Aktivis Serukan Gencatan Senjata dan Akhiri Genosida di Gaza 

Mekanisme hukum internasional ‘jalan di tempat’. Aktivis perempuan yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Rakyat Palestina, menyerukan negara digdaya yang mendukung penjajahan segera mengakui dan menghormati resolusi PBB atas nama kemanusiaan.

Terhitung satu bulan sejak agresi yang dilakukan Israel terhadap Palestina, tercatat hampir 10 ribu orang tewas dengan dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak. Para aktivis lintas sektor menyampaikan duka mendalam atas kejahatan kemanusiaan yang dialami rakyat Palestina tersebut. 

“Kita turut berduka dan simpati yang mendalam atas penderitaan yang dialami rakyat Palestina di sana dengan bertambahnya korban jiwa setiap hari. Kita juga terus mendorong solidaritas dan dukungan yang tak tergoyahkan untuk rakyat Palestina,” ujar Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika dalam konferensi pers yang dihadiri konde.co, Selasa (7/11).

Ika menyoroti, serangan udara Israel atas Palestina yang juga menyasar area-area vital seperti rumah sakit, sekolah, pemukiman hingga pengungsian. Serangan-serangan ini bahkan mendapat legitimasi dan dukungan dari negara adidaya seperti Amerika serikat. Pelanggaran HAM yang sangat brutal tersebut sulit untuk diproses lantaran punya hambatan politik yang besar. 

“Situasi ini menunjukkan persoalan yang terjadi di Palestina adalah persoalan politik,” katanya. 

Sementara Midha Karim dari FAMM Indonesia mengungkapkan persoalan di Palestina tidak terlepas dari kolonialisme yang berlangsung di sana. Serangan yang terjadi pada 7 Oktober 2023 lalu terkait dengan sejarah panjang pendudukan Israel.

Ia juga mengatakan mekanisme hukum internasional yang jalan di tempat bahkan tidak menghasilkan solusi. “Dewan Keamanan PBB tidak mampu menekan pemerintahan Israel untuk melakukan gencatan senjata,” ujar Midha.

Baca Juga: A Distant Dream: A Feeling of Safety for Women in Palestine

Karena itu Aliansi yang terdiri dari buruh, PRT, perempuan dan mahasiswa ini menyuarakan urgensi gencatan senjata dan penghentian pembantaian rakyat Palestina. Mereka menuntut Israel membuka akses kebutuhan dasar dan dukungan kemanusiaan bagi warga negara Palestina tanpa memandang suku, ras, agama, dan latar belakang lainnya. 

Di samping itu, mereka juga mendesak negara-negara yang mendukung pendudukan dan penjajahan untuk segera mengakui, mengikuti, dan menghormati resolusi PBB karena prinsip kemanusiaan. 

“Mengajak masyarakat dunia untuk menyuarakan perjuangan rakyat Palestina. Karena sejatinya genosida yang terjadi di Palestina bukan saja masalah kemanusiaan, tapi bentuk pelanggaran HAM yang paling ekstrem,” ujarnya. 

Berkenaan itu, Aliansi mendorong solidaritas dengan mengajak masyarakat untuk terlibat dalam aksi bersama di Kedutaan Amerika Serikat pada Kamis (9/11) ini. 

Pelanggaran Israel terhadap Sejumlah Konvensi Internasional

Nadine dari KontraS mengungkap pelanggaran yang dilakukan Israel atas hukum internasional. Ia mengkritisi pembenaran Amerika Serikat dan Uni Eropa terkait serangan Israel ke Palestina sebagai self-defense atas serangan Hamas 7 Oktober 2023. AS dan EU bahkan mengacu pada Piagam 51 PBB terkait self-defense tersebut.

Nadine menjelaskan konsep self-defense yang dimaksud dalam konvensi internasional tersebut harus disesuaikan dengan hukum humaniter internasional. Kedua konvensi yang berkaitan dengan peperangan tersebut menyatakan ruang publik tidak boleh dilibatkan sebagai arena peperangan, pembalasan, self-defense, atau apapun terminologinya.

“Dengan menyerang pemukiman warga dan melibatkan masyarakat sipil yang tidak bersalah menjadi korban, jelas tidak relevan kalau Amerika Serikat dan Uni Eropa menganggap ini adalah act of self-defense. Sama sekali tidak relevan,” kata Nadine.

Ia menambahkan Israel juga menyalahi Resolusi PBB 1972 dan Protokol 3 dalam Konvensi Pelanggaran Penggunaan senjata Konvensional Tertentu. Kedua konvensi internasional ini menggarisbawahi bahaya penggunaan senjata yang sangat mematikan kepada masyarakat sipil.

Israel menggunakan fosfor putih (white phosphorus) dalam serangan balasan atau self-defense yang ditujukan pada masyarakat sipil, bukan ke Hamas. Ini tentu membahayakan masyarakat sipil karena fosfor putih sangat mudah terbakar.

Baca Juga: PBB Didesak Hentikan Serbuan Pasukan Israel ke Al-Aqsa

Kalau terhirup fosfor dapat terkena gangguan saluran pernafasan. Seperti iritasi saluran pernafasan, batuk, akumulasi cairan di paru-paru. Selain itu bisa juga mengalami iritasi kulit dan mata, sensasi terbakar, iritasi parah, sensitivitas cahaya, dan kulit robek. Bisa juga mengalami keluar kelopak mata secara tidak normal, dan bahkan peradangan di dalam bola mata.

Karena itu, Nadine menyerukan penting untuk tidak lagi mengambil posisi netral. Lantaran pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap hukum internasional punya dampak signifikan bagi masyarakat sipil.

“Sudah bukan waktunya kita bersikap netral. Itu sudah old school banget, karena melihat yang sudah dilanggar secara hukum internasional dan dampaknya secara kesehatan, secara lingkungan. Udah bukan waktunya lagi kita berposisi netral,” ujar Nadine.

KontraS mengecam segala tindak kekerasan karena punya dampak jangka panjang pada warga Palestina. KontraS juga menuntut pembebasan Palestina dan mendesak negara adikuasa untuk memberlakukan Responsibility to Protect atau R2P. Dalam prinsip hubungan internasional, R2P punya peran penting untuk mencegah pemusnahan massal kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Kami juga mendorong Israel untuk tunduk kepada international humanitarian law yang sudah disebutkan sebelumnya. Termasuk Konvensi Jenewa 1949-1977 protokol,” pungkas Nadine.

Kerentanan Ganda Penyandang Disabilitas

Selain perempuan, anak dan lansia, Aliansi juga memberikan perhatian pada kelompok rentan lain dalam genosida di Gaza, yakni penyandang disabilitas. Dhede dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mengatakan berdasarkan Laporan Human Rights Watch (HRW) ada sejumlah hambatan yang dialami penyandang disabilitas di Palestina.

Pemutusan akses atas air dan listrik—yang merupakan hak dasar bagi seluruh warga termasuk penyandang disabilitas—membuat kerentanan mereka berlipat ganda. Ini lantaran penyandang disabilitas punya kerentanan lebih atas akses mobilitas dan akses lainnya.

Selain itu mereka juga kesulitan mendapatkan alat bantu terutama bagi disabilitas baru yang menjadi disabilitas akibat terdampak serangan Israel. Misalnya, ada yang harus diamputasi, kehilangan pendengaran atau kehilangan penglihatan. Mereka ini membutuhkan alat bantu yang ketersediaannya menurut HRW sangat terbatas.

Baca Juga: Adania Shibli Penulis Palestina Suaranya ‘Dibungkam’ di Pameran Buku Frankfurt

Dhede menambahkan, penyandang disabilitas juga kesulitan mengevakuasi diri ketika terjadi serangan. Mereka tidak bisa mengungsi dengan cepat seperti warga tanpa disabilitas.

“Mereka harus mencari tempat-tempat perlindungan tapi hambatan-hambatan impairment membatasi mereka untuk mendapatkan tempat aman. Apalagi dalam situasi ketika semua orang membutuhkan perlindungan dan ruang-ruang itu pasti tidak banyak,” tutur Dhede.

Pada orang tuli, mereka tidak mendengarkan suara bom, itu sebabnya mereka banyak jadi korban. Pasalnya mereka tidak tahu sumber suara senjata dan sejenisnya.

Untuk itu PJS menyatakan situasi yang dialami penyandang disabilitas di Palestina adalah situasi pelanggaran HAM berat. “Apa yang terjadi di Palestina adalah pelanggaran HAM berat. Kami bersepakat bahwa ini tidak bisa didiamkan,” tegasnya.

CRPD atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menekankan tidak boleh ada lagi penjajahan dan konflik-konflik termasuk genosida yang mengakibatkan penderitaan bagi penyandang disabilitas. Karena itu menurut Dhede, PJS mengutuk keras genosida dan menyerukan pembebasan bagi rakyat Palestina.

“Semoga gerakan ini bisa sampai ke dunia internasional dan rakyat internasional, agar segera terealisasi gencatan senjata dan pembebasan sepenuhnya untuk rakyat Palestina,” kata Dhede.

KUPI Dorong Perspektif Perempuan dan Anak

Sebelumnya, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menggelar diskusi bertajuk Diskusi Palestina: Perspektif Perempuan, Anak dan HAM pada Jumat (3/11/23). Diskusi ini, berangkat dari situasi di Gaza yang makin memanas dengan korban terus bertambah. Sementara seruan gencatan senjata yang disuarakan masyarakat internasional tidak ditanggapi oleh Israel.

Situasi ini mendorong KUPI menyuarakan pentingnya perspektif perempuan dan anak dalam mengupayakan penyelesaian genosida di Gaza.

Majelis Musyawarah KUPI, Faqihuddin Abdul Kodir, mengungkapkan dua pihak yang terlibat dalam konflik di Gaza punya posisi yang tidak berimbang. Yang satu punya negara dengan kekuatan penuh dan didukung negara-negara super power, sementara yang lainnya belum diakui negaranya. Bahkan wilayahnya terus menyempit dan penduduknya terus terbunuh.

Lantas apakah kita mau menggunakan perspektif agama untuk melihat persoalan ini? Menurut Faqih kedua pihak, Israel maupun Hamas memakai perspektif agama, tapi Hamas dituduh teroris sedang Israel tidak. Malah Israel bisa bersuara di PBB.

Baca Juga: We Stand With Victim: Perempuan Jadi Korban di Pusaran Konflik Israel dan Palestina

Faqih mengungkapkan ada yang mengatakan harus menggunakan pendekatan HAM. Namun ketika pendekatan HAM dipakai, ternyata tidak ada yang mendengar untuk konteks Palestina. Publik dunia juga sudah banyak bersuara dengan perspektif HAM. Bahkan terakhir beberapa aktivis sipil di Senat Amerika ikut bersuara. Tapi suara mereka tidak mengubah apa-apa dalam konteks dua pihak yang tidak berimbang tersebut.

Lalu ada juga pendekatan seni. Salah satunya adalah penggunaan ikon semangka.

“Semangka itu kan muncul karena awalnya bendera Palestina tidak boleh berkibar di Israel. Karena itu muncul semangka, lalu akhirnya boleh,” ujar Faqih.

Faqih menambahkan dalam situasi semacam inilah kemudian muncul pertanyaan apakah bisa memakai perspektif lain? Harapannya perspektif itu bisa menghentikan genosida atau pembantaian yang terjadi di Palestina.

Beberapa pihak, termasuk KUPI, mengusulkan perspektif perempuan dan anak. Apakah pendekatan yang selama ini dilakukan perempuan Indonesia dengan menitikberatkan pada peran-peran perempuan, korban yang dialami perempuan dan anak bisa menggugah atau tidak?

“KUPI ingin melihat sejauh mana nanti perspektif perempuan yang biasa di Indonesia itu dikedepankan dalam konteks damai, bermartabat, dan keadilan itu mungkin bisa ditawarkan pada tragedi kemanusiaan global yang tidak berujung ini,” kata Faqih.

Memahami Sejarah Palestina

Dina Sulaeman, Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran menjelaskan tentang sejarah Palestina dari tahun 1917 hingga sekarang. Paparannya disampaikan dalam Diskusi Palestina: Perspektif Perempuan, Anak dan HAM pada Jumat (3/11/23) yang diadakan KUPI.

Pada 1917 muncul Deklarasi Balfour. Nama ini berasal dari nama Menteri Luar Negeri Inggris. Pada 1917, Balfour mengirim surat kepada tokoh Zionis bernama Rothschild. Isinya ia berjanji membantu mendirikan sebuah negara nasional.

“Jadi istilah yang dipakai dalam surat ini, a national home for the Jewish people. Dan yang menarik di surat ini adalah (pernyataan Balfour) ‘Jangan sampai ada hak-hak sipil dan agama yang terganggu’,” papar Dina.

Yang dimaksud dalam surat tersebut adalah hak-hak sipil dan agama yang dimiliki orang-orang non Yahudi di Palestina. Jadi sejak awal Balfour sudah mengantisipasi agar pendirian negara nasional tersebut tidak mengganggu hak-hak orang-orang non Yahudi.

Pada 1920 sesudah Perang Dunia I kawasan bekas Imperium Ottoman dibagi-bagi oleh Inggris dan Prancis sebagai pemenang perang. Prancis misalnya mendapat bagian Suriah dan Libanon. Sedang Inggris menduduki Palestina.

Baca Juga: Kantor Media Di Palestina Diserang Israel; Upaya Pembungkaman Media

Jadi pada 1920 hingga 1948 Palestina berada di bawah era Mandat Inggris. Inggris memfasilitasi persiapan berdirinya Israel termasuk mendatangkan orang-orang Yahudi dari Eropa.

“Baik Inggris maupun Prancis ketika menduduki wilayah-wilayah di Timur Tengah ini, mereka menggunakan istilah mandat, bukan menjajah. Kenapa? Karena mereka berjanji akan membantu mendirikan sebuah negara merdeka suatu saat nanti,” beber Dina.

Pada 1947, PBB yang berdiri pada 1945 pasca Perang Dunia II, memberikan resolusi yang membagi dua wilayah Palestina. Sebanyak 45% wilayah Palestina untuk negara Arab Palestina, sedang 55% untuk negara Yahudi. Sementara khusus untuk wilayah Jerusalem berada di bawah penguasaan Internasional.

Populasi penduduk pada 1922, penduduk Yahudi lebih dari 83 ribu sedang non Yahudi lebih dari 673 ribu. Sementara pada 1947 populasi orang Yahudi menjadi 630 ribu sedang orang Arab-Palestina 1,3 juta. Pertambahan populasi orang Yahudi yang tinggi ini seiring dengan upaya Inggris memfasilitasi datangnya orang-orang Yahudi dari Eropa. 

Sumber: PPT Dina Sulaeman

Pembagian wilayah ini tidak diterima oleh orang-orang Palestina. Namun setelah resolusi keluar, milisi-milisi Zionis melakukan serangan besar-besaran terhadap warga Palestina. Sekitar 750 ribu warga Palestina diusir dari rumah dan tanah mereka dan belasan ribu lainnya dibunuh.

Dan di atas tanah yang ditinggalkan tersebut, berdirilah negara Israel pada 1948.

Sementara Yerusalem yang berdasarkan resolusi PBB merupakan wilayah terpisah dan berada di bawah perwalian PBB, pada 1948 juga dikuasai Israel. Warga Palestina di Jerusalem Barat diusir Israel. Sebanyak 28 ribu warga Palestina menjadi pengungsi. Pada Desember 1949 Israel secara sepihak mengeklaim Yerusalem Barat sebagai bagian dari negara Israel.

Kondisi Yerusalem Timur saat ini juga diduduki oleh Israel. Segala aturan dan mobilitas warga di Yerusalem Timur ditentukan oleh Israel.

Sepanjang masa tersebut terjadi perlawanan-perlawanan bersenjata yang dilakukan orang-orang Palestina. Mereka tidak tinggal diam menghadapi situasi tersebut. Salah satu pihak yang aktif melakukan perlawanan bersenjata terhadap Israel adalah PLO, Organisasi Pembebasan Palestina, dengan pimpinannya Yasser Arafat.

Baca Juga: Film ‘Sand Storm’: Perlawanan Yang Harus Dirayakan, Perempuan Badawi Arab di Israel Melawan Patriarki

Tapi pada tahun 90-an PLO bersedia untuk berunding dalam perjanjian Oslo di Norwegia. Hasil perjanjian Oslo adalah PLO bersedia tidak lagi menggunakan perjuangan bersenjata dan mengakui kedaulatan Israel. PLO yang tadinya menuntut Palestina merdeka dengan wilayah seluruh Palestina kemudian menyepakati wilayah pasca 1967 (Gaza dan Tepi Barat).

Israel kemudian menyetujui didirikannya Otoritas Palestina (PNA) dengan Yasser Arafat sebagai presiden. Yasser Arafat memimpin Otoritas Palestina hingga meninggal pada 2004. Ia digantikan Mahmoud Abbas pada 2005 hingga sekarang.

Perjanjian Oslo juga membagi wilayah Tepi Barat menjadi tiga bagian. “Area A 18% itu di bawah kontrolnya Otoritas Palestina, B dan C itu de facto di bawah kontrolnya Israel. Dan yang 18% ini pun juga tentara Zionis berkeliaran di situ,” papar Dina.

Sumber: PPT Dina Sulaeman

Meski sudah ada pembagian wilayah, tapi hingga hari ini tentara Israel terus melakukan pengusiran warga Palestina dan perampasan rumah-rumah mereka. Israel juga mendirikan pemukiman-pemukiman ilegal.

Menurut Dina tindakan Israel tersebut melanggar Konvensi Jenewa, yakni hukum internasional yang mengatur soal perang. Konvensi Jenewa menyebutkan tidak boleh ada transfer kedaulatan, mengubah hukum lokal dan memperkenalkan undang-undang baru. Perjanjian ini juga tidak membolehkan pemindahan paksa, pemindahan penduduk (asing) ke wilayah pendudukan dan hak properti di bawah pendudukan harus dilindungi.

Baca Juga: Pertemuan Pertama Menlu Perempuan, Indonesia Bawa Agenda Perempuan dan Perdamaian

Pelanggaran HAM dan hukum internasional yang dilakukan Israel terus berlanjut hingga hari ini. Perubahan wilayah Palestina sebelum 1947 sampai sekarang bisa dilihat pada gambar di bawah ini.

Sumber: PPT Dina Sulaeman

Kelompok yang juga menentang pendudukan zionis adalah Hamas. Organisasi ini dibentuk pada 1987 dan merupakan oposisi PLO. Dalam Piagam Hamas tahun 1988 disebutkan gerakan ini menginginkan seluruh wilayah Palestina sebelum 1947.

Hamas yang juga merupakan partai politik pada 2005 sepakat untuk terlibat dalam proses demokrasi. Secara lisan pimpinan Hamas, Ismail Haniyeh, menyatakan Hamas akan setuju untuk menerima negara Palestina dengan wilayah 1967.

Pada 2006 Hamas menang pemilu parlemen sebanyak 77%. Secara de facto Hamas berkuasa di Gaza. Israel kemudian melakukan blokade di wilayah tersebut.

“Israel memagari seluruh wilayah ini, pinggiran Gaza ini, dan diblokade secara ketat. Jadi keluar masuk orang dan barang itu sulit sekali. Bahkan laut juga. Jadi nelayan-nelayan Palestina itu bahkan untuk mencari ikan, untuk mata pencarian mereka juga dibatasi hanya beberapa kilometer saja. Dan inilah yang dibombardir oleh Israel berkali-kali, bukan cuma bulan Oktober ini,” terang Dina.

Perlunya People to People

Aktivis HAM dan demokrasi, Kamala Chandrakirana turut bersuara soal ketidakmampuan institusi global governance, kepemimpinan tingkat dunia, termasuk PBB untuk menyelesaikan persoalan ini. Hal ini bisa dilihat bukan hanya di Palestina, tapi bahkan sebelumnya pada serangan yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina.

“Dewan Keamanan PBB pada saat itu pemegang veto-nya adalah Rusia sehingga dia tidak bisa keluar dengan satu penyikapan yang tegas. Padahal perang di Ukraina itu ada di wilayahnya negara-negara belahan utara sendiri,” ujar Kamala, Working Group UN 2010-2017.

Situasi ini menunjukkan sistem formal antar negara seperti PBB dalam kondisi lemah. “Kita saat Ini ada di titik yang cukup lemah dalam segi tatanan internasional yang sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah perang dan mendorong perdamaian serta keadilan bagi semua,” tuturnya.

Dalam konteks seperti ini menurut Kamala yang harus dilakukan adalah berpaling kepada warga dunia, people to people. Karena dari sejarahnya gerakan perdamaian itu sendiri pijakan utamanya ada di warga sipil biasa dan bukan pada institusi-institusi formal.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana membangun gerakan perdamaian di kalangan warga dunia? Sementara pada kenyataannya untuk berdiskusi tentang persoalan ini sekarang jadi sangat sulit karena kedua belah pihak penuh dengan kemarahan.

“Yang membela Israel maupun yang membela Palestina, itu sama-sama penuh dengan emosi. Penuh dengan kemarahan, penuh dengan kesakitan dan sama-sama membawa trauma yang sangat panjang, trauma yang lintas generasi. Jadi sekarang ini sangat sulit untuk ada dialog dimanapun,” kata Kamala.

Baca Juga: Jatuh Bangun Perjuangkan Perdamaian di Asia: Dari Konferensi dan Assembly AMAN 

Kamala mencontohkan upaya yang dilakukan seorang perempuan muslim di Inggris, seperti yang dituturkannya di sebuah media internasional. Perempuan itu berupaya melakukan dialog dengan perempuan Yahudi di Inggris yang juga menolak langkah pemerintah Israel. Ia ingin mencari jalan keluar dari kondisi yang sangat menyedihkan tersebut. Yang terjadi kemudian perempuan muslim ini justru dihujat oleh sesama muslim.

Karena itu menurut Kamala, kita perlu memahami sejarah perjuangan orang-orang di Palestina sekaligus momen sekarang yang sangat sulit mengadakan dialog. Dialog yang bisa mengantarkan pada sebuah upaya perdamaian antar warga sipil. Bukan hanya di lokasi Gaza, tapi di segala tempat di dunia ini.

Ia menambahkan saat ini emosi anti-Israel maupun anti-Islam meningkat eskalasinya dan terjadi bahkan di luar kedua wilayah berkecamuknya hantaman kekerasan fisik. Sementara sebagai perempuan kita paham dalam pertikaian antara dua pihak, korban paling besar adalah warga sipil, dan perempuan dan anak.

Selain itu berkaca dari konflik yang terjadi di Indonesia penting juga memahami bahwa dua pihak yang sedang bertikai tidaklah tunggal. Orang Yahudi sendiri banyak yang tidak setuju dengan sikap Perdana Menteri Israel Netanyahu dan pemerintahnya. Selama berkuasa Netanyahu juga menggerogoti sistem demokrasi yang ada di Israel.

Situasi di Palestina juga tidak tunggal. Hamas menguasai wilayah Gaza dan mempunyai pilihan politik yang berbeda dengan Otoritas Palestina yang ada di wilayah Tepi Barat. Jadi baik Israel maupun Palestina tidak tunggal. 

Menurut Kamala situasi ini penting untuk dipahami kalau kita punya niat mencari ruang untuk menemukan jalan damai. Bukan sekadar menghentikan kekerasan yang terjadi saat ini tapi juga perdamaian dan pemenuhan hak-hak untuk semua orang.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!