Praperadilan Ditolak, Korban Perkosaan di Kemenkop UKM Buat Laporan Baru

Hakim PN Bogor menolak permohonan korban seluruhnya di sidang praperadilan. Hakim menilai, korban tidak berhasil membuktikan dalil permohonannya terkait tidak sahnya SP3. Simak selengkapnya!

Suasana di ruangan Kartika, Pengadilan Negeri Bogor, tampak lengang pada Senin (4/9). Pada hari itu, sidang praperadilan korban perkosaan pegawai Kemenkop UKM atas Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dijadwalkan berlangsung pukul 09.00 WIB. Agendanya, pembacaan putusan. 

Gugatan praperadilan diajukan pemohon berkaitan dengan sah tidaknya penghentian penyidikan kasus perkosaan yang dialami pemohon. 

Sebagai informasi, termohon menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SP3 pertama pada 18 Maret 2020 dengan alasan keadilan restoratif (restorative justice/RJ). Kasus ini sempat dibuka kembali pada 7 Desember 2022 tapi termohon kembali menerbitkan SP3 pada 31 Maret 2023 dengan alasan tidak cukup bukti. 

Sementara pemohon dalam sidang praperadilan tersebut adalah N, korban perkosaan yang dilakukan 4 pegawai Kementerian Koperasi dan UKM. Sedang termohon adalah Kapolres Bogor yang diwakili oleh bidang hukum Polda Jabar. 

Situasi Persidangan

Saat Konde.co sampai di pengadilan, kuasa hukum pemohon (N) dari LBH APIK Jabar, Ratna Batara Munti, Cut Dietty, Jurung Radjagukguk dan Ni Made Windasari sudah siap di ruang sidang. Begitu juga perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang turut hadir untuk memantau persidangan.

Namun, hakim tunggal Elvina baru membuka sidang sekitar pukul 11.15 WIB di ruang Candra. Dalam putusan yang dibacakan, hakim menolak permohonan pemohon.

Dalam pertimbangannya hakim mendasarkan pada gelar perkara khusus pada 31 Januari 2023. Kaitannya itu, termohon memeriksa apakah langkah-langkah yang dilakukan termohon sudah sesuai prosedur dan apakah perkara dapat dikembangkan lagi.

Hakim menyatakan berdasarkan gelar perkara tersebut, diketahui bahwa perkara dengan nomor STBL/577/XII/2019/SPKT tanggal 20 Desember 2019 tidak dapat dilanjutkan karena tidak cukup bukti. Hakim menyimpulkan bahwa gelar perkara tersebut telah sesuai dengan pasal 33 ayat 1 Peraturan Kepolisian Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. 

Hakim juga mengatakan adanya pengembalian berkas perkara dari Jaksa Penuntut Umum dan petunjuk halangan dari Bareskrim Polri yang ditindaklanjuti termohon dengan menerbitkan SP3 Nomor SPP.Sidik 251a/III/RES.1.24/2023 tertanggal 31 Maret 2023 telah memberikan kepastian hukum terhadap perkara tersebut.

Baca Juga: Korban Perkosaan di Kemenkop UKM Ajukan Praperadilan Setelah Proses Hukum Dihentikan Polisi

Berdasarkan pertimbangan tersebut hakim menyatakan termohon atau penyidik telah melakukan tindakan yang maksimal dalam proses penyidikan perkara tersebut. Penghentian penyidikan berdasarkan pasal 10 dan pasal 30 Perkap Nomor 6 tahun 2019 telah dilakukan sesuai prosedur. 

Untuk itu, hakim berpendapat langkah termohon dengan menerbitkan SP3 Nomor S.PPP/813b/III/RES.1.24/2020 tertanggal 18 Maret 2020 dan SP3 Nomor SPP.Sidik/251a/III/RES/2023 tertanggal 31 Maret 2023 dinyatakan sah karena itu permohonan pemohon haruslah ditolak.

“Menimbang bahwa pemohon tidak berhasil membuktikan dalil permohonannya mengenai tidak sahnya SP3 tertanggal 18 Maret 2020 dan SP3 tertanggal 31 Maret 2023 karena itu permohonan ditolak seluruhnya,” kata Hakim, Elvina.

Hakim juga menyatakan karena SP3 yang diterbitkan termohon dinyatakan sah, maka termohon tidak dapat melanjutkan penyidikan terhadap perkara tersebut. Hakim juga membebankan biaya perkara kepada pemohon sebagai pihak yang kalah.

“Memerintahkan kepada termohon untuk tidak menindaklanjuti perkara nomor STBL/577/XII/2019/SPKT tertanggal 20 Desember 2019,” ujar Elvina. 

Keluarga Korban Berencana Buat Laporan Baru

Menanggapi putusan majelis hakim keluarga korban mengaku terkejut dan menyesalkan tidak dipertimbangkannya pendapat saksi ahli oleh hakim.

“Dari keluarga korban ya pastinya terkejut dengan hasil dari praperadilan ini. Apalagi restorative justice justru tidak dibahas karena saat sidang praperadilan kan ada saksi ahli yang membahas terkait restorative justice tersebut. Justru ini bukan sesuatu yang disimpulkan oleh hakim,” ungkap R, kakak korban yang ditemui Konde.co usai sidang.

Keluarga korban pun berencana melanjutkan proses hukum dengan membuat laporan baru. Hal ini sejalan dengan pembahasan dalam rapat koordinasi yang diadakan KPPPA sebelumnya.

“Karena sudah beberapa kali rapat di KPPPA, pihak keluarga korban menyetujui untuk membuat laporan baru,” kata R.

Sementara korban sampai saat ini masih mengikuti program pemulihan dan berada di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). N secara berkala menjalani sesi pemulihan sejak 28 November 2022.

“Ya kalau dari korban sendiri beberapa kali sudah menjalani pemulihan dari psikolog yang diberikan oleh LPSK. Keluarga juga berharap korban benar-benar pulih walaupun mungkin tidak 100% dan siap untuk melanjutkan laporan baru ini,” ujarnya. 

Baca Juga: Yuk, Cari Tahu Tentang Penyelesaian Kekerasan Seksual dengan Keadilan Restoratif: Apakah Ini Justru Rugikan Korban?

Selama berlangsung sidang praperadilan sekitar 7 hari, tidak ada perwakilan dari Kemenkop UKM yang mengawal proses persidangan. Meski begitu, keluarga korban berharap Menteri Koperasi dan UKM beserta jajarannya tetap memberikan dukungan terhadap korban. Lantaran proses hukum kasus ini masih akan berjalan.

“Ya kami melihatnya mungkin mereka juga sibuk karena di satu sisi mereka (digugat) di PTUN oleh terduga pelaku. Pelaku minta balik lagi ke Kemenkop menjadi PNS. Yang kedua, karena saya juga bekerja di Kemenkop, saya menganggap ya saya perwakilan dari Kemenkop,” kata kakak korban.

Sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki pernah menyampaikan Kemenkop UKM akan memenuhi tuntutan keluarga korban. Ia berjanji kementeriannya akan memfasilitasi dalam proses praperadilan dan mendukung korban.

“Tadi saya sudah bertemu bicara secara langsung dengan keluarga korban dan kita akan mengakomodir tuntutan-tuntutan dari keluarga korban,” kata Teten. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers usai pertemuan dengan keluarga korban dan aktivis perempuan pada 25/10/22 di kantor Kemenkop UKM.

Kuasa Hukum Korban Soroti Putusan Hakim PN Bogor 

Kuasa hukum korban, Ratna Batara Munti mengungkapkan di awal pihaknya merasa punya harapan terhadap praperadilan karena asas ne bis in idem tidak berlaku untuk praperadilan. 

Merujuk dari Hukumpedia, ne bis in idem adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.

Sebelumnya pelaku pernah mengajukan praperadilan atas SP3 yang diterbitkan Polres Bogor pada 18 Maret 2020. Waktu itu, PN Bogor mengabulkan gugatan pelaku dengan menyatakan SP3 sah, sehingga status pelaku sebagai tersangka gugur. Tapi, lantaran pokok perkara atau aspek materielnya belum disidang, maka tetap terbuka untuk dimohonkan praperadilan.

Terkait putusan hakim, Ratna menyoroti tidak dipertimbangkannya aspek restorative justice yang menjadi alasan terbitnya SP3 tertanggal 18 Maret 2020. Ratna menjelaskan mengacu pada pendapat saksi ahli Beniharmoni, SP3 yang pertama harusnya dinyatakan tidak sah. Ini lantaran tidak sesuai dengan syarat RJ baik secara materiel maupun formil seperti diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 tahun 2019. 

Sayangnya hakim berpendapat, baik SP3 yang pertama maupun SP3 yang kedua, sudah sesuai. Upaya yang dilakukan penyidik dianggap sudah maksimal. Sementara menurut kuasa hukum korban, penyidik belum melakukan upaya maksimal dalam pengumpulan bukti sehingga tidak semestinya SP3 kedua diterbitkan.

“SP3 yang kedua itu kita mendengarkan bersama ya, ternyata yang jadi pertimbangan dianggap itu sudah optimal karena sudah diserahkan ke Jaksa. Jaksa sudah mengembalikan dan dianggap sudah diupayakan hal-hal yang harus dilengkapi oleh kejaksaan. Tapi kemudian, ada gelar perkara dan dalam gelar perkara itu diputuskan tidak bisa dikembangkan lagi karena tidak cukup bukti. Jadi permohonan kita yang juga dikuatkan oleh dua saksi ahli tidak dipertimbangkan oleh hakim,” ujar Ratna.

Baca Juga: Nikahkan Korban Dengan Pemerkosa: Restorative Justice Yang Begitu Merugikan

Dalam persidangan praperadilan, kuasa hukum korban menghadirkan saksi ahli yakni ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Flora Dianti. Dalam kesaksiannya di persidangan pada Kamis (30/8/23) Flora menyampaikan gelar perkara seharusnya menghadirkan para pihak, termasuk kuasa hukum korban.

“Pasalnya hakim itu mempertimbangkan betul soal gelar perkara dan tidak mempertimbangkan masukan ahli bahwa gelar perkara itu harusnya dihadiri juga oleh para pihak termasuk pihak korban. Jadi karena gelar perkaranya menyatakan kesimpulannya adalah tidak cukup bukti, sehingga dari situ dikeluarkan SP3. Itu saja sebenarnya inti dari pertimbangan hakim,” jelas Ratna.

Ratna menambahkan pada gelar perkara di Polresta Bogor pada 24 Januari 2023, korban diundang dan pihaknya hadir sebagai kuasa hukum. Dalam gelar perkara tersebut para pihak yang hadir berkomitmen untuk tetap menindaklanjuti proses penyidikan. Meski sebelumnya para pelaku mengajukan praperadilan dan dikabulkan oleh hakim PN Bogor pada 12 Januari 2023.

Setelah itu pada 31 Januari 2023 Karowassidik Bareskrim Polri mengadakan gelar perkara tanpa mengundang korban. Tapi, hal ini tidak jadi pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara.

Gelar perkara oleh Karowassidik Bareskrim Polri baru diketahui para pihak yang terlibat dalam perkara ini saat berlangsung Rakor KPPPA pada 15 Maret 2023.

Baca Juga: Aku Korban Kekerasan Seksual: Kami Tak Hanya Butuh Perlindungan Tapi Juga Pemulihan

“Kita terkejut tiba-tiba Karowassidik bikin gelar perkara khusus … Waktu itu ada Direktur Tindak Pidana Bareskrim Polri yang mengatakan sama sekali nggak tahu bahwa ada gelar perkara khusus tanggal 31 Januari 2023. Kita semua nggak ada yang tahu. Jadi semua kaget kok tiba-tiba ada gelar perkara setelah kita semua udah komitmen untuk tetap menindaklanjuti (kasusnya),” terang Ratna.

Ratna juga menyoroti soal alasan tidak cukup bukti yang menjadi dasar terbitnya SP3 kedua. Pasalnya seperti dipaparkan oleh saksi ahli upaya penyidik untuk mengumpulkan alat bukti dinilai belum optimal. 

Ia menjelaskan pada Rakor KPPPA tanggal 24 Januari 2023 disepakati akan dilakukan pemeriksaan dengan pembaruan alat bukti. Diusulkan juga ibu korban dihadirkan sebagai saksi, termasuk psikolog klinis, psikolog forensik, dan ahli farmakologi.

“Nah itu belum dilaksanakan sama sekali. Pada saat itu ada Kapolres dan dia mengatakan akan menindaklanjuti,” kata Ratna.

Yang terjadi setelah itu, justru Karowassidik Bareskrim Polri mengadakan gelar perkara yang menginstruksikan Polresta Bogor mengeluarkan SP3. Hasil gelar perkara tersebut ditindaklanjuti Polresta Bogor dengan menerbitkan SP3 pada 31 Maret 2023 dengan alasan tidak cukup bukti.

Baca Juga: Bagaimana cara Bantu Perempuan yang Berkasus Hukum? Baca Disini

Ratna menambahkan pihaknya sudah menyampaikan notula rapat-rapat yang digelar di KPPPA sebagai bukti surat dalam persidangan pada Selasa (29/8/2023). Tapi ternyata, bukti-bukti surat tersebut tidak jadi pertimbangan hakim.

Untuk langkah hukum selanjutnya karena putusan praperadilan bersifat final, Ratna mengembalikan pada korban atau keluarga. Ia menambahkan dalam rapat koordinasi dengan KPPPA pernah disepakati jika korban kalah dalam praperadilan, kasusnya akan dinaikkan ke Mabes Polri.

“Saya kira kita kembalikan lagi dengan pihak korban gitu ya. Waktu itu sebenarnya kalau untuk upaya hukum, Ibu Ema Kanit PPA Bareskrim Polri siap kalau kita melakukan laporan baru. Tapi ini kembali lagi ke keluarga korban,” ujarnya.

Ratna mengatakan saat ini korban masih menjalani pemulihan dan dalam perlindungan LPSK. Karena itu pihaknya akan berkoordinasi lantaran situasi ini menyangkut kekuatan korban untuk melanjutkan kasusnya.

“Kita koordinasikan lagi ya, ini kan menyangkut juga kekuatan dari korban untuk melanjutkan kasusnya. Kami siap sih sebagai kuasa hukum,” pungkas Ratna.

Dukungan Dari KPPPA Serta Organisasi Dan Aktivis Perempuan 

KPPPA memberikan apresiasi pada penasihat hukum korban yang sudah menempuh segala upaya untuk memastikan akses keadilan bagi korban. KPPPA juga siap untuk terus mengawal kasus ini sesuai tugasnya. Sehingga, perempuan korban kekerasan mendapatkan hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan. Pernyataan ini disampaikan Plt. Asdep Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KPPPA, Margareth Robin K, yang hadir dalam persidangan. 

“Untuk membuktikan satu kejahatan yang dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual memang tidak semudah membalik telapak tangan. Dan ini harus butuh sinergi, kerjasama kita bersama untuk memastikan bahwa dalam setiap proses hukum, perempuan korban kekerasan mendapatkan akses keadilan,” ujar Margareth.

Terkait rencana korban membuat laporan baru, Margareth menyatakan akan berkoordinasi dengan penasihat hukum korban dan dinas terkait. Pihaknya akan mendukung sesuai kewenangan yang dimiliki.

“Kami akan terus melakukan koordinasi dengan penasihat hukum untuk apa saja yang memang diperlukan atau dibutuhkan oleh korban. Kami akan tindak lanjuti sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian PPPA. Karena di bawah Kementerian PPPA ada provinsi yang menyelenggarakan layanan rujukan lanjutan,” papar Margareth di luar ruang sidang.

Baca Juga: 13 Anggapan Salah tentang Perkosaan

Sebelumnya sejumlah organisasi perempuan dan aktivis perempuan mengirimkan surat dukungan agar hakim mengabulkan permohonan praperadilan korban. Dukungan antara lain diberikan oleh Yayasan Sukma, Lembaga Partisipasi Perempuan, Alimat, LKKNU Pengurus Cabang Kabupaten Bogor, dan LBH APIK Jakarta.

Dukungan juga diberikan oleh sejumlah jaringan. Seperti Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) yang beranggotakan 251 organisasi yang bekerja untuk perlindungan hak perempuan. Forum Pengada Layanan (FPL) yang beranggotakan 74 organisasi penyedia layanan berbasis masyarakat yang tersebar di 32 provinsi. Serta Asosiasi LBH APIK Indonesia yang merupakan koordinator dari 18 kantor LBH APIK di berbagai daerah. 

Dukungan dari berbagai organisasi ini disampaikan agar hakim menerapkan Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Penerapan Perma merupakan implementasi dari kewajiban perlindungan perempuan korban di pengadilan nasional. Hal ini sejalan dengan mandat CEDAW yang diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 1984. Ia sekaligus bagian dari tujuan UU TPKS mewujudkan lingkungan yang bersih dari tindak kekerasan seksual.

Sri Nurherwati, Ketua Pengurus Yayasan Sukma mengatakan tindak pidana yang dialami ND bukanlah delik aduan, Karena itu tidak dapat dihentikan karena alasan dicabut oleh korban atau adanya penyelesaian perdamaian. 

Baca Juga: Apakah Harus Viral Agar Korban Kekerasan Seksual Mendapatkan Keadilan?

“SP3 yang dilakukan Polresta Bogor menjadi preseden buruk bagi sistem keamanan dan ketertiban masyarakat,” ujar Nurherwati.

Ia menambahkan para penyidik yang terlibat telah mendapatkan sanksi internal atas pelanggaran kode etik dalam proses penyidikan. Karena itu SP3 tersebut tidak didukung dengan SDM yang berkapasitas dan berintegritas. 

“Seharusnya melalui Unit PPA, kepolisian menjadi wakil negara yang hadir untuk melindungi perempuan korban dengan tidak menghentikan kasus sekalipun korban mencabut laporan,” tegasnya.

Selain itu, kepolisian juga tidak menjauhkan korban dari jangkauan pelaku atau para pihak yang memengaruhi korban dalam mendapatkan keadilan. Karena itu menurut Nurherwati Polresta Bogor melanggar UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Serta Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tatanan Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di lingkungan Polri.

Baca Juga: Perkosaan bukan Bahan Becandaan

Nurherwati menilai pembuktian atas perkara ini tidak profesional. Ini lantaran bukti disandarkan pada asumsi korban N tidak dalam kondisi tidak berdaya atau pingsan sebagaimana ketentuan pasal 286 KUHP.

Asumsi ini dibuat tanpa melibatkan ahli yang dapat memperkirakan atau menilai pengaruh minuman beralkohol yang diminum korban N terhadap kesadarannya. Penyidik hanya memperkirakan dari cara berjalan dan posisi N. Karena itu kesimpulan tidak memenuhi unsur profesional dan tidak memenuhi syarat penanganan sehingga cacat formil.

Ia juga menyoroti penerapan restorative justice yang keliru karena dijalankan hanya dengan pertimbangan formil dan materiil dengan perspektif pelaku. Sedang aspek kemanfaatan tidak dipertimbangkan sehingga tujuan RJ tidak tercapai yaitu pemulihan bagi kedua pihak, para pelaku dan korban beserta keluarganya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut Nurherwati mengungkapkan pihaknya memohon pada hakim untuk mengabulkan permohonan praperadilan korban. Yakni dengan mencabut SP3 yang dikeluarkan Polres Bogor. 

Saksi Ahli Paparkan Alasan SP3 (Restorative Justice dan Tidak Cukup Bukti) Adalah Kekeliruan

Pada persidangan hari Rabu (30/8/23) hadir 2 saksi ahli untuk dimintai keterangan ahli terkait penghentian penyidikan kasus perkosaan pegawai Kemenkop UKM. Mereka adalah Beniharmoni Harefa, ahli pidana Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan Flora Dianti, ahli pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Beni menegaskan kekerasan seksual termasuk dalam kategori graviora delicta (kejahatan paling serius). Ada 5 parameter suatu kejahatan dikategorikan sebagai kejahatan paling serius. Pertama, kejahatan tersebut dampak viktimisasinya sangat luas dan berlangsung lama atau seumur hidup.

Kedua, kejahatan tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk oleh masyarakat baik nasional maupun internasional. Ketiga, memiliki lembaga yang dibentuk khusus, seperti Komnas Perempuan, KPAI, dan sebagainya. 

Keempat, Kejahatan dilandasi konvensi internasional. Kelima, adanya undang-undang khusus yang mengatur perbuatan tersebut, misalnya UU Perlindungan Anak.

Baca Juga: Kenapa Banyak Korban Kekerasan Seksual Malah Minta Maaf atau Menarik Laporannya?

Dikaitkan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, pasal 12 huruf a angka 4 menegaskan bahwa pelaksanaan keadilan restoratif memiliki prinsip pembatas. Maksudnya tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan. Sementara kekerasan seksual tidak masuk dalam batasan tersebut.

“Tindak pidana kekerasan seksual termasuk dalam kejahatan paling serius dan seharusnya tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Apabila suatu kasus dihentikan dalam proses penyidikan maka berdasarkan pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat diujikan pada sidang praperadilan,” kata Beni.

Flora Dianti menjelaskan asas ne bis in idem dapat dipersoalkan hanya jika pemeriksaan sudah memasuki pokok perkara secara materiel. Sedangkan permohonan praperadilan adalah aspek formil.

Pernyataan ini membantah argumen termohon yang menganggap pengajuan praperadilan oleh pemohon sebagai ne bis in idem. Argumen ini disampaikan termohon dalam jawaban yang disampaikan untuk menanggapi gugatan praperadilan pemohon pada sidang Senin (28/8/23). Pasalnya sudah ada permohonan praperadilan sebelumnya yang diajukan oleh para tersangka dan sudah diputus oleh PN Bogor pada 12 Januari 2023.

Baca Juga: Perempuan Korban Perkosaan Hadapi Hambatan Akses Aborsi Aman

Flora menegaskan praperadilan dapat dibuka kembali. Meskipum, sudah pernah diputus. “Karena praperadilan hanya menilai aspek formil, apakah ada paling sedikit 2 alat bukti yang sah. Tidak memasuki materi perkara,” katanya. 

Dengan begitu, semestinya tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi. Ini dikarenakan, setelah memenuhi paling sedikit 2 alat bukti baru yang sah. Alat bukti baru tersebut berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara. Hal ini diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2016. 

Di sisi lain, alasan penyidik menghentikan penyidikan karena dianggap tidak cukup bukti, menurut Flora bukanlah alasan yang tepat. Ini lantaran jika sudah ditentukan adanya tersangka, sudah selayaknya penyidik yakin adanya tindak pidana terlebih dahulu yang dilakukan oleh tersangka berdasarkan bukti yang cukup.

Flora menegaskan, penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti hanya dapat dilakukan setelah penyidik secara optimal melakukan pengumpulan bukti. Baik itu bukti saksi, bukti surat, keterangan ahli, maupun petunjuk sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!