Politik

Tak Cuma Perempuan, Laki-laki Juga di Pusaran Manuver Politik Keluarga

Konde.co ngobrol dengan dua tokoh perempuan tentang manuver politik keluarga atau manuver antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, Presiden Joko Widodo-Iriana, untuk mendukung Gibran maju sebagai Cawapres. Dua pakar ini adalah Hurriyah, dari Puskapol UI, dan aktivis perempuan, Lilis Listyowati, Direktur Kalyanamitra.

Ramai jadi perbincangan di media sosial dalam seminggu ini, soal keterlibatan politik keluarga Iriana untuk mendukung Gibran Rakabuming Raka.

Para pakar perempuan melihat, manuver untuk mendukung Gibran, tak hanya dilakukan Iriana sebagai perempuan, tapi juga ayah Gibran yang juga seorang Presiden dan laki-laki, Jokowi, juga paman Gibran, Anwar Usman.

Konde.co ngobrol dengan Hurriyah selaku Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, dan Lilis Listyowati sebagai Direktur Eksekutif Kalyanamitra, menyikapi seputar manuver yang dilakukan perempuan dan laki-laki dalam sebuah keluarga, sehingga orang menyebutnya sebagai politik dinasti.

Manuver Iriana Tak Merepresentasikan Politik Perempuan, Laki-laki Sama Saja

Hurriyah dari Puskapol UI menegaskan di awal perbincangan, bahwa soal keterlibatan Iriana dalam manuver politik keluarga, semestinya jangan dibingkai sebagai potret bagaimana perempuan dalam berpolitik, karena laki-laki juga melakukan manuver yang sama.

Jadi ini sama saja, bisa dilakukan oleh laki-laki, tapi bisa juga dilakukan perempuan.

“Dalam kasus ini, yang dilakukan Ibu Iriana itu bukan representasi dari politik perempuan. Melainkan, pola-pola lama yang kebetulan pelakunya adalah perempuan,” ujar Hurriyah kepada Konde.co, pada Selasa (21/11).

Pola-pola lama yang dimaksud Hurriyah ini, termasuk kaitannya dengan praktik dinasti politik atau kekerabatan. Realitasnya hingga kini, praktik politik yang maskulin ini masih terus saja dilanggengkan.

Riset Puskapol UI, Hurriyah mengungkap pemetaan bagaimana keterpilihan perempuan di DPR RI pada pemilu 2019. Lebih dari 40% perempuan yang terpilih, masih dari jalur dinasti politik dan mereka yang punya hubungan kekerabatan.

“Sehingga yang muncul adalah orang-orang yang di politik dinasti. Kita tak bisa berharap mereka punya perspektif perempuan. Sehingga, wajahnya saja perempuan, tetapi perspektifnya, idenya, gagasannya, tidak punya perspektif gender sama sekali,” jelasnya. 

Baca Juga: Caleg Perempuan Minim di Pemilu 2024, Hanya 1 dari 18 Parpol Penuhi Kuota 30% 

Sementara, Direktur Eksekutif Kalyanamitra, Lilis Listyowati mengatakan, munculnya nama Iriana sebagai perempuan dalam pusaran manuver politik keluarga Jokowi yang ramai jadi perbincangan, bahkan dikait-kaitkan dengan gendernya sebagai perempuan “dalang” dan banyak yang menyalahkan karena Ia perempuan. Padahal menurutnya, praktik dinasti yang terjadi ini adalah soal pertarungan politik dan kepentingan: siapa dan keluarganya siapa.

Jadi, apapun jenis kelamin dan gendernya, sama saja. Ini dikarenakan politik maskulin yang sudah lama membungkusnya. Jadi semua akan berada disana.

“Ketika ada isu Ibu Iriana di baliknya (manuver politik keluarga Jokowi–red) ndilalah –bahasa jawanya (kebetulan)– dia adalah perempuan,” ujar Lilis, Rabu (22/11). 

Dengan kata lain, praktik politik dinasti termasuk jika pelakunya adalah perempuan (termasuk Iriana–red), itu bertentangan dengan semangat perjuangan politik perempuan. 

Isu tersebut muncul dengan komentar ramai di media sosial, usai terbitnya laporan  utama majalah Tempo per 19 November 2019. Dikatakan, Iriana sudah sejak lama ingin anaknya jadi kandidat di pemilu 2024. Ia aktif berkomunikasi dengan para relawan Jokowi dan para pengusaha. Tujuannya, mendukung Gibran. Ini kemudian ramai diperbincangkan.

Usai sebelumnya, manuver politik keluarga Jokowi-iriana ini, menggegerkan publik dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia, yang diketok oleh Anwar Usman. Dia adalah adik ipar Jokowi, yang juga adalah paman dari Gibran.

Sejak saat itu orang membincangkan politik dinasti, ada peran 3 laki-laki disana yaitu Jokowi, Anwar Usman dan Gibran, juga peran 1 perempuan, Iriana.

Baca Juga: Putusan
MK Jadi Peluang Gibran Maju Pilpres 2024, Jokowi Disebut Mirip Suharto?

Politik dinasti ramai jadi perbincangan di kalangan publik karena ini dianggap jadi bermasalah karena berbahaya bagi demokrasi. Berbagai kalangan pun menyuarakan kekecewaannya. 

Bersamaan dengan itu, apalagi muncul pula isu cawe-cawe Jokowi yang tidak netral di pemilu 2024. Dikarenakan adanya indikasi penyalahgunaan kuasanya, sebagai orang nomor satu di negara ini, untuk dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran. 

Bagaimana semestinya praktik politik perempuan?

Hurriyah yang juga adalah Dosen UI menjelaskan, politik perempuan itu semestinya sarat akan perjuangan mewujudkan kesetaraan gender. Praktiknya juga harusnya membuka ruang kesempatan yang sama. Tujuan besarnya, supaya bisa mengubah wajah politik menjadi lebih baik, dibanding pola-pola politik lama. 

Di sisi lain, menurutnya, bicara soal keterwakilan perempuan di politik, juga tak sebatas kehadiran secara fisik yaitu sosok perempuan. Namun juga hadirnya kepentingan, aspirasi, dan ide-ide yang mewakili perempuan. Hingga lahirlah rumusan-rumusan kebijakan yang berpihak pada kepentingan dan hak perempuan. 

“Jadi makna keterwakilan perempuan, dia punya makna simbolik dan makna substantif. Itu adalah ide dan cita-cita perjuangan keterwakilan politik perempuan di Indonesia,” ujar akademisi UI itu.

Untuk mewujudkan perjuangan keterwakilan politik perempuan itu, setidaknya ada beberapa cara. Mulai dari kontestasi pemilu, lembaga legislatif di parlemen serta partai politik. “Tiga institusi ini lah yang berperan utama untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang merespons aspirasi perempuan.”

Dia juga menegaskan bahwa, isu perempuan dalam perpolitikan itu sudah semestinya dianggap sebagai isu publik. Kepentingan perempuan adalah kepentingan publik. Dengan begitu, wajah politik hari ini yang masih maskulin, bisa merangkul kepentingan perempuan termasuk juga kelompok minoritas.

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Senada, Lilis Listyowati dari Kalyanamitra menyebut, perjuangan politik perempuan itu memang semestinya harus betul-betul bicara atas nama kebutuhan dan kepentingan perempuan. Meskipun misalnya, dia harus berjuang di dalam partainya yang maskulin kaitannya dengan aktivitas politik praktis. 

“Meskipun dia berada di dalam lingkup politik para politikus yang maskulin dia tetap punya sikap dan ketegasan terhadap apa yang jadi tujuan awal dia,” ujar Lilis. 

Selama ini perjuangan itu, memang tak mudah. Dia tak memungkiri dan sadar betul, politisi perempuan mesti berjuang keras untuk itu. Namun begitu, hal itu bukannya tidak mungkin sama sekali dilakukan. “Saya melihat ada teman-teman yang tetap konsisten pada jalan itu. Pada perjuangan dan tujuan ataupun niat di awal,” imbuhnya. 

Lilis mengatakan Parpol di Indonesia yang ekosistemnya notabene dilingkupi patriarki, saat ini memang masih jadi tantangan nyata bagi politisi perempuan. Meskipun jika parpol itu dipimpin oleh perempuan, tapi sistemnya masih lekat dengan maskulinitas. 

“Yang belum betul-betul menempatkan perempuan sebagai entitas yang sama: yang punya hak dan kewenangan, dsb. Dan itu tidak mudah memang. Ini contohnya banyak, RUU yang banyak diperjuangkan perempuan, RUU PPRT, yang terganjal di parpol kan,” jelas Lilis soal gambaran penguasaan Parpol yang menentukan arah kebijakan. 

Mendorong Perempuan Merepresentasikan Politik Perempuan

Perempuan yang punya nilai, perspektif, cara pandang yang meyakini bahwa perempuan perlu hadir di dalam politik untuk membuat perubahan. Membuat politik lebih bermakna, mendorong kebijakan-kebijakan yang responsif gender dan mau memperjuangkan keterwakilan perempuan di dalam kebijakan publik. 

Begitulah, sosok perempuan menurut Hurriyah, yang bisa merepresentasikan politik perempuan. 

“Perempuan yang bukan hanya simbol, bukan hanya jenis kelaminnya perempuan. Tapi, perempuan yang isi kepalanya itu juga adalah soal gender equality, demokrasi yang partisipatoris,” lanjutnya. 

Dosen Politik di UI itu tak memungkiri, perempuan dalam perjuangan mempraktikkan politik perempuan itu, tidaklah mudah. Masih ada banyak faktor yang selama ini jadi hambatan. Sangat struktural sekaligus mendasar yang terjadi di Indonesia. 

“Kenapa belum banyak perempuan yang hadir atau peningkatan jumlah keterwakilan perempuan itu belum sejalan dengan munculnya kebijakan-kebijakan yang responsif gender, karena Parpol dan parlemen belum jadi institusi yang ramah bagi perempuan,” ucap dia. 

Baca Juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Ada beberapa indikasi yang menurut Hurriyah bisa dilihat. 

Pertama, indikasi yang paling jelas, Parpol mematuhi kebijakan afirmasi keterwakilan minimal 30% itu hanya sebagai syarat administratif saja. Kesetaraan gender juga belum menjadi prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang diinternalisasi oleh Parpol. 

Ini tampak pada minimnya partai yang mau mempromosikan kepemimpinan perempuan. Tak banyak pula perempuan yang ditempatkan di posisi-posisi strategis di parpol. Termasuk ketika perempuan terpilih di parlemen, belum banyak juga perempuan yang ditempatkan di posisi strategis. Seperti sebagai Ketua Fraksi, Ketua Komisi dan sebagainya. 

Kedua, rekrutmen dan promosi perempuan yang dilakukan partai politik yang masih dipengaruhi faktor kekerabatan. “Jadi karena wajah politik masih maskulin, parpol juga gak punya komitmen serius mempromosikan gender equality, akhirnya begitu merekrut perempuan mereka asal comot atau yang mereka tempatkan adalah kerabat-kerabat mereka.” 

Itu menurutnya sejalan dengan riset Puskapol UI yang melihat bahwa ternyata ketika mereka petakan tren keterpilihan perempuan di dua pemilu terakhir. Yaitu pada pemilu 2014 dan 2019, ada 3 profil utama soal posisi perempuan di politik. Di antaranya, ada perempuan yang punya hubungan kekerabatan atau kedekatan dengan elit partai. Lalu perempuan yang punya popularitas tinggi. hingga perempuan yang merupakan elit-elit ekonomi yang punya sumber daya. 

Ketiga, Parpol masih sering kali membenturkan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dengan framing negatif soal kualitasnya. Jadi, perempuan sering disepelekan. 

Keempat, perempuan yang bahkan sudah terpilih dan masuk ke parpol, mereka belum mendapatkan arena permainan yang setara di Parpol ataupun parlemen. 

Dia mencontohkan, perekrutan perempuan oleh Parpol masih minim kaderisasi bermutu. Mereka tidak mendapatkan pendidikan kader yang cukup. Smentara di sisi lain, perempuan mengalami situasi yang lebih sulit karena seringnya ketika direkrut sebagai caleg, mereka masih harus berjuang sendiri dengan keterbatasan sumber daya. 

“Ini yang dialami mayoritas perempuan politisi.” 

Baca Juga: Caleg Perempuan Dikalahkan Aturan, Tapi Kita Kurang Bersuara Kencang

Kelima, secara internal partai politik juga minim menerapkan kebijakan responsif gender. Di samping situasi yang serupa di DPR dan DPRD yang sampai sekarang bisa dikatakan belum sensitif menerapkan kebijakan-kebijakan yang berperspektif gender di dalam kebijakan publiknya.

“Jadi kebijakan publik kita minim perspektif gender, parpol di internal juga kebijakan-kebijakan mereka  tidak responsif gender. 

Contoh yang paling kelihatan menurutnya, kultur di dalam partai dan di dalam parlemen. Rapat-rapat, lobi-lobi, pertemuan-pertemuan sering sekali terjadi pada malam hari. Juga di lingkungan yang tidak ramah bagi perempuan. 

Sementara, Lilis dari Kalyanamitra juga menyoroti soal hambatan ketimpangan gender yang juga menimbulkan beban ganda masih jadi belenggu bagi politisi perempuan. Di samping juga masih kuatnya konstruksi sosial soal partisipasi perempuan dalam perpolitikan yang seringkali melemahkan posisi perempuan. 

“Hal yang terkesan klise, tapi tak bisa dipungkiri persoalan dimensi gender, ketimpangan gender, persoalan gender problem-nya itu tetap dihadapi oleh perempuan. Misalkan pada kesempatan: kapasitas perempuan untuk dia harus bertarung, dimana startnya berbeda antara laki-laki. Perempuan diminta tarung bebas,” Lilis menjelaskan. 

Maka dari itu, dia mendesakkan perhatian soal upaya mengatasi masalah ketimpangan gender itu penting dilakukan. Bukan hanya di tingkat parpol, tapi juga dukungan personal dan keluarga. 

Strategi Memperkuat Politik Perempuan

Hurriyah menekankan ada beragam upaya yang perlu dilakukan. Salah satunya, refleksi untuk politisi perempuan terlebih dahulu.

Jika ingin bisa terpilih di dalam Pemilu, kemudian juga bisa mewarnai perubahan politik yang positif, maka perlu kembali ke konstituen secara serius.

“Politisi perempuan ini harus serius membangun basis konstituensi, membangun politik ide. Bagaimana bisa dilakukan? Berjejaring, bekerja sama dengan komunitas-komunitas atau masyarakat sipil yang mereka bekerja langsung di masyarakat akar rumput,” jelas Hurriyah. 

Dengan upaya itu, politisi perempuan supaya lebih kuat posisinya. Keterhubungan inilah menjadi penting. Ini membutuhkan kerja-kerja politik yang tekun tak sekadar menjelang momentum pemilihan. 

Selain itu, perlu juga memperkuat regulasi keterwakilan perempuan. Termasuk soal implementasi keterwakilan pencalonan perempuan minimal kuota 30% di setiap Dapil. 

“Regulasi itu sangat penting dan krusial mendesakkan parpol patuh kuota 30% perempuan. Politisi perempuan juga harus melakukan kerja-kerja politik ke bawah dan merawat konstituen dan berjejaring,” katanya. 

Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik

Lilis Kalyanamitra menambahkan soal ini, upaya yang kini dirinya bersama para aktivis demokrasi lainnya adalah advokasi kebijakan tersebut. Sampai saat ini, mereka tengah menuntut KPU karena dianggap melakukan pelanggaran terhadap syarat administratif parpol yang tidak memenuhi kuota perempuan 30%. 

“Ini salah satu upaya bagaimana hak politik perempuan bisa dipenuhi,” kata Lilis. 

Di samping itu, Lilis juga mengungkap, upaya untuk peningkatan kapasitas politisi perempuan dari solidaritas jaringan penting dilakukan.

“Ke depan ini yang perlu disiapkan di tingkat organisasi masyarakat sipil di grass root membangun pemahaman bagaimana keterwakilan perempuan harus diperjuangkan dan kita harus terlibat di dalamnya. Pemahaman dan penanaman ideologi harus dipersiapkan untuk mungkin 5 tahun ke depan.”  

Media juga tak kalah penting sebagai upaya memperkuat politik perempuan. Media berperan mempromosikan agenda keterwakilan perempuan. Bukan malah sebaliknya, justru melemahkan. Misalnya saja, sensasionalisme pada politisi perempuan yang masih banyak terjadi. Ambil contoh saat pemberitaan korupsi yang masih banyak menebarkan bias-bias.  

“Kita sepakat korupsi itu tidak baik. Tapi kenapa ketika ada politisi perempuan yang melakukan korupsi yang akan diblejeti dikuliti media adalah semua-semuanya dari busana, tasnya dll. Sementara kalau laki-laki gak sampai segitunya biasanya hanya fokus korupsinya saja,” Hurriyah menutup perbincangan. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!