Ilustrasi KDRT yang dialami dr. Qory

Kasus Dokter Qory dan Bagaimana Jika Korban KDRT Ingin Berdamai dengan Pelaku

Rencana Dokter Qory untuk mencabut laporan atas kasus KDRT yang dilakukan suaminya, membuat netizen kecewa. Namun, bagaimana seharusnya kita menyikapi kasus KDRT jika korban ingin kembali hidup bersama pelaku?

Dokter Qory Ulfiyah Ramayanti ramai diperbincangkan di media sosial setelah beberapa waktu Ia menghilang. 

Awal mula hilangnya Qory diungkapkan dalam media sosial X

Pada Rabu (15/11/2023), suaminya, yang menggunakan akun @Qory20, membagikan foto Qory yang telah menghilang. Ia menyertakan keterangan mengenai kepergian istrinya setelah pertengkaran mereka pada (13/11/2023).

Tanggapan warganet bermacam-macam. Mulai dari meminta alamat rumah, hingga saran untuk tidak mengantar pulang Qory jika ditemui. 

Namun beberapa meragukan keterangan suami Qory yang menyatakan bahwa Qory pergi tanpa membawa identitas, uang, dan HP.

Mengutip dari Kompas, terungkap bahwa Qory melarikan diri dari rumahnya di Cibinong, Kabupaten Bogor pada Senin (13/11/2023) sekitar jam 9.30 pagi. Ia sedang dalam keadaan hamil, tanpa membawa barang bawaan. Suaminya kemudian memberikan informasi tentang keberadaannya setelah dua hari berlalu.

Pada Jumat (17/11), polisi menemukan Qory di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di daerah Bojonggede, Bogor, Jawa Barat. 

Baca Juga: Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

Qory saat itu sedang meminta perlindungan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya dari suaminya. Saat ditemukan, Qory mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya. Visum mengindikasikan adanya kekerasan fisik yang dialaminya.

Keterangan polisi mengungkap bahwa suami Qory, Willy Sulistio, melakukan kekerasan berulang kali pada Qory, bahkan ketika ia sedang hamil. 

Selain itu, Willy juga pernah mengancam Qory dengan sebilah pisau, yang membuatnya ketakutan dan cepat mencari pertolongan. Pihak P2TP2A membantu Qory untuk melaporkan tindakan suaminya ke polisi. Willy pun ditangkap pada Jumat (17/11) sebagai tersangka kekerasan dalam rumah tangga.

Willy, dijerat dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dengan ancaman penjara 5 tahun.

Selama ini, Qory hidup sebagai tulang punggung keluarga, membuka praktik dokter di lima tempat untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Suaminya tidak bekerja.

Keinginan untuk Mencabut Laporan dan Kekecewaan Netizen

Sementara kasus ini masih bergulir, muncul berita yang menyebut Qory akan mencabut laporan terkait KDRT yang dialaminya. 

Meskipun baru disampaikan secara lisan, hal ini menjadi perbincangan juga di kalangan netizen yang memberi perhatian atas kasus ini.

Ada yang menyebut “Netizen udah rame2 mencela suaminya, tahunya doi masih cinta suaminya dan pengen cabut laporan. Ini banyak terjadi di wakanda nih. Netizen aja yang banyak sok tahu, hahaha.”

Ungkapan semacam ini merupakan ungkapan kekecewaan netizen atas Qory yang sepertinya akan  mencabut laporan tentang kekerasan yang dilakukan Willy.

Meskipun begitu, beberapa netizen juga memberikan pandangan bahwa dalam kasus KDRT tidak mudah bagi korban untuk meninggalkan hubungannya. Apalagi, dalam konteks Qory, yang bersangkutan memiliki 3 orang anak dan kini tengah hamil anak ke 4. Hal ini dianggap menjadi faktor yang harusnya diperhatikan polisi agar benar-benar mendampingi Qory sebagai korban agar tidak salah mengambil keputusan.

Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang ketika dihubungi Konde.co (23/11/2023) mengatakan, bahwa perempuan yang ingin kembali ke suami walaupun telah mengalami KDRT merupakan hal yang dikenali dalam lingkaran KDRT. Pertimbangan keluarga dan harapan bahwa pelaku bisa berubah menjadi hal yang membuat korban berada dalam lingkaran kekerasan tersebut. Ditambah lagi dengan pelaku yang akan menarik simpati korban untuk memulai lagi hubungan tersebut.

“Karena itu kami berharap polisi tidak membiarkan kasus ini berakhir dengan perdamaian tanpa penegakan hukum. Kita perlu antisipasi agar kasus yang dialami korban berulang dan berdampak lebih berat terhadap korban. Di Dalam UU PKDRT dikenali dia delik (delik umum dan delik aduan). Polisi sebaiknya cermat dalam menentukan pasal-pasal dalam menangani kasus dr. Qory. Hal ini agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat mencegah terjadinya KDRT,” jelas Veryanto.

Dukungan untuk Korban KDRT

KDRT merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan ke Komnas Perempuan juga ke lembaga layanan. Karena itu, KDRT adalah persoalan serius yang membutuhkan perhatian, khususnya dalam hal penanganan dan pencegahan. 

UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT sesungguhnya telah memberikan perlindungan, namun kasus KDRT masih terus terjadi dan bertambah.

“Kasus yang dialami dr. Qory adalah salah satu contohnya. Korban KDRT kerap mengalami kekerasan berulang dan berlanjut yang mengakibatkan penderitaan baik secara fisik, psikis, penelantaran bahkan seksual. Karena itu Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian dr. Qory untuk bertindak, mencari perlindungan dan bersuara. Kali berharap agar penegak hukum menangani kasus dr. Qory dengan memperhatikan aspek keberpihakan pada korban. Dr. Qory juga membutuhkan dukungan pemulihan. Semoga dr. Qory dapat mengakses lembaga layanan,” tambah Veryanto.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) dalam siaran persnya menyoroti tentang komentar netizen yang kecewa atas pilihan yang diambil Qory untuk berdamai dengan suaminya. 

KOMPAKS menyebut masih kuatnya budaya yang menyalahkan korban (victim blaming) turut berkontribusi pada keengganan korban dan penyintas KDRT untuk meminta bantuan. Stigma yang dilekatkan pada korban ketika melaporkan pengalaman KDRT membuat korban makin rentan. Karena justru menormalisasi kekerasan yang dilakukan pelaku dan melepaskan pelaku dari tanggung jawabnya.

Baca Juga: KDRT Perempuan Seniman: Konten Intim Disebar Mantan Suami, Niat Lapor Polisi Barang Bukti Hilang

Banyak faktor yang membebani korban, termasuk ketiadaan ekosistem pendukung keberlanjutan agar mereka mampu keluar dari relasi yang abusif. 

Yumna Nurtanty Tsamara, koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) dalam rilisnya menyampaikan bahwa pemenuhan hak korban tidak bisa dilihat sebagai solusi instan. Namun proses pemulihan yang membutuhkan waktu, serta perlu dibersamai dengan sistem pendukung yang berkelanjutan dan holistik. 

“Korban rentan mengalami kondisi yang sulit ketika sistem dukungan hanya berlangsung temporer. Misalnya hanya saat kasusnya naik dan menjadi perbincangan di media sosial. Sistem dukungan yang holistik dan berkelanjutan tidak hanya bersumber dari lembaga-lembaga. Namun juga dapat berasal dari individu-individu yang dapat mendukung korban secara konsisten. Hak korban KDRT, maupun kekerasan lainnya, perlu terus disosialisasikan dan menjadi bagian terintegrasi baik di dalam sistem pendidikan formal, pendidikan perencanaan keluarga, maupun sebagai program edukasi dan kampanye publik yang dikontekstualisasikan untuk berbagai lapisan masyarakat.”

Korban KDRT seringkali membutuhkan dukungan kuat dari lingkungan kerja mereka. Rekan kerja dan sejawat dapat berperan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung, dengan menyediakan sumber daya seperti konseling, izin khusus, dan pemahaman kolektif terhadap isu KDRT. 

Adanya jaringan dukungan di tempat kerja dapat menjadi faktor kunci dalam membantu korban mengatasi tantangan dan memulai proses pemulihan mereka.

KOMPAKS menekankan pentingnya edukasi, kerja bersama dari lembaga-lembaga terkait, peran warga net, dan dukungan dari lingkungan kerja, dilihat sebagai suatu ekosistem yang saling melengkapi sehingga bisa lebih responsif, holistik, dan berkelanjutan dalam upaya membuat korban KDRT kembali berdaya.

Baca Juga: Perjanjian Pra-nikah Bukan Cuma Soal Cinta Pasangan, Tapi Juga Menghindari KDRT

Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis gender, di X juga menyoroti respon dari warganet, karena tidak mudahnya menjadi perempuan korban dalam situasi ini.

“Terima kasih kepada warganet yang semakin aktif terlibat memantau kasus KDRT. Akan tetapi, mesti diakui bahwa efek viral adalah salah satu hal yang membuat penyintas KDRT malu dan takut kembali ke kehidupan sosial. Label sebagai “penyintas KDRT” maupun “anak pelaku kekerasan”, juga hari-hari mendatang yang sunyi setelah warganet melupakan kejadiannya, adalah beban yang nyata. Itulah mengapa perjalanan melepaskan trauma bagi penyintas KDRT disebut proses seumur hidup. Warganet dapat mengarahkan tren pembicaraan ke poin yang penting untuk mendukung mental penyintas, yakni melawan KDRT adalah sikap berdaya, bukan aib.”

Dalam menyikapi kasus dr. Qory maupun kasus KDRT lainnya, KOMPAKS memberikan rekomendasi dan dukungan pada para pemangku kebijakan untuk melakukan beberapa hal. Yaitu Kepolisian Resor Kota Bogor dan aparat penegak hukum terkait perlu memastikan proses penanganan yang dilakukan telah memenuhi hak-hak korban sesuai dengan UU PKDRT. Khususnya memprioritaskan kebutuhan serta keamanan korban mengingat risiko keberulangan kasus yang besar.

Kepolisian Resor Kota Bogor juga perlu melakukan penanganan secara transparan dan melibatkan pendamping korban. Sehingga penanganan dapat objektif serta memastikan keberpihakan yang berkeadilan gender.

Yang ketiga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama dengan unit P2TP2A atau unit layanan lain yang menangani korban perlu memberikan pendampingan yang holistik sehingga korban dapat pulih, tidak mengalami viktimisasi, dan mendapatkan kesejahteraan hidupnya kembali

Komnas Perempuan juga dapat memberikan respons cepat dalam mendorong kesadaran lembaga-lembaga terkait terkait hak-hak korban dan kemampuan melakukan mitigasi risiko yang mengutamakan keamanan korban.

Baca Juga: Bagaimana Cara Menjadi Sahabat bagi Korban KDRT

Dan para pemangku kepentingan terkait, baik unit layanan yang disediakan institusi pemerintah maupun pengada layanan, dapat mempermudah akses Rumah Aman bagi korban KDRT. Melalui rumah aman korban mendapatkan tempat perlindungan yang aman dan terpisah dari lingkungan tempat kekerasan terjadi. Akses Rumah Aman mendukung korban untuk mendapatkan bantuan psikologis, konseling, dan layanan lainnya yang diperlukan untuk pemulihan secara menyeluruh.

Juga netizen untuk dapat terlibat dalam proses peningkatan kesadaran terkait pencegahan dan penanggulangan KDRT dengan menyebarkan informasi-informasi seperti layanan yang dapat diakses korban. Serta memberikan dukungan moral yang berpihak pada korban, sehingga menciptakan tekanan positif pada lembaga penegakan hukum dan pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih serius. 

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!