Bendera Palestina berkibar di tengah teriknya siang hari di Jakarta, Selasa (10/6/2025). Rombongan orang melangkahkan kaki sambil melontarkan seruan: “Free, free Palestine!” Pekikan lainnya, “From the river to the sea!” Berbalas, “Palestine will be free!”

Gabungan kelompok dan individu masyarakat sipil turun ke jalanan di Jakarta Pusat. Mereka menyerukan solidaritas bagi Palestina dan mendesak perlindungan terhadap 12 aktivis gerakan Freedom Flotilla Coalition (FFC) yang diculik dan ditangkap oleh tentara Israel saat mereka berlayar menuju Gaza, Palestina, untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Termasuk dalam gerakan tersebut adalah Greta Thunberg, aktivis iklim perempuan muda asal Swedia.
Pihak Israel sempat menahan para aktivis yang menumpangi Kapal Madleen tersebut di perairan internasional sebelum akhirnya mendeportasi sebagian dari mereka ke negara masing-masing.

Di Jakarta, aksi solidaritas dilakukan di sejumlah titik kedutaan besar negara-negara asing. Mereka memulai aksi dari Kedutaan Besar Perancis dan berakhir di Kedutaan Besar Belanda. Mereka juga mampir di Kedutaan Besar Jerman, Brazil, Swedia, Inggris, dan Turki. Pasalnya, beberapa aktivis Freedom Flotilla berasal dari negara tersebut.
Massa menuntut pihak otoritas masing-masing negara untuk melindungi warga negaranya dan mendukung kebebasan Palestina. Mereka juga mengecam tindakan semena-mena Israel dan mendesak pembebasan aktivis FFC tanpa syarat.

Baca Juga: Feminisme di Persimpangan Jalan: Perempuan Palestina dan Persaudaraan Selektif
“Kami juga mendesak pemerintah Indonesia untuk menganggap serius aksi dan perjuangan ini untuk kebebasan warga Palestina,” ujar Fathia Izzati, musisi band Reality Club yang juga mengikuti aksi solidaritas Palestina tersebut.
Saat berhenti di Kedutaan Besar Jerman, pihak kedubes keluar untuk menemui mereka. Salah satu perwakilan massa pun menyerahkan surat terbuka dan menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk bersolidaritas dengan aktivis FFC. Mereka juga mendorong Jerman untuk bersolidaritas dengan Palestina alih-alih berdiri bersama zionis Israel. Setelah menerima dokumen tersebut, pihak Kedubes Jerman kembali masuk ke gedung kedubes diiringi seruan, “Free, free Palestine!” dari massa aksi.
Aksi ini dimulai sekitar pukul 12 siang. Meski panas dan hujan melanda, massa aksi tetap melangsungkan unjuk rasa demi menunjukkan solidaritas bagi Palestina dan Freedom Flotilla di Kapal Madleen. Mereka pun mengakhiri aksi di Kedutaan Besar Belanda sembari tetap berorasi dan menyerukan pembebasan para aktivis, dibukanya jalur akses bantuan kemanusiaan untuk Gaza dan Palestina, serta penghentian genosida oleh Israel terhadap Palestina dan pembebasan Palestina.
Pengepungan Kapal Madleen dan Freedom Flotilla: Misi Kemanusiaan Bukan ‘Cari Sensasi’
Freedom Flotilla Coalition mulai menjalankan misi berlayar ke Gaza pada tanggal 31 Mei 2025. Mereka membawa 12 aktivis sebagai relawan kemanusiaan dan bantuan seperti makanan dan obat-obatan bagi warga Palestina yang wilayahnya diluluhlantakkan oleh Israel. Koalisi tersebut terdiri dari para relawan yang berasal dari sejumlah negara seperti Perancis, Brazil, Swedia, Turki, Spanyol, Jerman, dan Belanda. Greta Thunberg, aktivis perempuan muda yang selama ini vokal menyuarakan isu iklim, juga tergabung dalam rombongan kemanusiaan tersebut. Kapal Madleen yang digunakan untuk rencana menerobos blokade Israel di Palestina itu bertolak dari Catania, Sisilia, Italia.
Pada 9 Juni 2025, saat Kapal Madleen berada di area perairan internasional, mereka tiba-tiba mengalami pengepungan. Berdasarkan dokumentasi yang diunggah di akun Instagram @gazafreedomflotilla, tampak para penumpang Kapal Madleen mengangkat tangan saat pasukan militer Israel merangsek masuk dan membajak kapal mereka. Para relawan Freedom Flotilla, melalui rekaman yang telah mereka persiapkan sebelum berangkat, menyebut bahwa mereka telah ditangkap oleh pihak Israel saat video tersebut beredar.
Baca Juga: Google PHK Pekerja Pro-Palestina, AJI Jakarta Serukan Boikot Project Google
Seruan solidaritas dan desakan agar Israel segera membebaskan para aktivis tersebut tanpa syarat pun lantas bergema di media sosial dan melalui aksi-aksi di jalanan. Di Indonesia, aksi solidaritas juga berlangsung di Jakarta dan Bandung pada 10 Juni 2025. Mereka mengecam tindakan Israel yang melakukan penculikan dan penahanan terhadap Freedom Flotilla yang membawa bantuan kemanusiaan di perairan internasional. Selain itu, mereka mendesak otoritas negara-negara asal para relawan untuk segera menyerukan sikap dan melindungi warga negaranya. Serta menyatakan dukungan terhadap kebebasan Palestina dari penindasan zionis Israel.
Berdasarkan keterangan Freedom Flotilla Coalition, pasukan angkatan laut Israel menyita Kapal Madleen pada Senin (9/6/2025). Saat itu, posisi kapal berada sekitar 125 mil dari lepas pantai Gaza, Palestina, yang masih termasuk sebagai area perairan internasional. Mereka dibawa ke Pelabuhan Ashdod, dituduh sebagai penyusup ilegal, dan dipaksa menandatangani surat deportasi. Para kelompok masyarakat dan HAM internasional menyebut tindakan Israel merampas Kapal Madleen dan menahan aktivis sebagai bentuk pelanggaran hukum internasional.
Kementerian Luar Negeri Israel, melalui akun media sosial mereka, menyebut tindakan aktivis Freedom Flotilla sebagai ‘provokasi media’ oleh ‘selebritas’. Mereka juga mengklaim bantuan yang dibawa Kapal Madleen ‘sangat minim’ dan mengatakan bahwa cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengirimkan bantuan ke Gaza tidak harus melibatkan foto-foto di Instagram.
Baca Juga: Bagaimana Rasanya Peringati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Di Tengah Konflik di Gaza?
Kendati demikian, tindakan Israel tetap merupakan pelanggaran hukum internasional. Salah satu aktivis Freedom Flotilla, Thiago Avila yang berasal dari Brazil, mogok makan untuk memprotes penangkapan itu sejak Selasa (10/6/2025). Ia bersama lima relawan Freedom Flotilla lainnya masih ditahan di Kapal Madleen. Sementara itu, sejumlah aktivis lainnya dan awak jurnalis yang tergabung dalam rombongan tersebut dideportasi oleh Israel ke negara mereka masing-masing. Greta Thunberg juga mengalami deportasi. Ia dipulangkan paksa melalui Perancis menuju ke Swedia. Di Perancis, saat ditemui wartawan, Greta menyatakan bahwa situasi mereka selama penahanan, “Cukup kacau dan tidak pasti.”
“Saya telah membuat pernyataan jelas bahwa kami diculik di perairan internasional dan dibawa tanpa kehendak kami sendiri,” ucap Greta kepada awak media di Bandara Charles de Gaulle, Paris, Perancis, pada 11 Juni 2025 waktu setempat.
Ia juga mengatakan, ‘kecewa’ barangkali bukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya terkait upaya Freedom Flotilla untuk menembus blokade ke Gaza yang digagalkan Israel. Menurut Greta, yang terjadi adalah pelanggaran HAM internasional berkelanjutan yang dilakukan secara sistemik oleh Israel terhadap Palestina. Ia mengecam genosida yang secara terang-terangan dilakukan Israel terhadap warga Gaza dan Palestina.
Baca Juga: Menteri Spanyol Ione Belarra Dipecat, Sebut Netanyahu dan Israel ‘Penjahat Perang’
Greta menegaskan, mereka memahami betul risiko dari upaya menembus blokade Israel di Gaza. Ini bukan kali pertama gerakan Freedom Flotilla mengalami serangan akibat berusaha memberikan bantuan ke Palestina. Namun, menurutnya, paling tidak mereka mencoba melakukan sesuatu.
Ketika ditanya kondisinya dan para relawan Freedom Flotilla saat ditahan oleh militer Israel, Greta menegaskan, “Kondisi yang kami hadapi sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dialami warga Palestina dan khususnya Gaza saat ini.”
Israel Masih Lakukan Genosida Terhadap Palestina, dari Serangan Bom Sampai Pemutusan Bantuan Kemanusiaan
Gebrakan Freedom Flotilla sekaligus membangunkan kesadaran masyarakat dunia lagi atas genosida oleh Israel yang masih berlangsung di Palestina. Bukan hanya serangan bom dan senjata lainnya, pembunuhan massal terjadi dalam bentuk memutus bantuan yang berujung pada krisis kelaparan di Gaza.
Kondisi di Gaza dan Palestina saat ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Mereka menghadapi kombinasi brutal antara kekerasan, kelaparan, kekurangan air, layanan medis minim, trauma berat, dan ancaman kekerasan gender. Upaya bantuan dunia belum mampu mengatasi krisis yang terus memperluas dampaknya. Bukan hanya karena pembatasan yang dilakukan oleh Israel lewat blokade dan serangan terhadap rombongan kemanusiaan. Beberapa negara juga tampak masih enggan menyatakan dukungan penuh terhadap kebebasan Palestina sebagai sebuah negara yang utuh dan paripurna.
Menurut laporan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) dari Al Jazeera, sebanyak 1,95 juta orang dari populasi Gaza kini menghadapi kelangkaan pangan akut. The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA) juga menyebut, seluruh bantuan kemanusiaan yang mencakup makanan, obat-obatan, hingga vaksin, telah terhenti sejak 2 Maret 2025. Pengepungan total Jalur Gaza oleh militer Israel membuat bantuan sulit masuk selama lebih dari 11 minggu.
Baca Juga: Ribuan Nama Rakyat Palestina Korban Genosida Tertulis dalam Poster Aktivis
Blokade ketat sejak Maret 2025 pun menyebabkan harga bahan pokok naik 1.400% di Palestina. WFP kehabisan stok, dan lebih dari 65.000 anak menderita malnutrisi akut. Lebih dari 2.700 anak balita pun kini mengalami malnutrisi parah. Sedangkan 95% rumah tidak punya akses air layak dan sanitasi. Ini memicu wabah penyakit; banyak balita pernah mengalami diare akibatnya.
Padahal, korban tewas sipil terus berjatuhan di Palestina. Banyak di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Ratusan tewas ketika mengantre bantuan makanan dan mata air di Gaza. Bahkan, 22 orang tewas di satu titik distribusi dan 80 tewas saat mencari makanan. Selain itu, sekolah dan layanan kesehatan hancur. Lebih dari 600.000 anak kehilangan akses pendidikan karena 90% sekolah rusak. Fasilitas medis ambruk, dan bayi lahir tanpa alat medis atau pemanasan yang layak.
Dunia Butuh Lebih Banyak Perempuan Muda yang Marah untuk Palestina
Aksi kemanusiaan Freedom Flotilla pun mencuri perhatian dunia. Hal itu menuai tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Pada Senin (9/6/2025) waktu setempat, Macron menyatakan bahwa blokade Israel terhadap bantuan kemanusiaan di kapal Madleen merupakan, “Hal yang memalukan.” Ia juga menyerukan urgensi gencatan senjata di Gaza dan mendesak akses konsuler atas warganya yang ditahan di Kapal Madleen oleh Israel.
Pemerintah Turki juga mengecam intervensi Israel sebagai pelanggaran hukum internasional. Sementara itu, Spanyol memanggil duta besar Israel untuk menyampaikan protes resmi. Sedangkan Jerman memberikan pendampingan diplomatik bagi aktivis dan jurnalisnya. Negara-negara tersebut merespon sebagai bentuk penegasan tekanan politik global terhadap tindakan Israel. Mereka pun mendukung misi kemanusiaan Freedom Flotilla.
Baca Juga: Aktivis Serukan Gencatan Senjata dan Akhiri Genosida di Gaza
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat Donald Trump merespon aksi Greta Thunberg dan Freedom Flotilla dalam sebuah kesempatan. Ia menyebut Greta, “Orang yang aneh. Dia adalah orang muda yang marah. Dia jelas berbeda. Saya pikir ia harus mengikuti kelas manajemen kemarahan, itulah rekomendasi utama saya untuknya.”
Terkait komentar Trump, Greta membalas, “Dunia butuh lebih banyak perempuan muda yang marah untuk mengonfrontasi apa yang terjadi di Palestina.”
Pernyataan Trump tentang Greta Thunberg seakan menginvalidasi perjuangan perempuan untuk membela hak asasi manusia. Padahal, perempuan dan perempuan muda berhak dan penting untuk marah atas terjadinya isu kemanusiaan di Palestina.
Nyatanya, perempuan dan anak adalah kelompok paling terdampak dalam konflik bersenjata dan genosida. Termasuk di Palestina. Lebih dari 10 ribu perempuan tewas dan ribuan anak menjadi yatim di Gaza berdasarkan data per Mei-Juni 2025. Kemarahan sesama perempuan yang bersolidaritas bukan hanya wajar, tetapi perlu dan bermakna sebagai katalis global untuk keadilan. Ketika perempuan bicara soal Palestina, mereka menantang sistem patriarki dan kolonialisme sekaligus.
Baca Juga: We Stand With Victim: Perempuan Jadi Korban di Pusaran Konflik Israel dan Palestina
Subordinasi terhadap suara perempuan yang melawan harus dihentikan. Isu kemanusiaan adalah isu perempuan juga. Entah itu di Palestina maupun di tempat-tempat lainnya di dunia. Sebab, di mana ada penindasan, di situ ada perempuan yang jadi korban, dan di sana pula perempuan menunjukkan resistensinya.
Perempuan dan perempuan muda berhak, layak, dan bahkan dibutuhkan untuk bersuara lantang tentang Palestina dan isu-isu kemanusiaan lainnya di dunia. Sebab keberpihakan terhadap kemanusiaan bukan soal usia atau jenis kelamin. Ini soal nurani dan keberanian, yang begitu dekat dengan pengalaman perempuan.
(foto: dok. Khoirunnisa Nur Fithria/Konde.co)