Film ‘Budi Pekerti’, Ketika Viral di Sosial Media Berujung Petaka

Sebagaimana istilah ‘Jarimu Harimaumu’: Hanya dengan rekam-posting-viralkan dari gadget yang ada di genggaman, nasib hidup seseorang bisa dipertaruhkan. Bijaklah bersosial media!

Aku menghadiri nonton bareng film ‘Budi Pekerti’ perdana di Jakarta beberapa hari lalu. Datang dengan antusias, aku begitu tertarik menyimak jalan cerita film yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja

Melihat kilas balik film-filmnya, Wregas bagiku cukup berhasil mengangkat isu yang tak biasa atau bahkan sensitif, yang karyanya patut diapresiasi. Beberapa filmnya seperti Lemantun (2014), Lembusura (2015), sampai yang terbaru Penyalin Cahaya (2021).   

Sebelum ditayangkan di bioskop Indonesia, film ‘Budi Pekerti’ ini bahkan sudah ramai jadi perbincangan. Film sudah lebih awal tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) pada September 2023 lalu. Sekaligus dipuji di nasional karena berhasil menyabet nominasi terbanyak di Festival Film Indonesia (FFI) 2023. 

Selain Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, dan Prilly Latuconsina, film ini juga menampilkan Angga Yunanda, Omara Esteghlal, Ari Lesmana hingga Annisa Utami. 

Film ‘Budi Pekerti’ menceritakan isu yang dekat dengan kehidupan di era digital ini. Bagaimana kekuatan sosial media bisa membuat viral yang menjadikan populer, namun bisa juga jadi malapetaka.

Yogyakarta dipilih menjadi latar utama dalam film ini. Diceritakan seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di sebuah sekolah tingkat pertama bernama Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti). Ia tiba-tiba viral di dunia maya, lantaran potongan video “perseteruannya” dengan pembeli kuliner legendaris.

Baca Juga: ‘Sleep Call’ Perempuan Urban di Pusaran Eksploitase Seksual dan Teknologi Digital

Konflik film ini bermuara saat Prani mengantre kue putu ayu legendaris di Yogyakarta—penjual harus menyediakan nomor agar tidak berebutan. Sayang, hal itu tidak berarti sebab beberapa pembeli tidak sabaran—menitipkan pesanan kepada nomor yang lebih dulu darinya.

Melihat kejadian yang janggal itu, Prani menegur salah satu pembeli dan memaksa pembeli itu mengurungkan niat buruk itu. Tidak terima dihakimi, mereka pun berseteru di depan penjual. Keributan itu mengundang atensi sekitar. Kemudian, ada dari mereka yang merekam kejadian tersebut.

Viralnya video perseteruan, lantaran Prani dianggap mengumpat penjual kue putu ayu legendaris yang berusia senja tersebut. Prani menyanggah opini publik karena ia berkata, “ah suwi!” yang dalam bahasa Jawa berarti “lama”—bukan “asu” dengan maksud “anjing”.

Anggapan Prani mengumpat kepada yang lebih tua menjadi “bumerang” baginya—seorang guru BK memberikan “refleksi” ke muridnya saat mereka berbuat nakal, justru tidak mencerminkan budi pekerti yang baik?

Dari Video Viral Berujung Hujatan 

Sebagai guru senior di SMP tempatnya bekerja sekaligus di BK membuat Prani disegani rekan guru dan muridnya. Pasalnya ia kerap memberikan “refleksi” kepada anak ajarannya sebagai bentuk peneguran sikap kurang terpuji yang mereka lakukan.

Secara tidak langsung, Prani dijadikan percontohan mengenai budi pekerti di sekitarnya. Ia dikenal sebagai sosok menegakkan kebenaran dan tidak sungkan menegur seseorang yang tidak patuh terhadap aturan.

Namun karena munculnya potongan video itu, Prani dihujat habis-habisan. Semenjak saat itu semua aspek kehidupan Prani berubah drastis—keluarganya berselisih paham, kariernya di ujung tanduk, dan mentalnya tidak stabil.

Padahal, video vertikal viral di dunia yang berdurasi singkat sekitar 20 detik itu hanya segelintir dari kejadian di tempat. Tapi kesalahpahaman yang tidak berujung ini, bahkan sampai berdampak menjerumuskan karier Prani di dunia pendidikan.

Di titik ini, kita seperti diperlihatkan betapa sosial media itu punya dampak besar. Padahal, tak sepenuhnya dia menggambarkan realitas aslinya. Ada bias dan pembingkaian (framing) yang bisa saja terjadi. Baik sengaja ataupun tanpa disengaja. 

Baca Juga: ‘200 Pounds Beauty’: Buruknya Perlakuan Pada Plus Size atau Tubuh Gendut

Dalam diskusi yang aku ikuti usai pemutaran film, Wregas menyatakan bahwa cerita naskah dalam film ‘Budi Pekerti’ ini berasal dari situasi yang relatable di sekitar. Bagaimana video viral bisa menimbulkan reaksi yang luar biasa—hujatan, penghakiman, makian, dll. 

Dia menyebut contohnya saat pandemi covid-19 lalu, viral salah satu video amatir warganet yang memarahi kurir pengantar pesanan. Pelanggan yang tak terima kesalahan kecil kurir itu, membentaknya, dan timbul unggahan viral yang memunculkan beragam reaksi warganet. 

Wregas tampaknya memahami betul, bagaimana dampak unggahan video pendek bisa begitu besarnya. Mirisnya, jika apa yang ditampilkan tidak sesuai dengan realita yang ada. Ini menimbulkan kerugian dan dampak negatif dari orang-orang yang diviralkan. Apalagi, saat ini, apa-apa dipotret, direkam. Bahkan, seringkali acuh menerabas consent.

Belum lagi, literasi bermedia sosial yang masih rendah mendorong situasi itu makin buruk terjadi. Warganet menelan mentah-mentah apa-apa yang viral. Dengan akun anonim atau alter, bisa seenaknya saja mengetikkan kata-kata jahat atau hujatan. Tanpa konsekuensi berarti. 

Pentingnya Dukungan Keluarga

Di situasi sulit yang dialami Prani, keluargalah yang menguatkan. Meskipun, sepanjang cerita di film disuguhkan segala dinamika yang terjadi. 

Dalam film itu diceritakan pula sosok Didit Wibowo (Dwi Sasono) yang adalah suami Prani. Didit tertarik memulai bisnis yang ia anggap menguntungkan dalam waktu singkat. Namun, kondisi pandemi Covid-19 membuat usahanya banyak yang gulung tikar.

Kondisi terpuruk itu membuatnya stres dan harus berkonsultasi ke psikiater—rutin meminum obat yang diresepkan. Dengan kondisi ekonomi tidak stabil, Prani tetap memprioritaskan memperjuangkan kesembuhan suaminya.

Di saat itulah, Didit mendengar sayup kejadian video viral menimpa istrinya. Dalam proses penyembuhannya dari kondisi mental, Didit berupaya keras untuk bangkit. Dia membantu Prani dengan caranya sendiri. 

Baca Juga: Film ‘The Creator’, Saat Robot AI Ingatkan Soal Kemanusiaan

Didit memanggil psikiater tempat ia berkonsultasi—membantu mempertemukan Prani dengan murid bernama Gora (Omara Esteghlal) yang dulu ia berikan “refleksi”. Didit mendorong Gora memberikan testimoninya di media sosial dengan niat membantu menaikkan citra baik Prani. Namun, hal itu belum cukup “menyelamatkan” Prani. 

Anak Prani pun turun tangan. Prilly Latuconsina yang menjadi Tita, anak sulung Prani, tak tinggal diam. Anak perempuan yang tergabung dalam grup band indie yang menciptakan lagu-lagu idealis itu, terus menemani ibunya menghadapi situasi berat. 

Pun dengan anak bungsu Prani dan Didit, Muklas (Angga Yunanda), yang meskipun sempat membuat kesalahan dan blunder saat mau menolong ibunya. Namun, semangat bahu membahu anak-anak Prani dan suaminya itu begitu berarti. 

Sepanjang pemutaran film ini, aku menangkap banyak hal detail yang membuat takjub. Misalnya saja, saat Tita meneteskan air mata di sebelah kiri—yang di proses aktingnya menggambarkan kesedihan mendalam. 

Baca Juga: Film ‘Kisah Cinta Gadis dengan Para Ombak’ Soroti Kehamilan Tidak Direncanakan

Kemudian, ada simbol-simbol warna kuning dan biru yang lumayan dapat banyak sorotan. Itu menggambarkan buku pendidikan moral Pancasila– yang jadi masuk akal karena mengangkat soal budi pekerti. Ada pula ring light dalam film, yang seperti “setan gentayangan”. Ini seperti tiap ‘mata kamera’ yang bisa kapan saja menyergap momen untuk diviralkan. 

Inspirasi kejadian-kejadian nyata yang begitu dekat di realitas penonton, mengingatkan kembali bahwa kekuatan viral itu bagai pedang bermata dua. Bisa membikin populer atau malah menghancurkan kehidupan. Ini bisa jadi peringatan bagi penonton untuk terus bijak dan berhati-hati dalam bermedia sosial. 

Meski realistis, film ini tetap seru ditonton karena ada bagian-bagian yang penonton harus menerka makna tersiratnya. Buat kamu yang punya rencana nonton di waktu senggang atau akhir pekan, film ini bisa jadi rekomendasi yang menarik. 

Selamat menonton!

Fayza Rasya

Mahasiswa UIN Jakarta yang kini jadi jurnalis magang di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!