Aktivis Ajak Publik Empati Pada Korban, Melki Sedek Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual

KOMPAKS mengajak masyarakat untuk menghargai kerja Satgas PPKS UI dan melindungi korban. Hal itu mereka serukan usai adanya SK Rektor UI yang menyatakan Ketua BEM UI, Melki Sedek terbukti sebagai pelaku kekerasan seksual dari hasil investigasi Satgas PPKS UI.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Melki Sedek Huang terbukti melakukan kekerasan seksual. Ia mendapatkan skorsing selama satu semester dan larangan untuk berhubungan atau berdekatan dengan korban, aktif dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan apapun, serta berada di lingkungan kampus UI.

Hal ini disampaikan melalui Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 49 Tahun 2024 tentang Penetapan Sanksi Administratif terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Atas Nama Melki Sedek dengan Nomor Pokok Mahasiswa 1906363000 Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Keputusan ini dikeluarkan pada Senin (29/1/2024).

Melki sempat dinonaktifkan sementara dari jabatan Ketua BEM UI sejak 18 Desember 2023. Kejadian ini menjadi viral di media sosial X (Twitter) dan menuai berbagai respons audiens.

Kejadian tersebut menunjukkan bahwa kampus belum menjadi ruang aman bagi sivitas akademik, khususnya perempuan. Kasus kekerasan seksual masih sering terjadi meski Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021  tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sudah diteken.

Masyarakat Minim Empati dan Menyalahkan Korban

Melihat dari kasus Melki, audiens seolah terbagi menjadi dua kubu: mengecam tindakannya dan meragukan kebenaran kasus yang menimpanya.

Selama ini, ia dinilai aktif mengkritisi pemerintah dan menentang kekerasan seksual. Sayangnya, Melki justru menjadi pelaku kekerasan seksual dan harus berhadapan dengan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI.

Namun, ada juga warganet yang justru berpihak pada Melki. Mereka meyakini bahwa kasus kekerasan seksual yang menimpanya muncul sebagai upaya pembungkaman. Selama ini, Melki dikenal sebagai sosok yang kritis terhadap pemerintah.

Sehari setelah putusan rektor keluar, poster acara yang mengundang Melki Sedek diunggah. Acara bertajuk “Jumat Melawan Geruduk MK: Mimbar Bebas untuk Demokrasi dan Perlawanan!” juga mengundang narasumber lain yang lantang bersuara soal pelanggaran hak asasi manusia.

Baca Juga: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan

Ia memang tidak hadir dalam acara yang diadakan oleh Forum Anomali tersebut. Namun, ia terpantau masih aktif di Instagram. Terbaru, Melki mengabarkan adanya peretasan pada akun WhatsApp-nya.

Dari kasus kekerasan seksual yang menjerat Melki Sedek, dapat dilihat bahwa masih banyak masyarakat yang justru memberi ruang pada pelaku kekerasan seksual. Mereka menganggap kasus ini termasuk upaya pembungkaman terhadap aktivis.

Masyarakat menyebut Melki adalah korban dari kejahatan rezim. Mengingat belakangan ini banyak kasus pembungkaman terhadap orang-orang yang sering mengkritisi kebijakan pemerintah pada rezim Joko Widodo.

Alih-alih memberi ruang aman bagi korban, masyarakat justru mempertanyakan dan menganggapnya janggal. Kasus ini terkesan muncul secara tiba-tiba. Ditambah kronologinya yang tidak dibuka ke media dan keputusan korban untuk tidak membawanya ke meja hijau.

KOMPAKS Ajak Publik untuk Berpihak pada Korban

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) cukup menyayangkan polarisasi sikap di tengah masyarakat tersebut. Melki yang sudah ditetapkan secara sah–melalui proses investigasi Satgas PPKS–sebagai pelaku kekerasan seksual justru dibela. Padahal, investigasi telah dilakukan dengan melibatkan para ahli dan sistem yang ada.

Ada empat poin yang ditekankan oleh KOMPAKS. Pertama, semua pihak diminta untuk menghormati hasil investigasi yang telah dilakukan Satgas PPKS UI. Pasalnya, banyak warganet yang justru meragukan hasil investigasi tersebut. 

Publik berpendapat bahwa tak ada transparansi dalam kasus ini. Kronologinya pun tidak dijelaskan lebih lanjut sehingga menimbulkan kecurigaan. Publik tidak ingin terkecoh lagi dengan informasi kekerasan seksual yang viral karena ulah oknum tidak bertanggung jawab.

Padahal, tidak semua kasus kekerasan seksual harus dibuka untuk umum. Publik perlu menghargai pengalaman traumatis korban.

Kedua, seluruh lapisan masyarakat diminta untuk tidak memberi ruang dan panggung bagi terduga pelaku kekerasan seksual selama proses investigasi berlangsung. Hal ini bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi korban dan mendorong sanksi sosial bagi pelaku.

Ketiga, masyarakat diminta untuk menunjukkan keberpihakan pada korban. Caranya adalah dengan berempati, memberi dukungan moril, dan membantu korban mengakses layanan bantuan hukum, pendampingan psikologis, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Tak Punya SOP Hingga Bias Gender: Peta Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

Terakhir yaitu pihak berwenang perlu memastikan proses terbebas dari pengaruh kepentingan politik dan agitasi yang membungkam atau mengalihkan isu.  Proses pemeriksaan harus dijalankan secara adil dan objektif tanpa ada intervensi dari pihak manapun.

Selain empat poin di atas, KOMPAKS juga mendesak Melki agar memanfaatkan kanal resmi Satgas PPKS untuk menyampaikan keberatan atau klarifikasi. Dalam hal ini, Melki telah mengajukan surat keberatan dan permohonan pemeriksaan ulang kepada Satgas PPKS UI yang dilayangkan pada Rabu (31/1/2024).

“Kami mengingatkan dan mendorong Melki untuk mengakui bahwa melindungi dan berpihak kepada korban adalah wujud nyata dari pemenuhan hak-hak korban,” tulis KOMPAKS dalam rilis persnya pada Kamis (1/2/2024).

KOMPAKS mengajak seluruh masyarakat untuk berpihak kepada korban. Hal ini penting sebagai upaya memulihkan hak-hak korban dan memastikan keadilan dapat terwujud.

“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan bebas dari segala bentuk kekerasan,” tutupnya.

(Sumber Gambar: IG Melki Sedek Huang)

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!