Menghadang Banjir Rob: Jalan Terendam dan Gelap, Perempuan Melahirkan di Perahu

Naik perahu, gelap, sulit komunikasi, ini semua dijalani sejumlah perempuan hamil untuk mengakses rumah sakit. Ada yang melahirkan di perahu.
Konde.co dalam edisi khusus ini menyajikan reportase tentang situasi dan persoalan para perempuan pesisir menghadang banjir rob dan krisis iklim.

Satu malam di bulan November 2022. Nita mengeluh sakit perut. Perempuan berusia 28 tahun itu adalah ibu seorang anak yang sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Nita dan suaminya tinggal di rumah orang tuanya di Dusun Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa tengah. 

Sekitar jam 11 malam, dengan diantar sang bapak, Nita periksa ke mantri kesehatan di dusun tetangga.

Tidak mudah bagi Nita yang tinggal di Dusun Timbulsloko untuk mengakses layanan kesehatan. 

Dusun Timbulsloko berada di kawasan pesisir Demak, Pantai Utara Pulau Jawa. Sejak sekitar tahun 2000-an banjir rob melanda wilayah tersebut.

Awalnya rob datang di waktu-waktu tertentu dan surut dalam hitungan jam. Dalam perkembangannya, rob jadi datang setiap saat dan tidak pernah surut lagi. Akibatnya, jalan, pemukiman, lahan pertanian dan pemakaman tenggelam oleh banjir rob. Lalu lintas macet. Orang ke rumah sakit jadi sulit karena mesti melewati banjir rob. Apalagi yang lagi hamil seperti Nita.

Baca Juga: ‘Bedol Desa’ di Pantura Akibat Perubahan Iklim, Warga Butuh Kebijakan Perlindungan

Banjir rob merupakan bencana yang terjadi saat air laut masuk ke daratan dan menyebabkan genangan di daerah tersebut. Di pesisir Demak, setiap tahun ketinggian rob terus naik hingga akhirnya Dusun Timbulsloko dikepung air laut. Akses jalan menuju dan keluar Dusun Timbulsloko terputus.

Oleh mantri, Nita didiagnosis asam lambungnya naik dan darah rendah. Ia pun diresepkan obat. Namun meski sudah minum obat, sakitnya tak kunjung mereda. 

Menjelang pagi Nita makin kesakitan, rasa sakitnya menjalar sampai ke punggung.

“Perutnya sakit, berasanya sampai sini, sampai punggung. Rasanya kayak pegel-pegel,” ujar Nita kepada Konde.co saat ditemui di kediamannya, Kamis (16/11/23).

Saat itu suaminya yang berjualan ikan sudah pergi ke pasar sejak jam 12 malam. Bapak dan ibunya juga berjualan ikan di pasar dan membuka warung sayuran di rumah. Mereka sudah berangkat ke pasar untuk berjualan dan belanja kebutuhan warung sekira pukul 3 dini hari. 

Nita di rumah bersama anaknya yang masih balita dan 2 orang adik perempuannya.

Baca Juga: Mei 70 Tahun Lalu, Pertama Kali Dibahas Perubahan Iklim Dunia

Nita sempat tidak sadarkan diri. Ia tidak ingat bagaimana dia bisa sampai di depan pintu, sementara tadinya dia ada di dalam kamar. Saat tersadar, dia sudah berak dan kencing di tempat dan merasa sedikit lega. Tapi setelah itu ia kembali merasa kesakitan.

“Terus saya telpon bapak, ‘Pak saya nggak kuat, mau ke rumah sakit’. Terus bapak bilang, ‘Naik perahu, nanti bapak tunggu di Dempet’,” tutur Nita.

Akibat akses jalan yang terputus, warga Dusun Timbulsloko menggunakan perahu kecil untuk aktivitas keluar masuk dusun. Dermaga perahu berada di dekat masjid Dusun Timbulsloko dan akan berakhir di dekat musala di Dusun Dempet. 

Perjalanan dengan perahu ini membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Dari Dusun Dempet, warga bisa melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor atau angkutan umum.

Baca Juga: Film “Sampai Ujung Laut” Perjuangan BBM Nelayan Tradisional

Sebenarnya ada akses jalan menuju Dusun Timbulsloko yang baru dibangun sekitar tahun 2021. Yaitu, jalan setapak dari timbunan tanah dan batuan padas itu dibangun di atas air laut. Kiri kanan jalan setapak berukuran sekitar 1,2 meter yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor tersebut dibuat semacam talud. 

Namun jika rob sedang naik, jalan itu terendam air dan tak bisa dilewati.

Keterangan: Jalan urugan dari batuan yang menghubungkan Dusun Timbulsloko dengan Dusun Dempet. Sebelah kiri adalah parkiran motor di Dusun Timbulsloko. Jika rob sedang turun, warga bisa memarkirkan motor di sini. Tapi jika rob naik, motor hanya bisa di parkir di Dusun Dempet dan jalan urugan tersebut terendam rob.

Dari jalan urugan tersebut warga disambungkan dengan jembatan dari kayu dan bambu untuk mencapai rumah. Jembatan ini baru dibuat sekitar tahun 2021, ketika pandemi Covid-19 tengah berlangsung. Lebar jembatan kayu sekitar 70 cm dan dibangun dengan swadaya warga dan bantuan yang digalang oleh Masnuah, pendiri Puspita Bahari.

Baca Juga: Krisis Iklim di Depan Mata: Dunia Butuh Tokoh Fiksi Bergaya Ramah Lingkungan

Karena sudah tak kuat berjalan, Nita digendong tetangga dari rumah menuju samping masjid untuk menunggu perahu. 

Pagi hari seperti ini antrian perahu sangat panjang. Anak-anak sekolah, warga yang mau bekerja atau pergi keluar desa semua mengantri. Saat itu hanya ada satu perahu untuk transportasi.

Wajah Nita sudah memucat, sakitnya sudah tak tertahankan. Setelah hampir satu jam menunggu perahu, Nita akhirnya bisa menyeberang. Di perahu dia berbaring dengan alas papan. 

Sampai di Dukuh Dempet, bapaknya sudah menunggu. Ia lalu menyewa mobil tetangga di Dempet untuk mengantar Nita ke rumah sakit karena kondisinya sudah lemas, tidak bisa membonceng.

Tadinya Nita mau diantar ke rumah sakit di Demak kota, karena lalu lintas macet akhirnya dibawa ke RS Sultan Agung, Semarang. Kecamatan Sayung, Demak itu posisinya berbatasan dengan wilayah timur kota Semarang. Ibunya menyusul ke rumah sakit karena mesti mencari dahulu surat-surat untuk keperluan periksa.

Di rumah sakit, Nita masih harus menunggu. Dia harus membayar untuk mendaftar dan tidak bisa memakai kartu BPJS-nya. 

Baca Juga: Ceritaku Datangi Kampung-Kampung di Jakarta: Pembangunan Maskulin Bikin Perempuan Jadi Miskin

Kepada petugas kesehatan, bapaknya mengatakan Nita kena asam lambung dan darah rendah. Dia mengucapkan persis seperti diagnosis yang disampaikan mantri sebelumnya. 

Nita lalu diinfus dan diberi obat 4 macam. Tapi tak ada reaksi. Setelah itu Nita dites urine.

Loh mbak, urinenya kok darah semua. Jangan-jangan mbaknya hamil di luar kandungan. Dicek dulu ya Mbak, diambil darahnya,” begitu kata petugas kesehatan seperti disampaikan Nita.

Saat hendak diambil darahnya, ternyata sudah sulit. Hasil pemeriksaan menunjukkan Nita hamil 2 bulan dan kehamilannya berada di luar kandungan. Ia pun dirujuk untuk menjalani prosedur operasi.

Saat itu dia menyampaikan ke petugas kesehatan, kalau Ia tidak memakai BPJS dia tidak punya uang untuk membayar biaya operasi. Petugas kesehatan mengatakan karena ini kondisi darurat, dia bisa memakai BPJS. 

Sekitar pukul 3 sore, Nita kemudian menjalani operasi. Kadar hemoglobin (HB) sangat rendah yakni 3 gram/dL, padahal normalnya untuk perempuan dewasa itu 12-15 gram/dL. Ia butuh 12 kantong darah.

“Kalau tidak cepat-cepat ditangani ini bisa meninggal,” kata dokter seperti diucapkan Nita.

Setelah dioperasi, Nita dirawat di ICU selama 3 hari dan di ruang rawat inap selama 2 hari. Nita akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik.

Anak Kejang dan Lansia Sulit Dapat Pertolongan

Kondisi infrastruktur yang rusak tergerus rob di Dusun Timbulsloko tak hanya membahayakan nyawa perempuan hamil seperti Nita. Anak-anak yang sakit mendadak, lansia dan disabilitas juga menghadapi kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan. 

Hal itu seperti disampaikan Rusikah (42 tahun), warga Dusun Timbulsloko.

“Bagi ibu-ibu paling susah itu masalah kesehatannya kalau mau berobat atau mau melahirkan. Anak kecil sakit mendadak, itu juga susah. Sama kalau mau belanja ke pasar juga susah kalau rob-nya besar, mesti pakai perahu,” tutur Rusikah saat ditemui di rumahnya.

Rusikah sehari-hari berjualan sosis goreng, es, dan aneka camilan di teras rumahnya. Dulunya dia bekerja sebagai buruh pabrik mebel di daerah Terboyo, Semarang. Namun, Rusikah kena PHK pada 2019 karena pabrik tempatnya kerja pindah ke Jepara akibat sering kena rob.

Buruh laki-laki bisa tetap kerja di lokasi pabrik yang baru, sedangkan buruh perempuan seperti Rusikah, kena PHK. 

Baca Juga: Kawit dan Rugiyati, Perempuan Pembela Tanah Pesisir

Usai kena PHK, Rusikah merawat ibunya yang sedang sakit di rumah hingga akhirnya meninggal. Setelah itu, dia membuka warung kecil di teras rumahnya. Aktivitas ini dilakukan untuk mengisi waktu sembari menambah penghasilan.

Rusikah pernah punya pengalaman tak mengenakkan ketika cucunya sakit. Satu hari di tahun 2020, cucu Rusikah yang baru berumur 1,5 tahun sakit panas. Meski sudah dibawa berobat, panasnya tak kunjung turun.

Cucunya itu terus menangis sambil digendong bapaknya, menantu Rusikah. Sekitar pukul 2 dini hari, Ia tiba-tiba kejang-kejang. Rusikah pun panik.

“Tadinya kan digendong sama ayahnya. Cucu saya itu nangis terus kan, digendong sama ayahnya. Tiba-tiba dia itu nggletak sama kejang-kejang,” ujar Rusikah kepada Konde.co, Kamis (16/11/23).

Ketika itu jembatan kayu dan jalan setapak di dusunnya belum dibangun. Kondisi jalannya pun masih jelek. Sambil menggendong si kecil itu, menantunya lari dari Dusun Timbulsloko menuju Dusun Dempet untuk segera mencari pertolongan pertama.

(Gambar: Rumah panggung dengan jembatan kayu yang sering terendam banjir rob. Dok: Anita/Konde.co)

Kondisi rumah warga di Dusun Timbulsloko. Rumah warga dibuat jadi rumah panggung yang dihubungkan dengan jembatan kayu. Lantai rumah ditinggikan dengan papan kayu. Kalau rob sedang tinggi, jembatan kayu bisa terendam rob.

Baca Juga: Ini Isu Bersama: Gerakan Perempuan Lokal Hadapi Krisis Iklim Global

Dari Dusun Dempet, menantu Rusikah memakai sepeda motor untuk membawa anaknya ke bidan di Desa Onggorawe. Di sana si kecil mendapat pertolongan pertama.

“Terus anaknya bisa nangis. Sadar kan, terus nyari ibunya,” tutur Rusikah.

Setelah itu cucunya dibawa ke klinik Esensia di Semarang. Setelah diperiksa, cucunya boleh pulang dan rawat jalan.

“Kalau saya teringat itu, mau nangis Mbak,” ucap Rusikah dengan suara pelan.

Selain anak-anak yang sakit dan butuh pertolongan cepat, kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan juga dialami para lansia. Rusikah juga merasakannya saat merawat ibunya yang sakit. 

Ia menuturkan ibunya yang lansia penglihatannya sudah tidak berfungsi dan sudah tidak bisa berjalan. Untuk membawa berobat jadi sangat sulit dengan kondisi infrastruktur yang buruk.

“Ibu saya kalau mau berobat sulit. Kalau mau digotong, dia gemuk. Mau dinaikkan perahu ya susah. Akhirnya di rumah aja manggil Pak Mantri,” katanya.

Baca Juga: Pawon Pesisir, Dapur Makanan dan Tanda Perlawanan Perempuan

Untuk memanggil Mantri Kesehatan ke rumah dengan menjemput dan mengantarkannya kembali, warga Dusun Timbulsloko harus mengeluarkan uang sekitar Rp 300 ribu. Uang tersebut sudah mencakup biaya periksa dan obat.

Sebenarnya ada posyandu di Dusun Timbulsloko yang buka sebulan sekali setiap hari Kamis minggu kedua. Ada bidan desa yang datang ke Dusun Timbulsloko saat posyandu buka. Selain balita, ibu dan lansia juga bisa memeriksakan diri.

Tapi orang sakit terutama lansia yang butuh penanganan segera, tidak selalu bisa mengandalkan keberadaan posyandu itu. Maka, memanggil mantri kesehatan akhirnya jadi hal yang paling mungkin dilakukan. Meskipun membuat warga harus mengeluarkan lebih banyak uang. 

Terlebih, tidak semua tenaga kesehatan bersedia jika dipanggil warga. 

“Cuma satu mantri yang mau dijemput ke sini. Dia tugasnya di Puskesmas 1 Sayung. Jauh dari sini,” kata Rusikah.

“Di sini Puskesmas jauh, bidan jauh. Jauh semua Mbak di sini. Bidan adanya di Onggorawe, trus di Pangkalan, sama di Karanggeneng, dekat kelurahan,” tambahnya.

Selain lansia, warga yang kena stroke dan lumpuh juga kesulitan untuk bisa mengakses layanan kesehatan.

Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual Melahirkan di Tengah Laut

Sulitnya akses kesehatan juga dirasakan para perempuan di Dusun Tambakpolo, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Demak, Jawa Tengah. Wilayah ini juga mengalami rob, tapi belum separah seperti dusun Timbulsloko yang sudah tenggelam. Meski begitu kondisinya tidak berbeda jauh. Akses jalan dusun juga rusak.

“Di sini kena rob Mbak, yang rumahnya rendah rob masuk sampai ke dalam rumah. Jalanan juga terendam rob. Tapi di sini robnya cepat Mbak, air rob datangnya cepat, surutnya juga cepat. Misalnya rob datang saat subuh, nanti jam 8 pagi sudah surut, biasanya seperti itu,” jelas Siti Darwati, Rabu (15/11/23).

Siti Darwati adalah perempuan nelayan anggota Puspita Bahari yang tinggal di Dusun Tambakpolo. Ia sudah melaut sejak 2003 setelah anak pertamanya lahir. Darwati sehari-hari melaut bersama suaminya Musakori, yang akrab dipanggil Wowik.

Jalan menuju Dusun Tambakpolo ada yang berupa jalan semen yang sudah terkikis. Ada juga yang berupa jalan urugan batuan. Dengan lebar sekitar 1 meter, kondisi jalan sebagian besar rusak, berlubang dengan genangan air rob. Dengan kondisi jalan seperti ini perempuan yang akan melahirkan dan orang sakit tidak mungkin melalui jalan tersebut.

(Gambar: Kondisi jalan dari urugan tanah yang sering terendam banjir rob. Dok: Anita/Konde.co)

Jalan urugan di Dusun Tambakpolo. Kondisi jalan yang seperti ini membuat Dusun Tambakpolo yang lokasinya jauh dari akses layanan kesehatan jadi makin terisolir. 

Darwati punya pengalaman mendampingi perempuan disabilitas intelektual—sebut saja K—yang akan melahirkan. K mengalami kekerasan seksual hingga hamil. 

Dengan kondisi disabilitas tersebut, keluarga K kesulitan untuk menuntut keadilan dari pelaku. Mereka juga takut jika nanti fakta-fakta yang ada justru diputarbalikkan.

Karena itu, keluarga K tidak membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Meskipun sejumlah pihak mendukung jika keluarga K akan memproses kasus tersebut. Seperti Masnuah, pendiri Puspita Bahari, komunitas perempuan nelayan yang melakukan advokasi dan pemberdayaan terhadap perempuan di pesisir Demak.

Baca Juga: Catatan di Hari Perempuan: Pemerintah Masih Abaikan Perempuan Petani, Buruh dan Nelayan

Sore itu sekitar pukul 3.30 WIB, kakak K menemui Darwati. Ia minta tolong agar K yang akan melahirkan diantar ke bidan memakai perahu. Itu dikarenakan Ia sudah tidak kuat kalau membonceng sepeda motor. Akhirnya Darwati, Wowik dan kakak K mengantar K dengan perahu.

Bidan terdekat ada di Desa Morodemak. Perjalanan dengan perahu dari Tambakpolo ke Morodemak bisa memakan waktu hingga 1 jam. Pasalnya jalur perahu mesti memutar dan lewat ke tengah laut melintasi kawasan mangrove.

Belum sampai ke lokasi tujuan dan masih berada di tengah laut, K melahirkan. Sambil memegang tangan Darwati, K mengaduh kesakitan, “Atit mbak, atit mbak,” rintih K seperti dituturkan Darwati. 

Sore itu ombaknya sangat besar, sampai membasahi bayi K. Bayi K lahir dengan kondisi tempurung terbuka. Darwati pun menangis dan berteriak-teriak menyebut nama Tuhan.

“Tapi saya direh-rehke bojoku Mbak. ‘Kowe ki rasah ngono, kowe ki sak dermo nulung, wis tulungen wae, ojo mikir sing ora-ora’. (Tapi saya diingatkan suami saya mbak. ‘Kamu itu hanya menolong, sudah ditolong saja, jangan berpikir macam-macam’,” ujar Darwati dengan mata memerah.

Meski bayinya sudah keluar, tapi plasenta atau ari-arinya belum keluar. K tak henti-henti mengaduh kesakitan. Ari-ari bayi baru keluar setelah sampai di tempat bidan.

Begitu sampai di rumah bidan, bayinya langsung dilarikan ke rumah sakit. Darwati dan suaminya yang membawa bayi tersebut ke RSU Demak. Sementara K diurus oleh bidan ditemani kakaknya. Bayi tersebut hanya mampu bertahan selama 3 hari.

Baca Juga: Krisis Iklim Persoalan Perempuan 2023, Bagaimana Menyelesaikannya

Tak hanya K, menurut Darwati, perempuan-perempuan di Tombakpolo pada umumnya mengalami kesulitan saat akan melahirkan. Di dusun ini tidak ada bidan desa. Bidan terdekat ada di Morodemak dan di Gebang, keduanya desa tetangga.

Untuk mencapai kedua bidan tersebut dengan menggunakan perahu sama-sama butuh waktu 1 jam. Tapi untuk sampai ke bidan di Gebang setelah perjalanan dengan perahu masih harus disambung dengan becak atau mobil. Kalau kondisi jalan dusun baik, kedua bidan tersebut sebenarnya dapat dijangkau dengan relatif lebih mudah.

Sementara Pos Kesehatan Desa (PKD) terdekat ada di Dusun Pongangan, dusun tetangga. Puskesmas lokasinya sangat jauh. Puskesmas Bonang I ada di Desa Morodemak dan Puskesmas Bonang II ada di Desa Wedung.

Darwati punya pengalaman melahirkan anak pertama digotong ke bidan dengan perahu. Ketika itu ia merasa perutnya mulai mules selepas isya. Bidan di Morodemak tidak sanggup menangani sehingga ia dibawa ke bidan di Demak.

“Dibawa ke bidan Morodemak sudah nggak sanggup, air ketubannya sudah pecah. Jadi dibawa ke bidan di Demak, bu Sis, di jalan Pahlawan,” ujar Darwati.

Sementara proses kelahiran anaknya yang kedua berlangsung di rumah. Pada anak ketiga prosesnya berjalan lancar. Ketika itu Darwati berniat periksa ke bidan. Ia datang ke bidan diantar suaminya dengan motor. Saat diperiksa bidan mengatakan ia akan melahirkan nanti malam, jadi ia disarankan tidak pulang.

Darwati sempat ragu karena saat itu ia belum merasa ada kontraksi atau keluhan. Namun, ia mengikuti perkataan bidan dan malam itu ia melahirkan.

Baca Juga: Sering Diabaikan, Perempuan Punya Cara Merawat Lingkungan Yang Feminis

Warga Dusun Tambakpolo yang sakit kritis atau parah juga harus mencari pertolongan dan berobat dengan memakai perahu. Darwati dan Wowik pernah mengantar kakaknya yang mengalami pendarahan beberapa hari setelah melahirkan. Kondisinya yang kritis saat itu sempat membuat Darwati sangat khawatir.

“Wis mbuh mbak, mbuh tutug umure mbuh ora, tujune re nggowo cepet mbak. Ngomonge bidane, ‘mbok ini lewat berapa menit ngono lho wis ora ketolong’.

(Entahlah mbak, apakah masih bisa tertolong atau tidak, untungnya perahunya bisa cepat. Bidannya bilang, ‘Kalau ini terlambat beberapa menit saja bisa tidak tertolong’),” tutur Darwati. 

Ketika bapaknya mengalami kecelakaan kerja, dia juga diantar ke rumah sakit dengan menggunakan perahu. Darwati menuturkan bapaknya bekerja sebagai nelayan. Satu hari ia melaut ke Semarang. Saat berangkat semua berjalan dengan baik. Ketika pulang, selepas maghrib, ia terpeleset di perahu. Badannya tidak bisa digerakkan, tidak bisa apa-apa. Bapaknya lalu dibawa ke rumah sakit memakai perahu namun nyawanya tak tertolong.

Di Dusun Tambakpolo warga sebagian besar punya perahu, karena mereka rata-rata bekerja sebagai nelayan. Jadi kalau mereka perlu mengantar orang sakit atau perempuan mau melahirkan, biasanya memakai perahu kepunyaan sendiri.

Rob, Beban Berlipat dan KDRT Juga KTD

Selain persoalan akses kesehatan, perempuan di pesisir Demak juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. Kasus yang tercatat dan dilaporkan ada di Desa Morodemak.

Dayah adalah seorang penyintas KDRT, sehari-hari ia memproduksi olahan hasil laut dan mendampingi perempuan yang membutuhkan keadilan. Ia juga anggota Puspita Bahari, komunitas perempuan nelayan di Demak. Produksinya berupa peyek udang, kerupuk ikan, dan krispi ikan yang dipasarkan di warung-warung di Morodemak, Purworejo dan Margolinduk.

Dayah tinggal di Desa Morodemak sejak lahir. Desa ini juga terkena rob. Sebagian kawasan mangrove di desa ini hilang, ketika warga mulai mengusahakan tambak. Rob jadi makin masuk ke wilayah ini.

Rumah-rumah warga sebagian sudah ditinggikan. Mereka yang mampu secara ekonomi menaikkan posisi rumahnya jadi sejajar atau lebih tinggi dari posisi jalan. Bahkan ada yang menaikkan rumahnya hingga 1,5 meter lebih tinggi dari posisi jalan. Tapi hanya sedikit yang bisa membangun rumah seperti ini.

Sementara warga yang tidak mampu, posisi rumahnya jadi lebih rendah dari posisi jalan. Yang dilakukan biasanya adalah menaikkan lantai rumah, sehingga lantai rumah jadi sejajar dengan jendela. Jadi jarak antara lantai dengan atap rumah makin rendah. 

Jika rob sedang tinggi, jalan gang di dalam kampung bisa terendam dan air masuk ke dalam rumah.

Baca Juga: Masnuah, Penerima Penghargaan Saparinah Sadli Award 2018

Menurut Dayah, dulu rob di desanya datang di waktu-waktu tertentu, seperti saat rendeng atau musim penghujan. Ketika masuk bulan Agustus biasanya banjir rob akan surut. Namun sekarang kedatangan rob seperti tidak kenal waktu. 

Bahkan Agustus 2023 banjir rob masuk ke dalam Sekretariat Puspita Bahari yang terletak di Desa Morodemak hingga setinggi sekitar 25 cm.

(Gambar: Sekretariat Puspita Bahari di Desa Morodemak. Dok: Anita/Konde.co)

Jika rob sedang tinggi, air bisa masuk ke dalam sekretariat.

“Dulu di Morodemak banjir, tapi ada masanya. Kalau rendeng banjir, kalau Agustus nggak ada air rob. Tapi sekarang nggak kenal masa. Pokoknya tiap hari banjir rob terus,” kata Dayah kepada Konde.co di Sekretariat Puspita Bahari, Rabu (15/11/23). 

Baca Juga: Kebijakan Negara Mengabaikan Perempuan

Rob yang makin sering datang membuat perempuan-perempuan di Morodemak punya beban kerja berlipat. Dayah menuturkan di Morodemak seluruh pekerjaan kecuali melaut dibebankan kepada perempuan atau istri.

Keberadaan perempuan nelayan di pesisir Demak seperti Darwati yang melaut sama seperti nelayan laki-laki sudah diakui secara legal. Di KTP status pekerjaan mereka tertulis sebagai nelayan. Mereka pun sudah bisa mengeklaim hak-haknya sebagai nelayan dan mendapatkan perlindungan.

Namun, ini semua bisa dicapai lewat advokasi panjang yang dilakukan Puspita Bahari yang dimotori Masnuah. Masnuah bersama para perempuan nelayan berhasil mendapatkan pengakuan dan melawan stigma masyarakat.

Dengan peran perempuan sebagai penanggung jawab seluruh pekerjaan rumah tangga tersebut, maka urusan membersihkan rumah setelah rob surut jadi beban perempuan.

“Kalau banjir itukan masuk rumah karena rumah yang rendah pada tenggelam. Jadi habis masak, nyuci, ngurus anak, ya udah kalau banjirnya surut perempuan bersihin sampai selesai, walaupun dia sakit. Sampai kakinya rangen atau jamuran, ya dia nggak hiraukan, pokoknya kalau surut ya udah itu pekerjaan dia,” papar Dayah.

Saat capek usai membereskan semua urusan rumah tangga setelah rob surut, biasanya para perempuan makan sampai kenyang lalu tidur. Dayah melihat kebiasaan ini menyebabkan banyak perempuan di Morodemak yang kena penyakit gula.

Baca Juga: Catatan Tentang Kondisi HAM dan Perempuan di Indonesia: Pemerintah Punya Banyak PR

Di sisi lain, pembagian peran dan beban kerja yang tidak imbang juga penghasilan yang tidak menentu. Hal itu jadi pemicu terjadinya KDRT. 

Sepanjang tahun 2023 ini, Dayah menangani 18 kasus KDRT di Desa Morodemak. Dari 18 kasus, 12-nya berakhir dengan perceraian, 2 kasus masih dalam proses perceraian, sedang 4 lainnya masih menunggu panggilan.

Dari 18 kasus tersebut, KDRT yang dialami antara lain berupa ditinggal pergi suami, kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi. 

Pelaku punya pekerjaan yang beragam, mulai dari nelayan, buruh bangunan, hingga pedagang keliling. Pelaku dan korban ada yang keduanya berasal dari Morodemak, ada yang dari luar Morodemak.

Selama menjadi paralegal, Dayah mengaku biasanya dia akan mencoba untuk memberi pengertian dan pilihan pada korban mulai dari rujuk hingga cerai. Namun, sebagian besar korban memilih untuk bercerai.

Pada kasus KDRT berupa kekerasan fisik, korban jarang yang memilih penyelesaian lewat proses hukum. Kebanyakan, lebih memilih untuk berpisah dengan pasangannya. Seperti pada 18 kasus yang dilaporkan sepanjang tahun ini.

“Ada yang proses hukum, ada juga yang milih, ‘udah nggak usah ribet yang penting saya bisa pisah sama dia’,” terangnya.

Baca Juga: Jangan Ambil Laut Kami

Fenomena lain yang muncul di Desa Morodemak adalah kehamilan tidak diinginkan di kalangan anak/remaja perempuan. Menurut Dayah, sepanjang tahun 2023, ada 6 kasus Kehamilan tak Diinginkan/KTD yang diketahuinya. Jumlah riilnya bisa jadi jauh lebih besar.

Pada kasus seperti ini biasanya orang tua akan menikahkan si anak. Kasus terbaru, orang tua si anak sedang mengurus dispensasi dan surat-surat ke Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA). 

Itu dilakukan lantaran keduanya masih di bawah umur. Proses ini belum selesai tapi tanggal pernikahan sudah ditentukan dan sudah mendekati hari H.

Dalam situasi seperti ini, Dayah menuturkan, satu-satunya jalan yang mungkin adalah menikah secara siri. Jika sudah cukup umur baru menikah secara hukum dan dengan pencatatan. 

Namun dari pengalaman Dayah, selama ini biasanya sebelum mencapai umur yang disyaratkan, si perempuan sudah ditinggal. Anak yang lahir pun tidak diberi nafkah oleh ayahnya.

“Banyak perempuan hamil dulu, terus dikawin siri habis itu ditinggal, padahal punya anak. Laki-laki di sini kebanyakan kalau sudah pisah sama istrinya nggak mau ngasih nafkah anaknya. Jadi anak-anak ditanggung perempuan, makanya beban perempuan itu berat,” ujar Dayah 

Problem ini terus-menerus terjadi disana, menjadi pergulatan perempuan setiap hari.

(Tulisan ini mendapat dukungan dari Deepening Impact for Women Activators (DIWA) Media Fellowship yang diselenggarakan oleh ASHOKA)

(Foto: Ilustrasi Perempuan di Pesisir Demak/ Dok. Puspita Bahari)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!