Ilustrasi perempuan terpidana mati

Hari Anti Hukuman Mati 10 Oktober, Tahukah Kamu 500 Perempuan Jadi Terpidana Mati

Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide memperkirakan, setidaknya 500 perempuan terpidana mati di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 perempuan telah dieksekusi mati di tahun 2008 sampai 2018.

Hari Anti Hukuman Mati sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Hari ini menjadi pengingat tentang pentingnya mengakhiri hukuman mati bagi negara-negara di dunia.

Namun, ironisnya hukuman mati untuk untuk perempuan masih tinggi di dunia.

Angka orang yang dipidana mati saat ini kian bertambah. Termasuk para perempuan yang dihukum mati di dunia ini. KontraS melihat praktik hukuman mati sebagai bentuk penyiksaan.

Selain itu hukuman mati terhadap perempuan seringkali tidak dilihat dan diperhitungkan sebagai puncak tertinggi kekerasan terhadap perempuan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan Roundtable Discussion: Meneropong Hukuman Mati sebagai Penyiksaan yang tidak dapat dipulihkan pada 4 Oktober 2023. 

Agenda ini membahas tentang masa percobaan sepuluh tahun bagi para terpidana mati yang menimbulkan masalah baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mengatur tentang pidana mati, penyiksaan fisik juga mental yang menjadi fenomena deret tunggu (death row phenomenon).

Gambaran Umum dan Progres Hukuman Mati di Indonesia

Praktisi hukum dan penulis buku Mencari Hak Asasi Manusia (2021), Todung Mulya Lubis mengobservasi, bahwa Presiden Jokowi juga baru mengetahui dan menyadari bahwa dunia saat ini sudah berubah untuk menghapus hukuman mati. Namun Asia, Timur Tengah, dan Afrika Utara masih banyak melakukan hukuman mati. 

Berdasarkan data di 2022, tercatat Cina sudah melakukan kurang lebih 1000 kali. Iran 176 kali, Arab Saudi serta beberapa negara Asia Tenggara juga banyak melakukan pidana mati. Brunei Darussalam juga banyak menjatuhkan pidana mati, tetapi tidak mengeksekusi.

“Survei yang pernah dilakukan sebelumnya, banyak masyarakat yang setuju dengan hukuman mati, tetapi mereka tidak tahu alternatif pidana mati terdapat hukuman seumur hidup tanpa emisi, dipenjara 20 tahun, dan lainnya,” kata Todung Mulya Lubis. 

Todung Mulya Lubis mendorong lembaga survei untuk mengedukasi terkait hal itu. Banyak aspek hukuman mati yang tidak bisa disentuh. Bukan hanya terpidana yang disiksa, tetapi keluarga pun juga merasakan dampaknya.

Transisional KUHP dan Jeda Tiga Tahun

Hakim Agung pada Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI), Suharto, dalam diskusi ini memandang bahwa kondisi saat ini merupakan situasi dari transisi KUHP lama dengan yang baru yang dipandangnya cukup akomodatif—mengubah paradigma hukuman mati tidak menjadi pidana pokok, melainkan jadi pidana khusus.

Walaupun Indonesia tetap saja dipandang sebagai negara yang menyetujui hukuman mati.

Artinya, jalan terakhir dan harus dirangkai dengan seumur hidup dan 20 tahun sebagai alternatif. Kemungkinan tidak dieksekusi karena proses grasi harus ditolak dalam sepuluh tahun, maka berubah menjadi seumur hidup.

Suharto menerangkan, pemberlakuan norma KUHP baru terjeda tiga tahun dengan tujuan untuk proses sosialisasi bagi aparat penegak hukum (APH). Sejatinya, jika hukuman mati diartikan futuristik dan antisipatif, sebetulnya kita bisa melaksanakan norma baru di KUHP dengan pidana mati bersyarat. Tetapi banyak hakim yang konservatif. Terkadang hakim kreatif dan progresif terkena unpersonal conduct, terlebih Komisi Yudisial (KY).

Penelitian oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tentang varian hukuman mati periode 2019-2023 menyebutkan bahwa pengadilan tingkat pertama yang banyak menjatuhkannya. Mayoritas adalah pengadilan negeri (PN) sebanyak 193 kali. 

Suharto menerangkan, jikalau membahas terkait wacana hilangnya hukuman mati lebih baik sasaran utamanya adalah hakim pengadilan negeri untuk membuka pandangan dan wawasan agar ia lebih komprehensif.

Gerak Komnas Perempuan untuk Terpidana Mati

Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Mariana Amirudin, bercerita bagaimana Komnas Perempuan memperjuangkan kasus perempuan yang mendapat hukuman mati di Indonesia.

Di tahun ini, Komnas Perempuan juga memantau lembaga pemasyarakatan atau lapas di sepuluh wilayah negara di Indonesia. Di sana, mereka memeriksa satu persatu—menemukan perempuan terpidana mati memiliki kerawanan. Seperti korban relasi kuasa eksploitatif dari pasangan dan orang miskin yang terjebak sebagai sindikat narkoba. 

Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berkepanjangan dan mengekspresikan kemarahan dengan membunuh suaminya, juga menjadi perempuan terpidana mati.

Di catatan Komnas Perempuan lainnya, banyak perempuan terpidana mati tidak bisa baca tulis. Selama proses penyidikan, Komnas Perempuan pun melihat banyaknya intimidasi, penyiksaan dalam bentuk pemukulan dan pelecehan seksual, serta tidak mendapat layanan bantuan hukum dalam proses peradilan dan pengampunan 

Proses peradilan yang masih unfair trial membuat perempuan divonis mati memiliki persoalan psikis khusus—disayangkan sesi konseling mereka disamakan dengan pidana lain. Di samping itu, mereka seharusnya lepas dari kewajiban tertentu, apalagi dalam kondisi deret tunggu. 

Petugas lapas juga mengeluh ketidakjelasan mengenai waktu eksekusi karena anggaran keluar membengkak atau tidak ada. Mereka harus patungan untuk konsumsi perempuan terpidana mati.

Baca Juga: Jika Kamu Berkasus: Ketahui Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Berkaca dari segala kerugian dari aturan ini, Komnas Perempuan lalu mendesak pelaksanaan KUHP baru harus dimulai dari sekarang. Sebetulnya, tidak ada alasan mempertimbangkan karena tidak diterima masyarakat. 

Mengenai masa tunggu yang lama, mereka tidak mendapatkan kepastian hukum—kejaksaan selalu mengatakan bahwa alasan belum dilakukan atau terpenuhinya upaya pengampunan dan hukum lanjutan untuk pengajuan dan perolehan grasi.

“Perempuan terpidana mati yang masih memiliki anak kecil sangat berharap dapat dipindahkan ke lapas dekat tempat tinggalnya. Hanya saja proses pemindahan dan ketersediaan lapas perempuan menjadi kendala. Pemberlakuan batasan kunjungan dan prosedural rumit membuat sebagian keluarga enggan mengunjungi mereka. Kondisi lapas yang melebihi kapasitas, tidak sebanding dengan kuantitas petugas juga menjadi persoalan baru yang timbul akibat aturan ini.”

Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide memperkirakan setidaknya 500 perempuan terpidana mati di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 perempuan telah dieksekusi mati di tahun 2008 sampai 2018. Angka yang tentu saja menunjukkan fenomena gunung es, bahwa sesungguhnya potensial melebihi sejumlah angka tersebut.

Menurut catatan Komnas Perempuan, kasus hukuman mati terhadap perempuan banyak sekali terjadi. Perempuan terpidana mati juga mengalami kekerasan seksual, psikis, dan fisik selama menjalani proses hukuman mati.

Hukuman mati merupakan diskriminasi berlapis terhadap perempuan. Meski ada banyak sekali tekanan yang mengharuskan Indonesia menghapuskan hukuman mati. Namun beberapa hal kerap menjadi kendala Indonesia untuk menerapkan restorative justice.

Baca Juga: Laporan Cornell Center: 500 Perempuan Jadi Terpidana Mati di Dunia

Mitos ‘efek jera’ juga menjadi salah satu jargon yang terus melanggengkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman ‘terberat’. Akan tetapi hukuman mati hanyalah jalan pintas, karena negara enggan memperbaiki hukum yang berlaku hari ini. Hukuman mati sering dilihat sebagai persoalan hitam putih. Sehingga dalam beberapa kasus, permasalahan yang sangat kompleks luput dari sistem peradilan Indonesia.

Catatan Komnas Perempuan memperlihatkan hukuman mati terhadap perempuan seringkali tidak dilihat dan diperhitungkan, sebagaimana yang dialami oleh Mary Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) dan sejumlah perempuan pekerja migran terpidana mati di negara tujuan bekerja.

Hal ini sangat sesuai dengan tema Perempuan dan Pidana Mati, sebuah kenyataan yang tak terlihat (Women and the death penalty, an invisible reality).

Berdasarkan laporan pemantauan Komnas Perempuan di tahun 2021, ditemukan fakta bahwa hukuman mati yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran, baik karena pembunuhan maupun perdagangan narkotika, berawal dari jejak panjang feminisasi kemiskinan dan lapisan kekerasan berbasis gender yang dialami sejak dari rumah hingga terus berakumulasi ke dunia kerja dan ruang-ruang sosial lainnya.

Perempuan pekerja migran mengalami kondisi kerja yang eksploitatif dan tidak manusiawi serta relasi kuasa yang meletakkan perempuan dalam posisi subordinat. Akumulasi kondisi kerja yang buruk dan pengalaman menjadi korban kekerasan seksual serta tindak pidana perdagangan orang, mendorong perempuan untuk melakukan tindak pidana sehingga berujung pada ancaman hukuman mati. Kemudian pada proses hukum, proses peradilan yang tidak adil, diskriminatif dan nihil pemahaman terkait analisis gender mengakibatkan korban mengalami kriminalisasi dan didakwa hukuman mati.

Selain itu, didapati adanya bentuk eksploitasi baru dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yaitu untuk tujuan penyelundupan narkotika. Namun, fenomena pertautan antara tindak pidana perdagangan orang dan kejahatan narkotika sering tidak dilihat. Juga, tampaknya belum dikenali oleh sistem hukum Indonesia.

Baca Juga: Mengenal MU, Perempuan Terpidana Mati yang Dijebak Sindikat Narkoba

Akibatnya, sejumlah perempuan yang sesungguhnya adalah korban perdagangan orang harus malah berhadapan dengan hukuman mati. Dalam kondisi ini, aparat penegak hukum sudah saatnya menanggalkan dan meninggalkan pendekatan visi terowongan (tunnel vision) dalam proses hukum kasus-kasus penyelundupan narkotika.

Penantian menunggu kepastian untuk lolos dari hukuman mati juga merupakan sebuah kondisi yang mendera kemanusiaan. Komnas Perempuan mengingatkan pada dua kasus perempuan terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) yang telah terlalu lama menanti dalam ketidakpastian.

MJV merupakan korban tindak pidana perdagangan orang telah menjalani pidana penjara selama 11 tahun. Sedangkan MU telah menjalaninya selama 20 tahun. Situasi ini tidak hanya mendera terpidana perempuan melainkan juga anggota keluarganya, hingga berdampak pada gangguan kesehatan mental. Menjadi penting bagi Presiden RI untuk mengabulkan grasi sebagai upaya komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun.

Komnas Perempuan menegaskan, selain bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights), hukuman mati juga merupakan bentuk penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat manusia. Penegasannya telah dinyatakan dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara.

Fayza Rasya

Mahasiswa UIN Jakarta yang kini jadi jurnalis magang di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!