Ilustrasi single mother

Usiaku 40 Tahun dan Single Mother, Aku Ditolak Kerja karena Terlalu Tua

Tahun ini Linda umurnya 40 tahun. Sebagai single mother, ia harus menghidupi anak-anaknya. Namun mencari kerja di umur segini tak mudah, ia banyak ditolak perusahaan karena dianggap gak produktif kerja.

Selamat datang di usai paruh baya, Linda saat ini banyak mendapat julukan ini. Usia paruh baya. Single mother pula.

Menjadi tulang punggung keluarga dengan dua anak, membuatnya kadang tak bisa berpikir jernih. Ditambah sejak tiga tahun lalu Linda menjadi single mother

Usai mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Linda mengaku kesulitan mendapatkan pekerjaan kembali.

Beberapa tahun lalu, menjadi paruh baya bagi pekerja biasa seperti dirinya dan belum punya posisi penting di perusahaan, membuat Linda ketar-ketir. Sebab bisa saja suatu saat perusahaan memecatnya jika dianggap ada masalah. 

Tak berselang lama ketakutan itu terjadi. Sudah beberapa bulan ini Linda di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan ia tak paham penyebabnya. Tiba-tiba saja perusahaan memintanya mundur.

Linda pasrah dan mencoba menenangkan diri, rasa sedih dan takut menyergapnya kala sendiri. Ditambah Linda disebut dikorbankan kantor karena kerap izin tidak mengikuti rapat offline untuk mengurus buah hatinya. 

“Alasan kantor mem-PHK karena saya kerap izin tidak bisa ikut rapat offline dan mengikuti rapat online. Namun, saya yakin saya sudah bekerja dengan baik, semua target saya selesaikan dengan baik. Saya tidak paham mengapa kantor mengorbankan saya yang sedang sangat butuh-butuhnya uang. Sebab semua anak-anak saya masih sekolah,” katanya.

Baca Juga: Rasanya Jadi Single Mother Saat Pandemi: Cerita Pekerja Rumah Tangga

Linda yang terbiasa kuat mental menghadapi banyak cobaan hidupnya, runtuh dalam sesaat. Dirinya tak takut dengan karir yang sudah dibangunnya bertahun-tahun

”Yang ada di pikiran saya cuma anak-anak. Kalau saya ibaratnya nomor dua lah. Kalau mereka nggak bisa makan, nutrisinya nggak cukup dan nggak bisa sekolah, itu yang paling saya takutkan,” jelasnya.

Dalam kondisi rentan secara ekonomi, Linda mengaku melakukan banyak usaha agar tidak menganggur sambil mencari pekerjaan baru. Ia kemudian berjualan baju dan makanan.

”Apa saja saya kerjakan, berjualan makanan, baju atau menjadi pekerja lepas. Namun benturan waktu yang tidak jelas. Kadang berbenturan dengan waktu mengurus anak, misalnya saya tiba-tiba masih di luar rumah, sementara anak saya tidak ada yang menjemput sekolah. Pernah suatu hari anak saya pulang ke rumah sambil menangis karena saya terlambat menjemputnya sekolah karena masih di luar,” jelasnya.

Paska pandemi, pola kerja remote sebenarnya membuat Linda bisa mengurus anak sambil bekerja.

”Sekarang bahkan PNS aja banyak yang kerja remote, dalam hal ini kita tetap punya target dan target itu harus diselesaikan. Beda jika perusahaan mencari-cari kesalahan kita agar bisa menyingkirkan kita dari kantor tanpa alasan yang jelas,” ujarnya.

Habis di-PHK, Linda kemudian mencoba melamar beberapa pekerjaan. Sejumlah perusahaan yang dilamar, diungkap Linda memberi batasan usia dan ciri fisik. Ada juga yang memberi penawaran gaji yang sangat rendah, meski pengalaman Linda di dunia kerja sudah mumpuni.

”Malah kadang mereka bingung mau bayar saya berapa. Menurut mereka karena saya sudah berpengalaman. Itu bikin saya bangga terhadap diri sendiri sekaligus sedih, sungguh banyak cara perusahaan itu menolak perempuan seperti saya,” ucap dia.

Komnas Perempuan Kecam Perusahaan PHK Serampangan

Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengungkapkan, ibu bekerja yang menanggung anak yang dipecat dari pekerjaannya berpotensi masuk pada situasi rentan miskin.

”Ibu yang memiliki anak apalagi sebagai pencari nafkah utama di keluarga akan membuat diri dan anak-anaknya ke kondisi rentan miskin, hal itu perlu perhatian khusus dari pemerintah dan lingkungan tempat ibu tinggal, ibu ini butuh support sistem yang terus mendukungnya, agar tidak membuatnya terganggu secara mental karena depresi akibat pemecatan sepihak perusahaan,” tegasnya.

Padahal, kata Tiasri, perempuan diatas usia 40 tahun dan punya anak, biasanya lebih matang dimana mereka sudah bisa berpikir logis dan bisa mengambil keputusan bukan anak muda labil yang masih mencari pengalaman.

”Mereka sudah expert, lebih mudah menyesuaikan diri dan lebih tahan banting, sudah seharusnya perusahaan menjadikan mereka aset bukan beban, persepsi yang salah tidak boleh terus dilanjutkan,” jelasnya.

Disamping itu, kondisi perempuan yang masuk usia matang dan juga memiliki anak biasanya punya motivasi dan semangat kerja tinggi.

”Karena mereka terus memasang mode ‘survive’ maka mereka akan lebih loyal dan punya semangat kerja tinggi,” ujar Tiasri.

Baca Juga: Seperti Awan Tebal di Langit Kelam: Perjuangan Single Mother di Tengah Pandemi

“Kami menyayangkan tidak ada aturan jelas soal ketenagakerjaan soal PHK sepihak bagi seorang ibu yang memiliki anak, ditambah dalam UU Omnibus Law nanti yang sering kali justru lebih menguntungkan pemilik perusahaan,” lanjut Tiasri.

Tiasri mengumpamakan, memberi kesempatan bekerja ibu adalah memberi makan juga anak-anaknya.

”Bayangkan, dalam kondisi si ibu tengah butuh-butuhnya biaya, anda sebagai bos, menyetop sumber penghasilannya, terbayang bagaimana kesehatan mental ibu tersebut, kalaupun sangat terpakasa mem-PHK ibu, sudah seharusnya sesuai dengan aturan, tidak boleh serampangan, ada uang pesangon, dengan uang pesangon itu, ibu yang di PHK bisa bernafas, misalnya bisa untuk memulai berbisnis demi menghidupi anak-anaknya,” jelas dia.

Dengan darah dingin, perusahaan yang memecat ibu bekerja sama saja berniat memutus sumber hidup anak-anaknya.

”Tanpa disadari, perusahaan yang memecat seorang ibu yang sudah memiliki anak sudah memutus sumber kehidupan anak-anaknya, dimana anak-anak bukan hanya diberi makan, mereka punya hak untuk belajar dengan sekolah dan juga hak untuk dipenuhi nutrisinya, hal itu sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM),” tukasnya.

Perusahaan yang ogah menerima ibu untuk bekerja di perusahaannya, dikatakan Tiasri mempertajam angka kriminalitas pada ibu. 

Baca Juga: Manfaat Self Love Bagi Single Mom, Untuk Percepat Move On 

Ia mengungkapkan, temuan Komnas Perempuan di Lembaga pemasyarakatan (Lapas) perempuan kebanyakan karena mereka tidak punya kesempatan kerja, pada akhirnya terjerat pada jaringan peredaran narkoba.

”Narapidana perempuan kebanyakan terjerat kasus narkoba akibat mereka harus bertahan hidup dan harus menghidupi keluarga mereka, tidak adanya lapangan pekerjaan dan kesempatan diberikan pada ibu yang ingin bekerja membuat mereka akhirnya menjadi sasaran pelaku kejahatan,” ungkapnya.

Tiasri mengungkap, Komnas Perempuan mencatat, kebanyakan kejahatan yang melibatkan perempuan sebagai pelaku kejahatan karena perempuan dijadikan target oleh jaringan kejahatan.

”Mereka memberikan iming-iming pekerjaan yang mudah yang menghasilkan uang banyak, bagi ibu yang rentan miskin karena tidak punya pekerjaan, hal itu sangat menarik, lalu secara tidak sadar dia masuk pada jaringan narkoba dimana mereka sulit sekali melepaskan diri dari,” beber dia.

Baca Juga: Derita Pekerja Single Mother: Tak Dapat Pengakuan hingga Diupah Murah

Disamping memberi harapan hidup bagi anak-anaknya, mempekerjakan Ibu juga bisa mengasah intuisi dan ketajaman pemikirannya, perempuan yang punya pekerjaan yang stabil cenderung lebih sehat mental dan fisiknya.

”Ibu dengan pekerjaan yang stabil membuat anak-anak mereka tumbuh dengan baik, karena ibu mereka juga punya mental dan materi yang stabil, ini menimbulkan masa depan Indonesia yang lebih cerah di masa depan,” kata Tiasri.

Pemerintah dalam hal ini, dikatakan Tiasri harus mendisiplinkan perusahaan agar tidak serampangan dalam memecat karyawannya.

”Pemerintah dalam hal ini kementerian ketenagakerjaan harus bertindak tegas pada perusahaan yang tidak mempertimbangkan faktor kemanusiaan kepada karyawannya saat memecat, dan juga menegur perusahaan yang tolak ibu untuk bekerja di perusahaan, Kemenaker terlebih dahulu menegur perusahaan yang punya batasan usia atau syarat fisik kepada pencari kerja,” tukasnya.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular