Setiap manusia punya hak untuk berpendidikan tinggi tanpa memandang gender apa pun. Namun, dalam kenyataannya perempuan masih mengalami pandangan yang tumpang tindih. Masih diatur boleh sekolah atau enggak, atau anggapan yang menyatakan bahwa perempuan jangan lebih tinggi dari laki-laki sekolahnya, bikin minder!
Dalam konstruksi budaya, sampai saat ini masyarakat patriarki masih saja beranggapan jika kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga dan urusan dapur saja. Oleh sebab itu harus ada kesadaran masyarakat dalam memandang pendidikan tinggi untuk perempuan sangatlah penting.
Masyarakat patriarki lebih mementingkan laki-laki dalam bidang pendidikan dan beranggapan perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Padahal dalam Islam semua gender diberikan hak untuk menuntut ilmu, bahkan Islam menganjurkan mencari ilmu sepanjang hidupnya.
Salah satu hadis terkenal dari riwayat Muslim yaitu “thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin” (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan). Sehingga tidak ada batasan gender dan umur dalam mencari ilmu. Perempuan atau laki-laki, semua mempunyai hak atas menuntut ilmu sampai setinggi-tingginya. Islam juga menganjurkan jika telah memperoleh ilmu alangkah baiknya, mengamalkan agar terus bermanfaat untuk diri sendiri dan masyarakat.
Sistem patriarki yang terjebak dengan budaya masyarakat menambah betapa sulitnya menjadi perempuan.
Salah satu faktor pendidikan laki-laki lebih utama dari pada perempuan yaitu anggapan masyarakat mengenai “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga dan di dapur.”
Anggapan ini semakin menyudutkan dan menutup mimpi perempuan. Padahal ilmu yang mereka dapatkan jika berpendidikan tinggi tidaklah sia-sia bahkan sangat bermanfaat untuk dirinya dan bisa membantu berkontribusi dalam membangun bangsa.
Posisi Perempuan Berkaitan dengan Pentingnya untuk Berpendidikan Tinggi
Dalam Islam perempuan dijunjung tinggi dan dihormati, ini menandakan betapa mulia martabatnya. Sebelum Islam datang sudah banyak penindasan yang terjadi terhadap perempuan. Namun semenjak datangnya Islam perempuan mendapatkan perlindungan dan hak-haknya.
Islam juga tidak pernah mengajarkan diskriminasi gender, semua sama. Penghormatan terhadap perempuan bahkan diabadikan pada salah satu hadis Rasul yang menyebutkan tentang penghormatan kepada ibu sebanyak tiga derajat dan bapak satu derajat. Betapa mulianya posisi perempuan.
Namun dalam kenyataan dan praktiknya perempuan masih mendapatkan diskriminasi. Perempuan dihadapkan dengan berbagai ancaman dan masalah, seperti jika pulang malam pasti mendapatkan bahaya, jika menolak akan mendapatkan perlakuan yang tidak sepatutnya, belum lagi banyaknya pelecehan, perdagangan perempuan, dan tindakan-tindakan jahat lainnya.
Ada salah satu asumsi, jika kodrat perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga atau di rumah saja. Ini semakin mereduksi dan membelenggu perempuan untuk bertumbuh. Perempuan dipaksa untuk menurut dan merelakan semua mimpinya. Suara-suara ini semakin membuat perempuan tersudut. Seakan mereka menutup telinga akan dinamika kehidupan perempuan. Perempuan jadi memiliki peran ganda, seharusnya ini tidak dilakukan karena setiap perempuan berhak untuk mengendalikan hidupnya.
Betapa kuatnya masyarakat mengaitkan peran perempuan sebagai ibu. Menurut Ester Lianawati dalam bukunya “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan” mengatakan sejak kecil, pada anak perempuan ditekankan bahwa menjadi ibu adalah sesuatu yang kodrati. Padahal, hanya karena perempuan memiliki rahim, tidak membuat perempuan terlahir untuk menjadi ibu.
Lagi-lagi perempuan seperti “dikutuk” hanya boleh menjadi ibu meskipun dia belum siap atau tidak mau menjadi ibu. Apa lagi jika dia masih mau melanjutkan pendidikan tingginya sampai strata tiga (S3).
Baca Juga: Spread Love Not Hate, Stop Kekerasan Gender di Sekolah
Berpendidikan tinggi masih dianggap tidak penting untuk perempuan. Padahal pondasi negara bisa maju jika ada campur tangan perempuan yang cerdas dan berpendidikan. Perempuan masih dikaitkan dengan urusan rumah dan dapur. Apapun alasan dan penyebabnya, masyarakat seharusnya lebih memberikan kebebasan untuk perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi.
Bukan hanya menggaungkan narasi bodoh itu, masih menganggap buat apa sekolah tinggi jika ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga. Hidup perempuan tidaklah usai jika ia tidak bisa menjadi ibu.
Saya mempunyai saudara, dia adalah perempuan berumur sekitar tiga puluhan. Dia seorang sarjana pendidikan. Namun alih-alih menjadi pendidik atau mengeksplor kemampuan dirinya, dia justru menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak. Tidak ada yang buruk menjadi ibu dan mengurus anak. Tapi yang membuat sebel adalah, keputusan ini tidak diambil oleh perempuan saudara saya ini. Keputusan hanya diambil oleh satu pihak, yaitu suami. Bukan tanpa alasan itu semua dia pilih karena menuruti semua kemauan suaminya. Saudara saya ini sebetulnya tak sependapat dengan suaminya, dia masih ingin melanjutkan mimpinya menjadi seorang guru. Lagi-lagi konon katanya istri harus patuh dengan suami.
Di sini terjadi ketidakadilan gender dalam berumah tangga. Apalagi dia adalah perempuan yang berpendidikan tinggi. Seharusnya suami memberikan kebebasan untuk istri agar bisa melanjutkan hidupnya.
Baca Juga: Pendeta dan Guru Bisa Jadi Pelaku Kekerasan Seksual, Hati-Hati dengan Orang Terdekatmu
Laki-laki tak perlu merasa malu atau takut harga diri dan sisi maskulinitasnya turun jika menikahi perempuan yang berpendidikan tinggi. Justru dia bersyukur bisa menikahi perempuan yang cerdas dan memiliki bekal ilmu.
Suami sering memaksakan keputusan tanpa mau mendengar jawaban apa yang akan disampaikan oleh sang istri. Hal tersebut tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat memuliakan perempuan. Jika hanya satu keputusan diambil dengan sepihak tentu ada pihak lain yang diberatkan yaitu dalam konteks ini adalah perempuan. Ini hanya secuil kisah dari banyaknya perjuangan seorang perempuan.
Posisi perempuan dalam Islam sangatlah mulia. Islam juga ramah dengan semua gender, menghargai posisi dan kapasitasnya. Namun memberikan justifikasi bahwa rumah adalah kodrat bagi perempuan sekaligus berstatus sebagai ibu rumah tangga sangat memuakkan perempuan. Rumah dan ibu bukanlah sebuah posisi kealamiahan dan kodrat perempuan.
Berpendidikan Tinggi adalah Hak Perempuan
Bagi saya pribadi, perempuan akan bahagia jika mereka diberikan kebebasan atas semua pilihan hidupnya. Perempuan mempunyai kebebasan untuk melanjutkan pendidikan tinggi tanpa ada ancaman yang membuat mereka berpikir dua kali.
Kita perlu membebaskan diri dari belenggu masyarakat patriarki yang masih menganggap perempuan tidak perlu sekolah tinggi.
Perempuan tidak boleh ini, harus begini, tidak boleh itu. Namun bukankah kita manusia yang memiliki hak? Jadi kita layak mendapatkan hal-hal baik dalam hidup khususnya pendidikan, kita boleh menentukan akan menjadi siapa dan seperti apa hidup kita nanti.
Mampu mengambil keputusan-keputusan sendiri dalam hidup menjadikan perempuan kuat dan bebas mendefinisikan dirinya.
Ada satu kalimat yang saya suka dari Ester Lianawati dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan “perempuan hendaknya tidak melakukan sesuatu hanya berdasarkan penilaian orang lain (masyarakat). Sebagai perempuan, kita perlu membebaskan diri dari penilaian-penilaian ini. Jika kita sendiri sudah menjadi perempuan bebas, kita bisa membebaskan perempuan lain.”
Terakhir, saya dan kita sebagai perempuan harus terus berjuang. Terus mengasah kemampuan dan mendedikasikan diri untuk sesuatu yang bermanfaat.
Tinggalkan narasi yang membuat kita muak. Toh mereka, masyarakat patriarki ini hanya bisa bersuara tanpa mau mengerti beban hidup yang sedang kita perjuangkan. Tetaplah jadi perempuan karena kalian hebat!