Aktor JN sempat menyebabkan kehebohan di media sosial X beberapa waktu yang lalu.
Pada 19 Oktober 2023, ia menanggapi komentar seorang pengguna X dengan kata-kata kasar dan mengancam.
Awalnya, seorang pengguna X menimpali cuitan J yang menyindir seseorang dengan karakter sok keras, padahal ‘dari kecil pakai babysitter’.
Pengguna X tersebut lalu berkomentar bahwa JN sendiri kerap ‘sok keras’ dengan menantang semua orang untuk berkelahi.
Komentar warganet lain menyebut, JN tidak mengajak ‘semua’ orang berkelahi, hanya yang ‘lemah doang’.
JN pun muncul di bawah balasan tersebut.
“Bapak lu gua bikin cacat an****,” balas JN melalui akun X pribadinya.
Bahasa yang kasar dan indikasi ancaman kekerasan terhadap orang tua pengguna X itu pun memicu kontroversi.
Baca juga: Mengapa Perdebatan Konstruktif Sulit Terjadi di Media Sosial?
Namun pada akhirnya, diketahui JN pun mendatangi kediaman pengguna X tersebut dan meminta maaf secara langsung.
Namun, orang-orang—dan aku termasuk di dalamnya—tetap mengecam sikap yang sebelumnya dilakukan JN. Pasalnya, bukan kali itu saja aktor tersebut menantang orang lain di internet untuk mengambil jalur kekerasan. Sebelumnya, ia juga beberapa kali membalas tantangan adu tinju ketika menghadapi komentar-komentar negatif warganet.
JN pernah bilang, ia hanya mengiyakan orang-orang yang ‘menantang adu tinju’. Namun pada akhirnya, pertanyaan tetap muncul di benakku: memang perlu, menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar dari suatu masalah?
Di luar persoalan artis tersebut, memang masih banyak orang memilih jalur kekerasan karena dianggap lebih ‘jantan’ dan ‘berani’. Padahal, perilaku agresif untuk menunjukkan kekuatan dan melindungi ego diri merupakan bagian dari maskulinitas toksik.
Maskulinitas Toksik, Melihat Kekerasan Sebagai Jalan Keluar
Bicara tentang maskulinitas toksik dan kekerasan sebagai jalan keluar masalah, kurasa tidak bisa semata-mata bicara tentang JN. Ia cuma salah satu dari banyak orang yang masih menunjukkan pola-pola kekerasan dalam resolusi konflik.
Kita mungkin sering melihat pola serupa dari laki-laki di sekitar kita; dari aparat penegak hukum, bahkan anak-anak dan kerabatnya; atau dari orang-orang dengan kuasa yang lebih tinggi.
Aku menyadari pola-pola tersebut dari laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Atau aparat yang menggusur warga dengan cara-cara represif. Atau dalam perpeloncoan atau Ospek di institusi pendidikan.
Kekerasan dan maskulinitas toksik adalah dua hal yang saling berkelindan. Maskulinitas toksik merujuk pada stereotipe dan norma yang menetapkan bahwa seorang laki-laki harus memperlihatkan atribut tertentu. Seperti kekuatan, agresi, dominasi, dan ketidakmampuan untuk menunjukkan emosi atau kerentanan. Ide-ide ini dapat mendorong perilaku yang merugikan, termasuk penggunaan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah.
Baca juga: Bikin Toksik?: Apakah Media Sosial Masih Bisa Buat Kita Bahagia
Dari perspektif feminis, ini ada kaitannya dengan patriarki, yang merupakan struktur sosial yang memberikan keistimewaan kepada laki-laki sementara menindas perempuan. Ia dapat memberi tekanan pada laki-laki untuk mempertahankan citra maskulinitas yang agresif dan dominan, yang sering kali berdampak pada peningkatan kekerasan.
Tentu saja ini tidak berarti bahwa semua laki-laki atau maskulinitas memiliki ciri-ciri tersebut. Konsep maskulinitas sendiri dapat berbeda-beda tergantung konteks budaya. Yang jelas, tidak semua maskulinitas itu beracun, kok. Tapi jika kekerasan digunakan untuk menunjukkan maskulinitas, kekuatan, dan kekuasaan, jelas ada yang salah.
Ada beberapa kemungkinan seseorang memilih untuk menggunakan kekerasan dalam menghadapi konflik atau masalah. Salah satunya, ia barangkali kurang terampil dalam penyelesaian konflik, sehingga kekerasan menjadi respons pertama yang muncul.
Seseorang juga bisa jadi tumbuh di tengah lingkungan masyarakat atau budaya yang mewajarkan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Hal itu dapat memengaruhi persepsinya terhadap resolusi konflik.
Terakhir, kekerasan kerap jadi ‘solusi’ ketika seseorang tidak mampu mengelola emosi dengan baik. Ini sangat mungkin terjadi dalam maskulinitas toksik. Sebab, konsep maskulinitas tersebut melihat emosi sebagai tanda kelemahan bagi laki-laki atau maskulinitas. Alhasil, ketika seseorang marah atau frustrasi, perilaku agresif hadir sebagai bentuk ekspresinya.
Meruntuhkan Konsep Maskulinitas yang ‘Keras’
Agresi dan kekerasan dalam menghadapi masalah dapat membahayakan orang lain. Konsep maskulinitas yang buruk mengambil bagian penting di dalamnya.
Kurasa kita bisa mulai memutus rantai konsep maskulinitas yang ‘keras’ dengan kesadaran bahwa memahami emosi adalah sesuatu yang mestinya dilakukan siapa saja, apa pun gendernya.
Selain itu, mesti ada model peran positif yang mempromosikan maskulinitas yang sehat dan tidak beracun. Sebab, selama ini kekerasan dianggap lumrah karena konsep maskulinitas yang membentuk persepsi demikian.
Dengan meruntuhkan stereotipe maskulinitas yang beracun, laki-laki dapat belajar untuk menunjukkan empati, kerjasama, dan tanggung jawab. Serta dapat melihat cara-cara lain untuk keluar dari masalah tanpa harus unjuk kekuatan dengan cara kekerasan.
Kita juga perlu mengidentifikasi dan menantang akar penyebab ketidaksetaraan gender dan kekerasan. Hal ini dapat berkontribusi pada upaya luas untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman dan setara bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin atau identitas gender mereka.