adalah perempuan. Dara gusar ketika Alam meminta mereka untuk mengambil jeda sejenak akibat sikap jahat Tommy. Sebab, menurut Dara, ia mau menentukan sendiri apa yang baik untuk dirinya.

Secara keseluruhan, novel ‘Namaku Alam’ memang tidak semenegangkan ‘Pulang’ dan ‘Laut Bercerita’. Kalau dua novel itu berfokus pada aktivisme dan peristiwa bersejarah yang langsung menimpa para tokoh utama, ‘Namaku Alam’ lebih banyak mengisahkan kehidupan Segara Alam dan para kerabat tapol atau eks-tapol. 

Baca Juga: Di Balik Peristiwa 1965, Ada Banyak Perempuan Yang Dihilangkan Dan Tak Mendapat Keadilan

Berbagai drama dan intrik di dalamnya membuat alur novel ini cenderung berjalan lebih lambat, tapi bukannya tidak menarik. Rasanya, buku ini lebih bertujuan untuk membuat pembaca memahami situasi dan bersimpati atas ‘kutukan’ yang ditimpakan pada banyak orang pasca-1965

Yang paling utama: mengakui bahwa memang ada kejahatan Hak Asasi Manusia yang pernah berlangsung di Indonesia pada periode 1965-1970an, atau bahkan lebih lama dari itu. 

Novel Leila Chudori mungkin fiktif, tapi kisah yang disajikannya nyata. Peristiwa 1965—yang terjadi setelah 30 September 1965—benar terjadi. Teror dan peristiwa G30S tidak berhenti di tanggal 30 September 1965. Kengeriannya hidup lebih lama ketimbang usia orang-orang yang dicap ‘komunis’ oleh pemerintah dalam generasi itu. 

Kenyataannya, ada begitu banyak orang diburu, disiksa, dibunuh, hingga diasingkan pada masa-masa mencekam tersebut. Keluarga mereka pun mewarisi ‘kutukan’: stigma ‘komunis’ dan ‘pengkhianat negara’ yang dilekatkan kepada mereka, turun-temurun, dari generasi ke generasi.

Sekarang adalah 30 September ke-58 sejak peristiwa kelam itu. Alam barangkali masih takzim mencatat, lantas bertanya: sudahkah negara bertanggungjawab?

(Sumber Foto: Gramedia)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!