Generasi muda dan perannya dalam Pemilu 2024

Generasi Muda Bukan Pendulang Suara di Pemilu 2024, Libatkan secara Bermakna

Generasi muda sering disebut-sebut dalam kontestasi Pemilu 2024. Tapi selain jadi pendulang suara belaka, sudahkah mereka dilibatkan secara nyata dan bemakna?

Belum lama ini, kita memperingati momentum Sumpah Pemuda. Para pendahulu bangsa kita, yang banyaknya dari kalangan muda, telah mengikrarkan diri mereka. Yaitu, untuk bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa persatuan Indonesia. 

Itu menunjukkan betapa visioner dan kokohnya cita-cita muda-mudi Indonesia saat itu. Kini pun, generasi muda di Indonesia juga memegang tonggak penting perjuangan bangsa. Termasuk sebagai penentu masa depan di pemilu 2024 mendatang. 

Bagaimana tidak? Generasi muda khususnya generasi Z dan milenial adalah generasi mayoritas jumlah pemilih tetap pada pemilu 2024. Jumlahnya mencapai 56,45% dari total pemilih tetap (KPU, 2023). 

Dengan jumlah sebesar itu, para politisi yang berkontestasi dalam Pemilu 2024 mendatang pun berlomba-lomba menggaet generasi muda. Baik sebagai calon mereka ataupun sasaran suara. 

Fenomena ini sebenarnya juga sudah mulai dirasakan dengan melihat partai politik, kandidat calon anggota legislatif hingga calon presiden dan wakil presiden yang sudah memulai branding atau citra dirinya sebagai bagian dari orang muda. Citra diri ini dimunculkan dari usianya, cara bicaranya, bentuk kampanye nya, outfitnya hingga sebagian mungkin dengan gagasannya untuk kepentingan orang muda.

Manik Marganamahendra, Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), mengatakan momentum politik di Indonesia saat ini memang menargetkan orang muda sebagai sasaran kuncinya. Namun pihaknya mempertanyakan, benarkah orang muda dijadikan sebagai target yang diberdayakan? Atau justru hanya dimanipulasi untuk dekorasi politik semata? 

Baca Juga: Politik Dinasti Bisa Jadi Ancaman di Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

Dia menyoroti soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu misalnya. Nyatanya hal itu tidak memberikan ruang terang bagi orang muda secara adil dan setara. Sebab Ia menilai, orang muda yang terlibat justru adalah dengan ia yang memiliki privilege dan konflik kepentingan. 

“Sebut saja ayahnya adalah presiden yang masih menjabat, pamannya adalah ketua MK dan adiknya adalah seorang ketua umum partai. Orang muda mana yang punya akses terhadap kekuasaan sebesar ini dan kemudian bisa dengan mudahnya mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden?” ujar Manik dalam keterangan resminya kepada Konde.co, beberapa waktu lalu. 

Sebagai informasi, MK baru saja mengabulkan putusan mengenai batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Inilah yang akhirnya memperbolehkan seorang individu untuk menjadi Capres/Cawapres meski usianya belum 40 tahun. Ia boleh mendaftar asal pernah terpilih dalam Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah sebelumnya atau saat ini sedang menjabat di posisi tersebut. 

Banyak komentar pro dan kontra terhadap hasil putusan MK ini. Hal yang disoroti adalah ketika tiket menjadi calon wakil presiden ini kemudian digunakan oleh anak seorang Presiden, yang saat ini masih menjabat. Yaitu Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun. 

“Banyak yang bilang bahwa Gibran bisa merepresentasikan orang muda. Namun demikian, tak sedikit yang menolak putusan ini karena menyalahi konstitusi serta wewenang MK sendiri yang semestinya tidak mencampuri urusan open legal policy atau semestinya dibahas oleh DPR dan pemerintah (eksekutif). Peristiwa ini kemudian kembali mengingatkan kita untuk berpikir. Sebenarnya seperti apa seharusnya politik bagi orang muda?” jelasnya. 

Generasi Muda Bukan Hanya Objek

Pihaknya percaya bahwa, seharusnya dalam politik orang muda tidak dilibatkan hanya sebagai objek. Tapi, subjek yang seharusnya dilibatkan secara aktif bukan juga terbatas pada orang muda dengan privilege tertentu. Hal ini disebut sebagai meaningful youth participation (keterlibatan kaum muda yang bermakna). 

Mengutip Roger Hart, ada tujuh tangga partisipasi yang dapat kita lihat apakah keterlibatan orang muda yang ada merupakan manipulasi atau justru partisipasi yang bermakna. Menurut Roger dalam “Tangga Partisipasi” dimulai dengan hierarki rongga paling bawah (non partisipasi). Yaitu dari Manipulasi, Dekorasi, Tokenisme. 

Kemudian, naik dalam rongga degrees of participation yang dimulai dengan bentuk partisipasi dari ‘ditugaskan namun terinformasi’, ‘terkonsultasi dan terinformasi’, ‘diinisiasi orang dewasa’. 

Ada juga ‘berbagi keputusan bersama orang dewasa’, ‘diinisiasi dan dipimpin oleh orang muda/anak’ dan yang terakhir ‘diinisiasi oleh orang muda/anak dan berbagi keputusan dengan orang dewasa’ atau bentuk partisipasi yang paling direkomendasikan (Puskapa, 2022).

Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, kemudian menekankan, sudah saatnya bagi Capres dan Cawapres yang berkontestasi pada Pemilu kali ini tidak lagi memanipulasi orang muda. 

“Pelibatan orang muda haruslah bermakna. Hal ini semestinya tertulis dengan terang benderang dalam visi-misi Capres/Cawapres ataupun janji kampanyenya kelak,” katanya. 

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Salah satu sorotan pihaknya adalah soal keseriusan Capres/Cawapres untuk melindungi anak dan orang muda dari bahaya adiksi rokok yang selama ini kebijakannya tidak pernah berpihak pada keselamatan dan kesehatan masyarakat, apalagi orang muda.

Daniel Beltsazar, Program and Research Officer IYCTC, menambahkan bahwa dalam upaya memastikan generasi penerus terlindungi, para capres-cawapres harus memprioritaskan implementasi kebijakan-kebijakan yang kuat dan berdampak dalam menurunkan prevalensi perokok, khususnya pada orang muda. 

“Sehingga generasi muda dapat tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan produktif. Kami juga menyerukan kepada seluruh masyarakat, terutama orang muda,” pungkas Daniel.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!